Istilah mabrur yang disandingkan pada Haji, berangkat dari beberapa redaksi beberapa hadis, salah satunya:
“Nabi Muhammad SAW pernah ditanya, “amal apa yang paling baik (untuk dilakukan)?”, jawab Nabi: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya” “kemudian apalagi?” jawab Nabi: “Jihad di jalan Allah”, “kemudian apalagi?” jawab Nabi “Haji Mabrur”. (H.R. Bukhari)
Dalam banyak terjemahan, istilah mabrur memiliki makna maqbul, ibadah yang diterima Allah. Tetapi konteks ibadah yang mabrur, melampaui aspek legalitas yang telah ditetapkan oleh hukum Islam. Sederhananya, apabila sudah terpenuhi segala rukun dan syarat ibadah haji, maka sudah dianggap sah menurut fiqh, tetapi belum tentu mabrur. Mengapa demikian?
Haji dan ibadah lain secara umum, dibangun berdasarkan pada dua aspek utama, aspek eksoteris dan aspek esoteris. Aspek eksoteris adalah segenap kumpulan aturan ibadah yang telah dikodifikasi oleh para ulama melalui sumber utama hukum Islam. Sedangkan aspek esoteris adalah dampak sosial terhadap ibadah yang dilakukan seseorang.
Ketika seorang Muslim yang sedang berhaji sesuai dengan aturan-aturan yang telah dirumuskan para ulama melalui ilmu fiqih, maka secara aspek eksoteris sudah memenuhi dan sudah dianggap sah secara hukum Islam. Tetapi Islam sebagai agama, menjangkau hubungan sosial. Dalam shalat misalnya, kewajiban melaksanakannya tidak hanya diartikan sebagai perilaku saleh kita kepada Allah sebagai bentuk pengabdian dan ketaatan, tetapi juga harus berdampak dalam sosial, yaitu mencegah perbuatan keji dan munkar.
Begitu pula berlaku dalam ibadah haji. Dalam menunaikan haji, Islam menuntut bukan hanya menyelasaikan aturan formal haji yang tertuang dalam fiqh, melainkan juga ada pranata sosial yang termuat dalam ritual ibadah haji. Fala rafasta wala fusuqa wala jidala fil haj, tidak melakukan hal yang kotor, melanggar syariat dan perdebatan. Semuanya merupakan pranata yang diambil dari ayat Al-Qur’an yang sering dipesankan dan diingatkan oleh para guru pembimbing sebelum melakukan ibadah haji.
Perilaku demikian diberikan garis tebal oleh Al-Qur’an mengingat kondisi ketika berhaji sangat berpotensi untuk terjadinya perbuatan rafast, fusuq dan jidal. Bahkan Nabi Muhammad sendiri mewanti-wanti para pelaku haji dengan memberi informasi perihal ganjaran yang besar bagi mereka yang terlepas dari perilaku-perilaku tersebut, yaitu Allah hapus dosanya seperti bayi yang baru lahir.
Pranata ini dapat membawa dampak bagi sosial. James Clear dalam bukunya Atomic Habits menjelaskan bahwa kebiasaan kecil akan membawa perubahan yang besar. Sehingga diharapkan dari pendidikan haji yang mana dilakukan para jamaah haji dalam kondisi panas, terdesak, dan kondisi yang tidak nyaman lainnya, tetap bisa fokus ibadah dan menghindari perilaku buruk yang berdampak pada sosial yang biasanya tidak jauh-jauh dari perbuatan rafast, fusuq dan jidal.
Yang pada akhirnya, diharapkan orang yang pulang dari haji, dalam kondisi terhimpit apapun, tetapi bisa melaksanakan ibadah kepada Allah, dan melakukan kontribusi sosial yang positif dengan tidak melakukan rafast, fusuq dan juga jidal. Wallahu A’lam.
Muhammad Fahmi, Lc., Pengajar Pondok Pesantren Al-Hidayah Depok dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Muhammad Fahmi, Lc.,? Silakan klik disini