Tak seorang pun dari kita yang luput dari kesalahan. Sebagai manusia, kita merupakan makhluk tempatnya salah dan lupa, tergelincir dalam kelalaian, dan terjerembab dalam dosa. Namun, di tengah gelapnya kesalahan yang telah diperbuat, Islam tidak pernah menutup pintu harapan. Justru, Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi memberikan cahaya bagi jiwa-jiwa yang merasa remuk, lemah, dan ingin kembali. Artikel ini mengajak kita semua—terutama mereka yang merasa paling berdosa—untuk tidak berkecil hati. Sebab Allah Maha Pengampun, dan kasih sayang-Nya melampaui kemurkaan-Nya.
Dalam Q.S. Ali Imran ayat 135, Allah berfirman:
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka. Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui (bahwa itu dosa). (Q.S. Ali Imran [3]: 135)
Ayat ini menjadi pelipur lara bagi siapa saja yang pernah terjerumus ke dalam maksiat. Allah tidak menutup pintu bagi pendosa, selama ia mau mengingat-Nya dan kembali dengan hati yang tulus. Bahkan dalam lanjutan ayat disebutkan bahwa mereka akan mendapat ampunan dan surga sebagai balasan.
Perbuatan fāḥisyah (keji), seperti zina, korupsi, membunuh, hingga merusak lingkungan, adalah dosa besar yang tidak hanya berdampak secara pribadi, tapi juga sosial. Adapun menzalimi diri sendiri mencakup segala bentuk dosa yang “hanya” mencederai jiwa pelakunya, baik besar maupun kecil. Tapi apapun bentuknya, dosa bukanlah akhir dari segalanya.
Menurut Imam At-Tabari dalam Jāmi‘ al-Bayān, yang dimaksud dengan “menzalimi diri” adalah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan, yakni taat kepada Allah. Ketika seseorang sedang melakukan maksiat, sesungguhnya ia sedang mencederai dirinya sendiri dengan menyeretnya ke jurang kebinasaan.
Namun, tatkala kesadaran itu muncul dan ia segera mengingat Allah, di situlah pintu taubat terbuka lebar. Al-Māwardī dalam Nukat wa al-‘Uyūn menafsirkan bahwa mereka yang mengingat Allah setelah berbuat dosa adalah orang-orang yang “mengingat-Nya dalam hati mereka dan tidak melupakan-Nya”. Kesadaran ruhani ini membuat mereka tidak larut dalam dosa, karena dzikrullah (mengingat Allah) mendorong mereka untuk bertobat dan mencari pengampunan. Dengan kata lain, ingatan kepada Allah menjadi titik balik yang membimbing mereka menuju taubat sejati.
Quraish Shihab pun menjelaskan bahwa mengingat Allah setelah berbuat dosa menumbuhkan rasa malu dan takut. Dari sinilah lahir penyesalan dan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dan siapa yang bisa memberi ampunan selain Allah? Tidak ada.
Lebih dari itu, Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:
“Syafa’atku adalah untuk para pelaku dosa besar dari umatku.” (HR. Abu Dawud)
Tentu, hadis di atas bukan berarti kelonggaran atau menganggap sepele atas dosa yang telah diperbuat dan terbebas melakukan kemungkaran karena kelak akan mendapat pembelaan dari Rasulullah saw, melainkan pertanda besarnya kasih sayang baginda Rasulullah saw kepada umatnya.
Para ulama sepakat menyebut syafaat tersebut dengan “syafaat udzma” (syafaat yang paling agung). Disebut paling agung karena meliputi seluruh makhluk mulai dari generasi pertama hingga terakhir. Tak terkecuali orang-orang kufur dan ingkar kepada Allah swt.
Hadis ini juga memperkuat harapan bahwa Islam bukan agama yang menutup pintu bagi mereka yang pernah tergelincir. Bahkan menurut penjelasan Gus Baha’, Nabi Muhammad kelak akan memohonkan kepada Allah agar orang-orang berdosa yang masih memiliki iman dikeluarkan dari neraka dan diampuni. Ini bukan pembenaran atas maksiat, tetapi ajakan agar kita tidak putus asa dari rahmat-Nya.
Dalam hidup ini, tidak ada manusia yang luput dari dosa. Tapi yang membedakan antara orang beriman dan tidak, adalah kesediaannya untuk kembali. Maka, bagi siapa saja yang merasa pernah atau sedang berada dalam gelapnya maksiat, jangan berkecil hati. Allah Maha Pengampun. Pintu ampunan Allah swt selalu terbuka lebar bagi siapapun hamba-Nya yang ingin kembali. Yang penting adalah berhenti dari berbuat dosa, maksiat, lalu menyesal, memohon ampun, dan tak kembali pada dosa itu. Kembalilah pada-Nya. Karena kasih sayang-Nya jauh lebih besar dari dosa kita.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini