“Yang Hilang Dari Kita adalah Akhlak”, demikianlah renungan Quraish Shihab atas kondisi umat Muslim saat ini. Yang defisit dari kehidupan kita adalah akhlak. Lebih mirisnya lagi, berjuta konten di medsos yang cenderung tidak memiliki nilai edukasi merebak sedemikian rupa dalam kehidupan sehari-hari. Dan ini mempengaruhi mindset anak-anak didik kita.
Moral dan akhlak yang dipraktikkan dan diajarkan oleh leluhur bangsa kita, kata Quraish Shihab, demikian juga yang diajarkan oleh agama, tidak lagi terlihat dalam kehidupan keseharian kita. Ia telah hilang, padahal ia adalah milik kita yang paling berharga lagi sangat dihargai orang lain. Ada sesuatu yang hilang dari kita, terutama dari orang-orang yang mestinya menjadi teladan.
Betapapun jika kita berkata, “Yang hilang dari kita,” kata kita di sini bukan menunjuk pribadi (Anda atau Dia), tetapi menunjuk masyarakat kita sebagai Muslim atau sebagai bangsa atau sebagai umat manusia. “Umat Islam tidak mencerminkan ajaran Islam di tengah masyarakat”, ujar Quraish Shihab. Karena itu, umat Islam perlu memiliki tiga akhlak atau kepribadian yang mencerminkan Islam itu sendiri sebagaimana yang diajarkan Al-Quran dan Nabi Muhammad saw.
Rasa Bersalah
Salah satu tanda kedewasaan mental seseorang ditandai dengan adanya seberapa jauh ia memiliki perasaan bersalah. Emha Ainun Nadjib, budayawan sekaligus cendekiawan Muslim Indonesia, mengatakan, “orang yang punya komitmen terhadap kebenaran, akan dengan sendirinya bersikap blingsatan jika ia melakukan kesalahan atau apalagi ketidakbenaran. Minimal ketidakbecusan. Semakin parah blingsatannya, semakin tercermin kedalaman komitmennya terhadap kebenaran”.
Baca Juga: Pernikahan dan Keturunan dalam Tinjauan Al-Quran
Maka output (keluaran) sikap merasa bersalah adalah ia akan meminta maaf terlebih dahulu tanpa diminta atau menunggu alat bukti rekaman CCTV, misalnya. Meminta maaf ini memiliki derajat tinggi di sisi Allah karena ia menyadari betapa dirinya tidak bisa terbebas dari perbuatan salah dan khilaf, dan karenanya ia meminta maaf. Hal seperti ini pula yang diajarkan Allah Swt kepada Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa tatkala mereka berdua melakukan kesalahan dengan memakan buah khuldi, sebagaimana diabadikannya doa mereka dalam Al-Quran,
Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi. (Q.S. al-A’raf [7]: 23)
Ayat di atas, sebagaimana penafsiran Quraish Shihab, adalah doa keduanya (Nabi Adam dan ibunda Hawa) sebagai rasa penyesalan yang amat begitu dalam. Keduanya berkata dengan penuh penyesalan: kami telah menganiaya diri kami sendiri akibat melanggar larangan-Mu. Kami menyesal dan memohon ampun. Jika engkau tidak menganugerahi kami pertaubatan tentulah kami akan terus menerus dalam kegelapan maksiat, dan jika Engkau tidak mengampuni kami, yakni menghapus apa yang kami lakukan dan memberi rahmat kepada kami dengan mengembalikan kami ke surga, niscaya demi keagungan-Mu pastilah kami termasuk kelompok orang-orang yang rugi.
Yang menarik dari ayat ini, mereka totalitas dalam menyadari kesalahannya yang ditandai dengan redaksi penutup ayat ini, lanakunanna minal khasirin menunjukkan betapa dalam kesadaran dan penyesalan Adam dan Hawa as., sehingga doa ini mereka kukuhkan dengan tiga macam pengukuhan. Pertama huruf lam yang digunakan untuk bersumpah, dan yang oleh Quraish Shihab isyaratkan dalam penjelasan dengan kata demi, yang kedua tambahan huruf nun pada kata lanakunanna yang penulis terjemahkan dengan kata pastilah dan yang ketiga min al-khasirin yang diterjemahkan dengan termasuk kelompok orang-orang yang merugi.
Rasa Malu
“Sesungguhnya rasa malu merupakan bagian dari iman”, demikian sabda Nabi saw. Memiliki sifat malu ini penting terlebih di era medsos. Hari-hari ini kita banyak disuguhkan akhlak buruk dengan tidak tahu malu melakukan kesalahan secara terang-terangan. Bahkan sudah terbukti secara empirik, rekaman CCTV, rekening gendut hasil pencucian uang, misalnya, masih tetap menyangkal dan membela diri dengan sejuta argumen yang hoax.
Rasa bersalah dan rasa malu adalah dua hal yang tak terpisahkan. Jika kita memiliki rasa malu, tetapi tidak mempunyai perasaan bersalah dalam diri sendiri, pastilah kita slintat-slintut (baca: sembunyi-sembunyi) alias munafik. Dan sebaliknya, jika kita memiliki rasa bersalah, tetapi tidak memiliki rasa malu yang ada hanyalah pengulangan atas kesalahan yang lalu, dalam istilah Jawa disebut kapok lombok (baca: kumat).
Baginda Nabi saw melukiskan rasa malu ini dengan redaksi menyindir kepada mereka yang tidak tahu malu, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda,
“Diriwayatkan dari Abu Mas’ud Uqbah bin ‘Amr Al Anshari bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari apa yang telah diketahui oleh manusia dari pesan kenabian yang terdahulu: jika kamu tak punya malu, maka berbuatlah sesukamu.” (H.R. Al Bukhari)
Dari hadits di atas, Nabi saw secara eksplisit mengatakan jika kalian tidak punya rasa malu, berbuatlah sesukamu. Artinya, Nabi sudah lepas tanggung jawab terhadap orang tersebut. Dalam arti, jatah syafaat-Nya kepada orang tersebut berpotensi hangus. Dalam riwayat yang lain disebutkan,
Artinya: Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.” (H.R al-Hakim)
Maka, pertanyaannya kemudian, sifat malu yang seperti apakah yang harus dimiliki seorang muslim. Nabi saw mendefinisikannya sebagai berikut,
“Bukan begitu, tetapi sesungguhnya malu kepada Allah adalah kalian menjaga akal dan pikiran, memelihara perut (dari hal yang diharamkan), serta senantiasa mengingat kematian. Orang yang mengharapkan akhirat akan meninggalkan gemerlapnya dunia, dan orang yang telah melampaui itu telah sungguh malu kepada Allah”.
Dalam Al-Quran disebutkan, indikator malu sebagaimana Allah tegaskan dalam ayat-Nya, “Katakanlah kepada orang yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (Q.S. al-Nur [24]: 30).
Ayat yang lain semisal Q.S. al-Isra’ [17]: 36, Allah mengatakan, “janganlah kalian melakukan sesuatu atau mengikuti suatu pendapat tanpa mengetahuinya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, itu semua akan dimintai pertanggungjawaban”. Berikutnya, termasuk orang yang malu kepada Allah adalah orang yang menjaga mulut. Allah berpesan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar” (Q.S. al-Ahzab [33]: 70).
Baca Juga: Kesantunan dan Keindahan Diksi Al-Quran
Dalam bahasa Ahmad Fuad Effendy, pakar bahasa Arab dan cendekiawan Muslim Indonesia, ia mengatakan,
“Hendaklah kita mengembangkan rasa malu dalam diri kita. Malu kepada Allah ketika terbersit di dalam hati keinginan berbuat dosa apalagi melakukannya. Malu kepada sesama manusia ketika melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat. Malu kepada diri sendiri ketika melakukan sesuatu yang bertentangan dan dicela oleh hati nurani. Malu ketika tidak menjalankan tugas dengan baik padahal sudah dibayar mahal. Malu ketika tidak berkarya ilmiah padahal sudah memajang gelar-gelar akademik di depan dan di belakang namanya. Malu ketika membuat karya ilmiah asal-asalan sekadar memenuhi formalitas, sehingga tidak jelas kontribusinya terhadap pengembangan ilmu dan pencerdasan kehidupan masyarakat, padahal sudah didanai besar-besaran oleh negara dengan uang rakyat. Malu ketika masih berpikir dan bertindak menguntungkan diri sendiri ketika memegang jabatan atau kekuasaan, padahal sudah digaji besar oleh negara”.
Takut atau Kehati-hatian
Secara harfiah, takut merupakan arti dari takwa. Takwa merupakan takut, waspada, kehati-hatian dalam berucap, bertindak dan berperilaku. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, menyatakan bahwa takut merujuk pada hati yang “luka” dan “terbakar” karena memikirkan sesuatu yang tidak menyenangkan di masa mendatang.
Perasaan takut ini hendaknya dimiliki oleh seorang muslim agar ia mampu berhati-hati dan menimbang-nimbang ketika memutuskan sesuatu. Rasa takut ini mendapat apresiasi dari Allah swt. Menurut Allah, di antara hamba-hamba-Ku yang memiliki rasa khasyah (sikap kewaspadaan yang tinggi), hanyalah para ulama (Q.S. Fathir [35]: 28).
Yang dimaksud dengan para ulama adalah orang yang mempunyai pengetahuan tentang syariat serta fenomena alam dan sosial yang menghasilkan rasa takut disertai pengagungan kepada Allah swt. Ibn ‘Asyur dan Thabathaba’i memahami ulama dalam arti yang mendalami ilmu agama. Thabathaba’i dalam Tafsir al-Mizan menuliskan, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, bahwa mereka itu adalah yang mengenal Allah swt. dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, pengenalan yang bersifat sempurna sehingga hati mereka menjadi tenang dan keraguan serta kegelisahan menjadi sirna, dan nampak pula dampaknya dalam kegiatan mereka sehingga amal mereka membenarkan ucapan mereka.
Senada dengan Thabathaba’I, Ibn ‘Asyur dalam Al-Tahrir wa al-Tanwir menulis bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah dan syariat. Sebesar kadar pengetahuan tentang hal itu sebesar itu juga kadar kekuatan khasyah (takut).
Sebagai penutup, Imam al-Ghazali pernah mengatakan,
“Ketahuilah, takut kepada Allah adalah hal terpuji. Tetapi, kadang orang mengira, ketika semua rasa takut itu terpuji, maka kebanyakan dan kekuatan rasa takut dari sewajarnya menjadi lebih terpuji, ini justru keliru. Takut kepada Allah merupakan pecut-Nya yang memotivasi hamba-Nya untuk tetap menambah ilmu dan amal saleh agar dengan keduanya mereka dapat mendekatkan diri kepada-Nya.” Wallahu a’lam.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini