Tanya: Di Indonesia, setiap penentuan awal dan akhir puasa sering terjadi perbedaan. Apa dasar hukumnya pemerintah menentukan jadwal puasa? Jawab: Pemerintah telah membentuk Badan Hisab dan Rukyat, yang bertugas menetapkan awal puasa dan Hari Raya, yang anggotanya terdiri dari ulama-ulama serta berbagai organisasi Islam dengan aneka pandangannya. Kelihatannya Pemerintah berupaya memadukan pandangan ulama yang menetapkan awal puasa/lebaran berdasar hisab dan ulama yang menganut paham rukyah. Yaitu, dengan berupaya melakukan hisab, kemudian melihat apakah menurut hisab bulan telah ada atau telah dapat dilihat atau belum. Atas dasar hisab itu, pemerintah menugaskan orang-orang terpercaya untuk melihat bulan, dan atas dasar perhitungan serta laporan mereka pemerintah menetapkan awal puasa/ lebaran. Memang, masih saja ada perbedaan antara sekelompok ulama dengan pemerintah, tetapi hal ini dapat ditoleransi karena masing-masing memunyai dasar atas pendapatnya. Kelompok ulama di bawah koordinasi Organisasi Konferensi-Konferensi Islam menetapkan, bahwa di mana saja bulan dilihat oleh orang terpercaya, maka sudah wajib puasa dan berlebaran atas seluruh ummat Islam, selama ketika melihatnya, penduduk yang berada di wilayah yang disampaikan kepadanya berita kehadiran bulan itu, masih dalam keadaan malam. Jika selisih waktu antara satu kawasan dengan kawasan lain belum mencapai jarak yang menjadikan perbedaan terjadinya malam di satu kawasan dan siang di kawasan lain, maka dalam keadaan seperti itu puasa telah wajib bagi semua. Selisih waktu antara Jakarta dengan Saudia Arabia atau Mesir, tidak lebih dari empat atau lima jam. Awal malam di Timur Tengah belum lagi tengah malam di Jakarta. Jika terlihat bulan di Timur Tengah maka masyarakat Muslim Indonesia sudah wajib berpuasa. Ini berbeda dengan beberapa wilayah di Amerika Serikat dan Indonesia. Perbedaan waktu dapat begitu panjang antara kedua wilayah ini, sehingga ketika matahari baru terbenam di sana, matahari di Indonesia sudah terbit lagi di hari yang berbeda. Demikian pula sebaliknya. Tetapi jika masyarakat Muslim di Mekkah misalnya, atau Maroko, melihatnya, maka baik masyarakat Muslim di Indonesia maupun di Amerika kesemuanya telah wajib berpuasa, karena betapapun perbedaan waktu terjadi, semuanya, ketika di satu tempat terlihat bulan, masih dalam keadaaan malam. Sungguh jika ini dilaksanakan, maka akan banyak waktu, tenaga, dan biaya yang dihemat, bahkan salah satu sumber perselisihan antar ummat Islam dapat teratasi. Dalam konteks ini salah satu hal yang perlu diingat, bahwa ketetapan-ketetapan hukum fiqih, banyak sekali yang bersifat zhanny, dalam arti tidak pasti kebenarannya. Karena itu sesuatu yang dianggap wajib oleh seorang ulama, bisa jadi dilarang oleh ulama lain. Demi persatuan maka tidak ada halangan mengikuti pendapat siapa pun. Itu juga sebabnya salah satu rumus yang dikemukakan oleh pakar-pakar hukum Islam adalah: “Ketetapan pemerintah, menyingkirkan perbedaan,” dalam arti jika dalam masyarakat terdapat perbedaan pendapat, maka adalah wajar jika pemerinatah menetapkan putusan, dan putusan tersebut mestinya diikuti oleh seluruh masyarakat, kendati ada yang tidak sependapat. Demikian, wallahu a’lam. [M. Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran] |