Tafsir Surah Al-Qari’ah: Tanda-Tanda Hari Kiamat

Cariustadz.id, – Artikel ini akan mengulas tentang Surah Al-Qariah, surah ke-101 dalam susunan mushaf Al-Quran. Secara garis besar surah ini membahas tentang Hari Kiamat dan tanda-tanda datangnya hari tersebut. Allah Swt berfirman:

الْقَارِعَةُ (1) مَا الْقَارِعَةُ (2) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ (3) يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ (4) وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ (5) فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ (6) فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ (7) وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ (8) فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ (9) وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ (10) نَارٌ حَامِيَةٌ (11)

“Hari Kiamat. Apakah hari Kiamat itu? Dan tahukah kamu apakah hari Kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti laron yang beterbangan, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.”

Kata al-Qariah merupakan salah satu sebutan untuk hari kiamat yang digunakan oleh Al-Qur’an yang sama halnya dengan kata al-Haqqah, al-Shokhoh, al-Thammah, dan al-Ghasyiah. Menurut al-Maraghi dalam kitab tafsirnya, disebut al-Qariah karena peristiwa hari kiamat bisa membuat hati tercengang akibat sangat dahsyatnya kejadian itu nanti.

Baca Juga: Apa Sebab Turunnya Surah al-Kafirun?

Selanjutnya, al-Maraghi memaknai adanya pertanyaan yang digunakan untuk menggiring pembaca pada ayat ini memang digunakan untuk memahamkan atas gentingnya peristiwa kiamat nanti. Karena sifatnya tidak bisa dicerna lagi oleh akal dan tidak mampu lagi dibandingkan peristiwa riilnya dengan yang ada di dunia.

Oleh sebab itu, kata al-Maraghi, ayat ini juga menggunakan metafor-metafor peristiwa yang ada di dunia, seperti karena gentingnya peristiwa kiamat nanti mengakibatkan manusia berhamburan tanpa arah sebagaimana halnya laron yang bercerai berai tanpa arah atau belalang yang berhamburan di ladang tanpa suatu tujuan.

Para ulama tafsir tidak menyantumkan sebab turunnya surah ini. Dengan mengambil pemahaman bahwa surah ini turun untuk memberikan gambaran tentang peristiwa hari kiamat melalui perumpamaan-perumpamaan yang mudah dipahami akibat gentingnya peristiwa tersebut. Disampaikan dalam ayat keempat dan kelima; yaitu, pada hari itu manusia seperti laron yang beterbangan, dan pada hari itu gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.

Menurut al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb, susunan dua ayat tersebut terlihat unik, karena tidak cukup meringkasnya tanpa menggunakan kata “takunu” pada ayat kelima. Hal itu karena dengan adanya kata “takunu” justru menggambarkan peristiwa tersebut pesannya lebih tersampaikan jika dibanding tidak terdapat kata “takunu.”

Karena gunung-gunung yang dilihat hanya berdiam tidak tergerak, pada hari kiamat nanti bergeser dengan keras layaknya bulu yang dihamburkan. Gunung-gunung yang indah berwarna-warni ketika bergerak keras nanti layaknya bulu yang beragam warna berbaur dibawa angin. Dua peringatan ini seoalah hendak menyadarkan manusia dengan peristiwa genting yang pasti akan terjadi nanti, lalu pada saat suasana seperti itu bagaimana keadaan manusia? Ambil contoh pada saat peristiwa gunung Merapi menyemburkan sedikit kawah panasnya saja masyarakat yang dekat dengan lokasi tersebut sudah harus direlokasi karena dikhawatirkan akan bahayanya percikan awan panas dari semburan itu.

Untuk merespon itu, para mufasir cenderung memberikan narasi bahwa kondisi tersebut tidak bisa dibayangkan. Dan yang paling sial adalah manusia yang tidak mendapatkan rahmat dari Allah. Karena hanya dengan rahmat Allah lah manusia bisa terselamatkan dari bencana genting itu. Kemudian ayat selanjutnya berbicara tentang ketentuan akhir serta faktor yang mendominasinya.

Menurut al-Razi, setiap Allah memberikan gambaran tentang hari kiamat, kemudian setelahnya Allah membagi manusia menjadi dua kriteria, yaitu antara yang baik dan yang buruk. Kategori orang yang baik sebagaimana disampaikan dalam ayat enam dan tujuh; “Maka adapun orang yang berat timbangannya, maka dia berada dalam hidup yang memuaskan (senang).” Kemudian kategori orang yang buruk sebagaimana disampaikan dalam ayat delapan dan Sembilan “Adapun orang yang ringan timbangannya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.”

Sahabat Abu Bakar pernah berkata bahwa orang yang berat timbangannya itu karena ketika di dunia perbuatan baiknya lebih banyak, sedangkan yang ringan timbangannya itu karena sebaliknya. Menurut Muqatil, karena sejatinya kebaikan itu yang membuat berat timbangan, sedangkan keburukan itu tidak ada timbangannya sama sekali alias ringan.

Baca Juga: Sejarah Penulisan Al-Quran

Menariknya dalam surah ini yang diberikan ilustrasi penegasan hanya tempat akhir kelompok yang masuk pada kategori kedua, yaitu mereka yang ringan timbangannya karena didominasi perbuatan buruk saat di dunia. Jawabannya ditempatkan pada ayat terakhir, “Narun Hamiyah” atau dalam terjemahan Al-Qur’an Kemenag diartikan “Api yang sangat panas.”

Catatan pentingnya untuk kehidupan hari akhir yang bisa diambil dari dua ayat terakhir ini sangat relevan dengan kehidupan nyata, meskipun masih berada di dunia. Mereka yang giat dan rajin melakukan kemaslahatan di segala sektor, misal sektor pendidikan, maka masa depan mereka sudah bisa dipastikan akan menuai hidup yang menyenangkan. Sedangkan untuk mereka yang tidak memanfaatkannya dengan baik akan mendapati masa depan yang curam, menyesakkan, panas laiknya neraka dalam istilah musibah di dunia.

Muhammad Khoirul Anwar Afa, S.Ud, M.Ag, Dosen Tafsir Kontemporer Fakultas Ushuluddin PTIQ Jakarta