“Benar-benar zalim pemerintahan saat ini, antek Yahudi, antek kafir! Kiai A juga sama saja, penjilat jabatan!” Ucap serang bapak—dengan mata memerah—yang cukup saya hormati karena usianya yang lebih tua.
Kira-kira itulah perkataan yang terkadang masih terngiang meski kejadiannya telah berlalu cukup lama. Dari percakapan panjang saya dengan beliau, saya mencoba menemukan benang merahnya, bahwa apa yang beliau sedang alami adalah imbas dari polarisasi yang dialami masyarakat kita dewasa ini. Sebuah fenomena yang tidak sehat.
Saya pun semakin meyakini bahwa kemampuan membandingkan berbagai sumber dan informasi mutlak diperlukan. Tidak akademisi, tidak masyarakat awam, semuanya bisa terkena dampaknya negatifnya; memusuhi atau “mendewakan” tokoh tertentu.
Apabila dengan sesama muslim saja saling mencaci maki, maka jangan heran bila stempel kecurigaan dan kebencian ini akan selalu dilekatkan kepada mereka yang berbeda keimanan, terutama penganut Yahudi.
Baca Juga: Perbedaan Ilmu Sihir dan Ilmu Hikmah
Perlu ditekankan bahwa Hadist Nabi “إنما بعثت لأتمّم مكارم الأخلاق” yang diriwayatkan Imam Malik ini tidak hanya ditujukan pada sahabatnya saja, tetapi semangatnya adalah sepanjang masa, untuk kita semua, bahkan untuk teman kita yang berkeyakinan beda.
Beragam kisah tentang relasi Nabi dengan Yahudi menarik untuk ditelisik. Minimal agar kita bisa mengikuti akhlak Nabi dan tidak anti kepada teman yang berbeda agama, dalam hal ini adalah pemeluk Yahudi.
Sejauh bacaan saya, belum ada sumber yang mengatakan bahwa Nabi sewaktu kecil pernah berjumpa dengan Yahudi. Bisa jadi, ini karena saran pendeta Bahira/Buhaira kepada paman Abu Thalib—sewaktu berkunjung ke Syam—agar segera membawa Nabi pulang. Alasannya, ia takut bila nanti Nabi akan disakiti Yahudi karena mengetahui ciri-ciri kenabiannya.
Terlepas dari beberapa ulama’ yang meragukan riwayat di atas, ada pertanyaan yang perlu untuk dipikirkan bersama, kenapa Nabi dalam riwayat itu akan disakiti Yahudi dan tidak disakiti Nasrani? Apakah ini bukti bahwa naluri Yahudi selalu menyakiti?
Memang, kebanyakan kecaman al-Qur’an terhadap Ahli Kitab ditujukan kepada Yahudi, bukan Nasrani. Ini disebabkan karena sejak semula ada perbedaan sikap antara mereka kepada kaum muslim.
Al-Qur’an mengabadikan bahwa pemeluk agama Nasrani lebih dekat persahabatannya dengan orang Islam daripada orang Yahudi dan kaum musyrik. (al-Maidah:82):
“Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan pasti akan kamu dapati orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya kami adalah orang Nasrani.” Yang demikian itu karena di antara mereka terdapat para pendeta dan para rahib, (juga) karena mereka tidak menyombongkan diri.”
Al-Qurtubi dalam tafsirnya menerangkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan an-Najasyi dan para sahabatnya ketika umat Islam datang kepada mereka dan meminta perlindungan dari siksaan kaum musyrik Quraisy, atau sering disebut dengan hijrah pertama.
Al-Qur’an juga menyatakan bahwa sebab pokok kebencian Yahudi kepada Islam adalah karena kedengkian mereka terhadap kehadiran Nabi yang bukan dari golongan mereka (al-Baqarah: 109).
Ditambah lagi, hijrahnya Nabi ke Madinah membuat posisi Yahudi semakin mengecil bahkan pengaruh politik dan kepentingan ekonominya juga berkurang. Karena itulah pada nantinya ketika terjadi perang Ahzab di Madinah, banyak kelompok Yahudi yang berkhianat terhadap sumpah Nabi.
Wahbah az-Zuhaili menambahkan bahwa gangguan yang paling keras yang pernah diterima Nabi Muhammad saw. adalah gangguan yang datang dari orang-orang Yahudi Hijaz, orang-orang Musyrik semenajung Arab, terutama dari penduduk Mekah dan Thaif.
Baca Juga: Hukum Menikah dengan pasangan Non Muslim
Terlepas dari daftar keburukan sikap Yahudi terhadap Nabi, dan di antara mereka telah mendapatkan hukuman Nabi, dalam beberapa kesempatan Nabi ternyata tetap menunjukkan akhlaknya yang luar biasa saat berjumpa dengan pemeluk Yahudi. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik ra:
“Ada seorang anak kecil Yahudi yang membantu melayani Nabi Muhammad sedang jatuh sakit. Lalu beliau menjenguknya dan duduk di samping kepalanya, Nabi pun bersabda: ‘Masuklah Islam.’ Anak itu kemudian memandang wajah ayahnya yang saat itu juga ada di sampingnya. Lalu sang ayah berkata, ‘Taatilah Abul Qasim (Rasulullah).’ Kemudian anak itu menyatakan keislamannya. Nabi pun bersabda, ’Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari neraka.’” (HR. Bukhari).
Bila melihat hadits di atas, tidak mungkin seorang ayah ridha melihat anaknya keluar dari agama yang diyakini orang tuanya. Akan tetapi, hal ini ternyata bisa dilakukan oleh Nabi Muhammad. Dan ini mustahil terjadi bila Nabi tidak memiliki kedekatan emosi dan budi pekerti yang layak dipuji.
Dalam riwayat lain, Nabi juga sempat diprotes para sahabatnya ketika beliau berdiri menghormati rombongan yang sedang mengangkut jenazah Yahudi. Nabi pun bertanya balik kepada mereka, “Bukankah Yahudi juga manusia?” (HR. Bukhari).
Beberapa riwayat di atas hanyalah satu dari sekian contoh hubungan Nabi dengan Yahudi. Meski tak jarang Yahudi di masa itu tidak mengenakkan hati sang Nabi, akan tetapi beliau tetap menunjukkan keluhuran budi. Apakah kita mau mengikuti akhlak Nabi?
Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id