Tafsir, Viralitas, dan Otoritas

Di era digital, tafsir Al-Qur’an menghadapi tantangan baru: penyusutan otoritas keilmuan oleh viralitas konten. Ketika kamera ponsel dan algoritma menjadi alat dakwah instan, muncul figur-figur yang tampil seolah ahli tafsir tanpa rujukan, tanpa sanad keilmuan, dan tanpa perangkat metodologis yang diwajibkan ulama sejak berabad-abad. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana suara yang paling ramai sering kali lebih dipercaya daripada suara yang paling benar.

Kasus Syaiful Karim adalah salah satu contoh paling menonjol. Dengan percaya diri, ia menyatakan bahwa kata Al-Qāri‘ah dalam surat al-Qāri‘ah bermakna “pembaca perempuan”, hanya karena bentuk katanya muannats. Klaim ini menunjukkan ketidaktahuan akan kaidah bahasa Arab dasar yang telah diuraikan oleh al-Farra’, Sibawaih, hingga Ibn Malik. Bentuk muannats pada kata tersebut bukan menunjukkan jenis kelamin, tetapi merupakan bentuk isim masdar atau bentuk hiperbolik (sighah mubalaghah). Seluruh literatur tafsir dari al-Tabari, al-Maturidi, al-Baghawi, al-Qurthubi, sampai Ibn Kathir menjelaskan Al-Qāri‘ah sebagai salah satu nama hari kiamat, karena kedahsyatan “ketukan” yang mengguncang manusia. Tidak satu pun yang memberi ruang tafsir semacam “pembaca perempuan”. Kesalahan ini bukan sekadar salah terjemah, tetapi menunjukkan absennya perangkat ilmu nahwu, sharaf, dan tradisi tafsir yang menjadi fondasi minimal bagi siapa pun yang berbicara tentang Al-Qur’an.

Kasus lain muncul dari pernyataan Guru Gembul yang menyatakan bahwa setiap orang berhak menafsirkan Al-Qur’an secara langsung tanpa perantara ulama. Gagasan ini terdengar inklusif, tetapi bertentangan dengan prinsip epistemologi Islam. Para ulama sejak abad awal menegaskan bahwa tafsir adalah disiplin yang mensyaratkan keahlian. Imam al-Suyuthi dalam al-Itqan menyebutkan syarat-syarat mufassir: menguasai bahasa Arab dan cabangnya, mengetahui asbābun nuzūl, qira’ah, nasikh-mansukh, ushul fiqh, ilmu hadis, hingga kaidah istidlal. Al-Zarkasyi dalam al-Burhān menambahkan bahwa kesalahan dalam tafsir sering muncul karena tiga hal: sedikit ilmu, tergesa-gesa, dan mengikuti hawa nafsu. Klaim bahwa setiap orang bisa menafsirkan tanpa ulama sama saja dengan meniadakan disiplin ilmu yang dibangun berabad-abad.

Al-Qur’an memang ditujukan untuk seluruh umat manusia, tetapi pemahaman mendalam tentangnya tidak pernah diajarkan sebagai aktivitas bebas nilai. Bahkan Umar bin Khattab dalam riwayat Ibn Sa‘d kerap melarang orang yang tidak ahli untuk berbicara tentang ayat-ayat tertentu agar tidak menimbulkan kekacauan. Ibn Abbas mengatakan, “Menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu adalah bentuk sikap nekat terhadap Allah.” Pernyataan-pernyataan ini bukan bentuk elitisme, tetapi pengakuan bahwa ayat memiliki konteks, sebab turunnya, struktur kebahasaan, dan tradisi interpretasi yang tidak bisa dilewati begitu saja.

Masalah menjadi lebih kompleks karena media sosial memberi panggung bukan berdasarkan kompetensi, tetapi berdasarkan keterlibatan. Algoritma mengangkat yang paling memancing emosi, bukan yang paling kuat argumennya. Akibatnya, pemaknaan keliru yang dibungkus retorika populer lebih mudah viral daripada penjelasan ulama yang panjang dan terstruktur. Dalam ekosistem seperti ini, otoritas keilmuan menjadi kabur. Yang viral dianggap benar, yang ilmiah dianggap membosankan.

Padahal, umat perlu diingatkan bahwa memahami Al-Qur’an bukan proyek instan. Ia membutuhkan kedalaman ilmu, tradisi sanad, verifikasi dalil, dan kerendahan hati. Membaca Al-Qur’an adalah hak setiap Muslim, tetapi menafsirkan Al-Qur’an dengan klaim otoritatif adalah amanah yang mensyaratkan kompetensi. Jika dunia kedokteran melarang operasi dilakukan oleh orang yang bukan ahli, maka dunia tafsir lebih layak diberi rambu karena dampaknya bukan hanya fisik, tetapi menyangkut akidah, syariat, dan worldview umat.

Di tengah derasnya viralitas, kita perlu mengembalikan penghargaan kepada otoritas keilmuan. Bukan untuk menutup pintu ilmu, tetapi untuk memastikan agar umat tidak menjadi korban kesalahan tafsir yang lahir dari ketidaktahuan. Ulama, akademisi, dan lembaga pendidikan harus hadir di ruang publik dengan bahasa yang segar dan argumentatif, agar kebenaran ilmiah tidak tenggelam oleh gelombang sensasi. Tafsir bukan sekadar konten. Ia adalah ilmu, amanah, dan rambu yang dijaga oleh tradisi panjang. Dan amanah sebesar itu tidak seharusnya ditentukan oleh algoritma.

Dr. Mukhrij Sidqy, M.A, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Mukhrij Sidqy, M.A? Silahkan klik disini