Mungkinkah Kita Benar-benar Ikhlas?

Ibnu Mas’ud meriwayatkan, suatu ketika beberapa sahabat Nabi gusar saat mendengar ayat tentang dzolim:

ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (al-An’am [6]:82)

Mereka bertanya, “Ya Rasulallah, mana ada di antara kita ini yang tidak pernah melakukan kezaliman (walau sedikit.pen)?”

Nabi pun menjawab dengan  jawaban yang meneduhkan, “Maksud ayat tadi bukanlah seperti yang kalian kira. Bukankah kalian pernah mendengar perkataan Lukman kepada anaknya yang diabadikan di dalam al-Qur’an?”

إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS. Lukman [31]: 13) 

Nabi melanjutkan, “Nah, maksud dari dzolim di ayat 82 surat al-An’am tadi adalah syirik.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bila direnungkan, kira-kira persoalan tentang ikhlas juga tidak beda jauh dengan pertanyaan sahabat di atas. Siapa di antara kita yang berani mengatakan bahwa amal perbuatan kita sudah murni karena Allah dan bebas dari sifat riya’ atau pamrih? Sifat ini sering tersembunyi dan tidak dapat kita rasakan.

Baca Juga: Kala Rasulullah dan Sahabat Mudik: Refleksi Peristiwa Fathu Makkah

Terlebih di era media sosial, di mana batas antara keikhlasan dan riya’ hampir sulit untuk dibedakan. Sebagai contoh, ada yang mencoba memperlihatkan bacaan indah Al Quran di khalayak umum, ada yang mengabadikan kegiatan-kegiatan amalnya sambil direkam lalu diunggah dan mendapatkan banyak like dan komentar, dan lain sebagainya. 

Pertanyaannya, “Apakah kita bisa menjamin bahwa perbuatan kita dan apa yang kita share di medsos itu murni untuk berdakwah karena Allah dan tidak tercemar sedikitpun dengan keinginan untuk dilihat orang atau populer misalnya? Di sisi lain, “Apakah yang dinamakan ikhlas itu harus benar-benar murni karena Allah?” 

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari lihat uraian tokoh-tokoh muslim tentang hakikat ikhlas. Para salik dan sufi seperti Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam al-Risalah al-Qusyairiyah, memaknai ikhlas sebagai “Menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam berbuat taat.” 

Al-Junaid menambahkan dengan ungkapan yang cukup mendalam, “Ikhlas adalah rahasia antara Allah dan seorang hamba. Rahasia ini tidak diketahui Malaikat sampai ia tidak dapat mencatatnya, dan tidak diketahui syetan sehingga ia bisa merusaknya, serta tidak diketahui hawa nafsu sehingga ia tidak bisa menyelewengkannya.”

Bila melihat penjelasan kedua ulama sufi di atas, maka benar adanya bahwa ikhlas adalah hal yang sangat istimewa kedudukannya. Siapapun ingin meraihnya, namun tidak sedikit yang gagal mendapatkannya. Terlebih, seperti pertanyaan di muka, perihal nasib orang awam seperti kita yang rasa-rasanya akan sangat kesulitan memurnikan niat kita hanya kepada Allah. 

Untuk mengatasi hal ini, al-Ghazali dalam Ihya’-nya, sebagaimana dikutip Yusuf al-Qardhawi dalam an-Niyah wa al-Ikhlas, mengatakan bahwa terdapat perbedaan ulama’ tentang amal yang dicampuri dengan riya’ atau ambisi pribadi (seperti popularitas.pen), apakah amal tersebut masih memperoleh pahala atau tidak memperoleh apa-apa bahkan berdosa?

Menurutnya, bila suatu amal hanya berisi riya’ semata, maka ia akan mendapatkan murka dan siksa. Apabila motif agama (ikhlas) dan nafsunya sama-sama kuat, tolak-menolak, maka amal tersebut menjadi nihil dan mendapatkan dosa. 

Apabila motif riya’-nya lebih tinggi dan mendominasi, maka amal tersebut tidak bermanfaat dan berpeluang mendapatkan hukuman, meskipun hukumannya lebih ringan dibanding yang beramal dengan riya’ saja.

Al-Ghazali melanjutkan, “Dan apabila niat taqarrub lebih mendominasi dibanding dengan yang lain, maka amal itu akan memperoleh pahala menurut kadar yang lebih dari kekuatan motif agama tersebut.” 

Landasan yang dipakai oleh al-Ghazali adalah ayat ke-7-8 surat az-Zalzalah:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ, وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

Karena itu, tokoh yang bergelar Hujjatul Islam itu menyarankan agar niat baik setidaknya jangan dihilangkan. Bahkan jika niat baik itu menang atas niat riya’, ia bisa mengugurkan hukum riya’ sekedar maksud riya’ tersebut. Dan apabila niat baik itu kalah dengan riya’, maka menjadi gugurlah dengan sebab niat baik itu, sebagian dari hukuman niat buruknya. 

Baca Juga: Memahami Makna Silaturahmi

Memang terdapat hadits yang sekilas bertentangan dengan pandangan al-Ghazali di atas, bahwa Nabi berkata, “Allah tidak akan menerima amal yang di dalamnya terdapat riya’, sekalipun hanya seberat dzarrah.” 

Beberapa ulama’ salaf seperti ‘Ubaidah Ibn Shamit, Abu Darda’, al-Hasan, dan lainnya juga mendukung hadits di atas. Namun, hemat saya pendapat al-Ghazali di atas adalah pendapat yang bisa menentramkan hati dan sesuai dengan era sekarang ini. 

Sulitnya meraih keikhlasan juga menjadi pengingat bahwa sudah selayaknya kita tidak mengandalkan amal perbuatan dan ibadah kita, melainkan Rahmat pencipta kita, Allah Swt. Tidak juga mengandalkan keadilan-Nya, namun pengampunan-Nya. Semoga kita termasuk orang-orang beruntung yang berlabel mukhlisin (orang-orang ikhlas). Amin.

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id