Dimensi Qalb dan Urgensinya dalam Memperbaiki Hati

Qalb bermakna membalik, kembali, maju-mundur, naik turun, berubah-ubah. Kata itu itu digunakan untuk menamai bagian dalam dari manusia yang menjadi sentral diri manusia itu sendiri, yang kita terjemahkan dengan hati. Penamaan demikian, diperkirakan ada kaitannya dengan sifat hati itu sendiri yang menjadi focus kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan, di mana ia sering berubah-ubah, bolak balik maju mundur dalam menerima kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan.

Qalb yang suci bagaikan bola lampu kristal yang jernih dan tampak titik apinya, tempat bertemunya minyak dan api, dari luarnya diterangi oleh cahaya iman sedangkan di dalamnya diterangi cahaya ruh suci; sehingga terberkatilah dua rumah: rumah jiwa dan rumah jasad oleh cahaya-cahaya tersebut

Al-Quran menggunakan kata Qalb sebanyak 132 kali dalam konteks yang berbeda-beda. Di sini kita tidak akan melihat rincian itu semua. Al-Quran sering mengidentikkan kata qalb dengan ‘aql, seperti antara lain pada ayat “ …Sedangkan mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat berfikir.” (Q.S. al-Haj [22]: 46). Demikian pula, qalb diidentikkan dengan nafs (lihat Q.S. al-Fajr [89]: 27-28) dan ruh (Q.S. al-Ahzab [33]: 10).

Baca Juga: Belajar Mendengar, Belajar Bersyukur

Al-Ghazali (w. 505 H.), dari kalangan sufi, mencoba menjelaskan pengertian qalb dengan terlebih dahulu membuat dua kategori:

Pertama, qalb dalam pengertian fisik, yaitu segumpal daging sebagian organ tubuh yang terletak pada bagian kiri ronga dada, dan merupakan sentral peredaran darah; dimana darah itu yang membawa kepada kehidupan. Al-Ghazali mengatakan, hati dalam kategori pertama ini adalah hati biologis yang menjadi obyek kajian para ahli kesehatan.

Kedua, qalb dalam pengetian lathifah Rabaniyah ruhaniyyah, sesuatu yang halus, yang memiliki sifat ketuhanan dan keruhanian. Dengannya kita merasa sedih, duka, kesal, gembira, kagum, hormat, benci, marah, cinta, dan sebagainya. Jika fisik kita memiliki indra lahir, maka ruhani memiliki indra bathin. Dengan indra bathin itulah kita melihat sesuatu yang tidak bisa kita lihat secara kasat mata, mendengar yang tak terdengar oleh oleh pendengaran lahir, dan seterusnya. Jika indra lahir menghadap kepada dunia material, maka indra bathin menghadap kepda dunia metafsis. Orang yang senantiasa menyucikan bathinnya, niscaya hatinya akan bersih dan indra batinnya akan lebih tajam. Kebeningan hati menyebabkan hilangnya kabut-kabut penghalang (hijab) antara seorang sufi dengan Tuhannya, yang biasa dikenal dengan kasyf, sehinga seorang sufi dapat menyaksikan Tukan dengan mata hatinya (musyahadah) dalam merasa tengelam dalam ketuhanan.

Hati dalam kategori kedua inilah yang menjadi tumpuan pandangan Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran “Tidak ada dosanya jika kamu berbuat salah, kecuali hatimu menyengajanya.” (Q.S. al-Ahzab [33]: 5). Dalam hadis diungkapkan “Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk dan tubuhmu, tetapi dia memperhatikan hati dan perbuatanmu.” (H.R. Muslim). Tuhan hanya memperhatikan hati, karena hati itulah yang membuat hakikat manusia. Karakter seseorang berbeda dengan yang lain karena hatinya berbeda. Perbedaan itu pula yng menyebabkan perbedaan manusia dalam laku perbuatannya, dan selanjutnya akan membedakan peringkat manusia di hadirat Tuhannya.

Bagi kaum sufi, hati bukan hanya tumpuan pandangan Tuhan, lebih dari itu, hati adalah “tahta Tuhan”. Ini diungkapkan dengan hadis yang cukup popular dikalangan kaum sufi: “Hati orang beriman adalah tahta Allah.” Menurut mereka, hati bersifat transenden, di luar batas ruang dan waktu karena hati orang yang beriman itu dapat mengenal Tuhan, merasakan kehadiran-Nya, merasakan kasih sayang dan cinta-Nya. Dalam sebuah hadis Qudsi yang popular dikalanagn sufi disebutkan: Bumiku dan langit-Ku tidak meliput-Ku, dan yang meliputi-Ku hanyalah hati hamba-Ku yang beriman.” Mencari Tuhan bukan menembus ruang alam semesta atau menerobos waktu, tetapi dengan mengauk kabut-kabut yang menyelimuti hati, sehinga memasuki relung hati yang terdalam.

Selain itu, bagi kaum sufi, hati manusia adalah  berlapis-lapis laksana berlapis-lapisnya alam semesta dan lapisan hati senantiasa paralel dengan lapisan lapisan-lapisan alam semesta. Setiap terkuaknya satu lapisan berarti terbuka pula satu peringkat alam. Dawud al-Fatani, sufi berkebangsaan melayu petani, Thailan Selatan, mengutip sebuah hadis Qudsi tentang lapisan-lapisan hati:

Aku membangun sebuah istana di dalam ronga turunan Adam, di dalam istana itu terdapat shard, di dalam shard terdapat qalbu, di dalam qalbu terdapat Fu’ad, di dalam Fu’ad terdapat shagaf, di dalam shagaf terdapat lubb, di dalam lubb, terdapat sirr, dan didalam sirr ada Aku.

Menurut al-Fathani, kalau di dalam hadis ini disebutkan di dalam sirr ada Aku maksudnya bukan berarti Tuhan mengambil tempat dalam rongga dada manusia, tetapi di dalam lubuk hati yang terdalam, yang berdifat transenden, Tuhan ber-tajali (memanifestasikan diri-Nya), sehingga orang yang mampu menyucikan hatinya sampai peringkat mendalam, niscaya ia kan merasakan adanya Tuhan.

Baca Juga: Tiga Akhlak yang Wajib Dimiliki Seorang Muslim menurut Al-Quran

Perjalanan ruhani menembus lapisan-lapisan hati itu parallel dengan perjalannya menembus lapisan-lapisan alam yang terdiri atas: Alam Nasut (Alam Mulk), Alam Malakut, Alam Jabarur dan ‘Alam Lahut. Manusia hanya mengenal peringkat-peringkat alam itu sejauh ia dapat menerobos ke relung bathinnya. Disamping terdapat kaidah sufi: only the like know the like ‘hanya yang sama bisa saling mengetahui’. Aspek-aspek alam raya hanya dapat diketahui manusia melalui aspek dalam dirinya.

Dari uraian di atas, bisa dikatakan bahwa manusia tidak terlepas dari empat dimensi yaitu hati, ruh, nafsu, dan akal akan membawa kepada manusia yang sesungguhnya. Dalam artian bahwa dengan empat dimensi itu, manusia akan menjadi posisi/kedudukan  yang terhormat, juga sebaliknya, bisa dalam posisi tersungkur atau hina. Alquran menggambarkan mengenai penciptaan manusia sebagaik-baik ciptaan (fî ahsani taqwîm). Akan tetapi posisi yang Allah berikan yang dalam posisi terbaik itu, bisa juga berbalik 180 derajat karena ulah manusia, yang kemudian digambarkan oleh Alquran sebagai sehina-hinanya manusia. Bahkan, manusia akan terlempar ke dasar kerak neraka. Tepatlah kiranya, dua potensi yang Allah gambarkan dalam Q.S. al-Syams yakni Allah mengilhamkan kejelekan atau ketakwaan.

Dr. H. Hasani Ahmad Said, M.A., Ustadz di Cariustadz dan Dosen UIN Jakarta

Tertarik mengundang ustadz Dr. H. Hasani Ahmad Said, M.A.? Silakan klik disini