Dalam kajian Fiqh, terdapat tingkatan-tingkatan para faqīh (kepakaran dalam Fiqh atau hukum Islam) yang menandai kompetensi dan otoritasnya dalam keilmuan ini. Perbincangan ini juga sekaligus melanjutkan refleksi yang telah disajikan dalam tulisan sebelumnya, “Mengkaji Definisi Fiqh (III): Ulasan dan Refleksi”, yang salah satu poinnya membahas perkara perdebatan kalangan awwām seputar Fiqh yang bermuara pada polemik internal umat Islam. Sebagai informasi tambahan, tulisan ini juga masih menggunakan rujukan yang sama, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh karya Wahbah al-Zuhaili pada bagian Muqaddimāt Dharūriyah ‘an al-Fiqh.
Ada tujuh tingkatan faqīh yang ditampilkan oleh al-Zuhaili dalam karyanya dan juga merupakan hasil ulasannya terhadap karya Ibn ‘Abidin, Risālah Rasm al-Muftī. Adapun term faqīh sendiri disepadankan maknanya dengan term mujtahid yang didefinisikan sebagai “seseorang yang memiliki kompetensi atau kapabilitas dalam melakukan istinbāth al-aẖkām melalui penelaahan terhadap dalil-dalil”.
Tingkatan pertama disebut oleh al-Zuhaili dengan istilah mujtahid mustaqil dan dikategorikan sebagai thabaqah al-mujtahidīn fī al-syar’ (tingkatan para mujtahid yang menyusun hukum-hukum Fiqh). Selain diberikan status tingkatan tertinggi dalam level kepakaran fiqh, mujtahid mustaqil juga didefinisikan sebagai seorang mujtahid yang telah mampu secara mandiri (mustaqil) menempatkan kaidah-kaidah yang disusun olehnya sendiri sehingga kemudian terekonstruksi apa yang disebut sebagai Fiqh. Para faqīh yang berada pada posisi tersebut juga dikenal dengan sebutan “Imam Madzhab”, seperti Abu Hanifah (w. 150), Malik ibn Anas (w. 179), Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204) dan Ahmad ibn Hanbal (w. 741).
Sebagai tambahan sebelum melanjutkan ke tingkatan selanjutnya, istilah madzhāb juga merupakan istilah populer dalam ranah kajian Fiqh. Madzhāb dalam pengertiannya secara etimologis dimaknai sebagai makān al-dzihāb wa huwa al-thāriq (tempat berpergian/ perjalanan yaitu jalan). Adapun secara terminologis didefinisikan dengan al-aẖkām allatī isytamalat ‘alaihā al-masāil (hukum-hukum yang memuat masalah-masalah atau persoalan-persoalan Fiqh).
Adapun hubungan antara makna etimologis dengan terminologisnya terletak pada kesamaannya sebagai “penghubung”. Sebab al-thāriq (jalan) merupakan media yang menghubungkan manusia untuk memenuhi penghidupannya di dunia, sedangkan hukum-hukum yang dikodifikasi dalam madzhāb menjadi media yang mengantarkan manusia untuk mempersiapkan hari akhirnya.
Tingkatan kedua diistilahkan dengan al-mujtahid al-muthlaq gair al-mustaqil dan dimasukkan dalam kategori thabaqah al-mujtahidīn fi al-madzhāb (tingkatan para mujtahid madzhab). Para faqīh yang masuk dalam tingkatan dan kategori ini merupakan para mujtahid yang telah memenuhi persyaratan sebagai mujtahid mustaqil. Namun yang membedakannya dengan tingkatan pertama ialah bahwa para faqīh di level ini tidak menginisiasi dan menginovasi kaidah-kaidah yang digunakan dalam menganalisis dalil secara mandiri melainkan mengikuti formulasi kaidah yang telah disusun oleh para gurunya yaitu imam-imam madzhāb (mujtahid mustaqil).
Para faqīh pada kategori ini disebut juga muthlaq muntasib. Artinya, mereka mandiri dalam melakukan analisis, namun tetap terikat secara afiliatif berdasarkan metodologi yang diaplikasikan. Maka tidak mengherankan apabila dijumpai mujtahid muthlaq muntasib yang menyelisihi para mujtahid mustaqil dalam persoalan-persoalan Fiqh, namun mereka tetap ber-taqlīd kepada para imam madzhāb dalam kaidah-kaidah Ushūl. Beberapa contoh faqīh yang terkategori dalam tingkatan ini antara lain: Abu Yusuf (Hanafiyah); Ibn al-Qāsim (Malikiyah); al-Muzani (Syafi‘iyah); Abu Bakar al-Marwadzi (Hanabilah). Wahbah al-Zuhaili berstatemen bahwa dua tingkatan dan kategori pertama tidak bisa dijumpai lagi di era saat ini.
Tingkatan ketiga diberi nama mujtahid muqayyad/ mujtahid takhrīj. Para faqīh pada level ini merupakan para mujtahid yang mengkaji masalah-masalah yang tidak ada nash atau informasi maupun keterangan sebelumnya dari para imam madzhāb maupun mujtahid takhrīj. Mereka juga dikenal dengan sebutan ashẖāb al-wujūh sebab mereka melakukan takhrīj atau mengeluarkan hukum yang sebelumnya tidak dijumpai dari pendapat para imam madzhāb, sehingga pendapat mereka kemudian diistilahkan dengan wajh dalam madzhāb atau suatu pendapat yang berdiri sendiri namun dinisbatkan ke suatu madzhāb. Di antara nama para faqīh beserta madzhāb-nya dalam kategori ini yaitu al-Karkhi (Hanafiyah), Ibn Abi Zaid al-Qirawani (Malikiyah); al-Syirazi (Syafi‘iyah); dan al-Qādhi Abu Ya’la (Hanabilah).
Tingkatan keempat diistilahkan dengan mujtahid tarjīẖ. Para faqīh pada level ini merupakan mujtahid yang memiliki kompetensi dalam melakukan penyeleksian berdasarkan kualitas terhadap pendapat para imam, murid serta selainnya yang juga merupakan bagian dari imam-imam madzhāb. Mereka mampu untuk menentukan pendapat yang lebih kuat (rājiẖ) dari yang lainnya (marjūẖ). Berikut ini beberapa nama faqīh yang masuk ke dalam kategori ini: al-Marginani (Hanafiyah); al-‘allāmah Khalil (Malikiyah); al-Nawawi al-Dimasyqi (Syafi‘iyah); al-Qādhi Alauddin al-Mardawi (Hanabilah).
Tingkatan kelima dinamai mujtahid futyā/ fatwā. Mujtahid pada tingkatan ini merupakan para faqīh yang loyal dalam mempertahankan madzhāb yang diikutinya dengan menukil serta menyampaikan pemhamannya dalam menguraikan penjelasan dan permasalahan. Mereka juga dapat mengelaborasi beragam pendapat berdasarkan kualitasnya baik yang paling kuat, kuat maupun lemah, rājiẖ–marjūẖ. Namun mereka tidak mampu melakukan analisis dalil sebagaimana para mujtahid pada level di atasnya. Para faqīh yang tercakup dalam kategori ini biasanya merupakan para pengarang mutūn (redaksi-redaksi ringkas seperti syair pada kitab-kitab keilmuan Islam) yang otoritatif, semisal: al-Rafi’i dan al-Nawawi dari madzhāb Syafi’i.
Tingkatan keenam disebut sebagai thabaqah al-muqallidīn atau tingkatan bagi orang-orang yang ber-taqlīd. Mereka merupakan orang-orang yang tidak memiliki kompetensi dan keahlian sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya pada tingkat-tingkat yang berada di atasnya. Kategori terakhir ini merupakan kelompok mayoritas dalam internal umat Islam.
Sebagai refleksi, berdasarkan keterangan di atas, maka hanya sisa tiga tingkatan yang bisa dicapai di masa ini yaitu mujtahid takhrīj, tarjīẖ, fatwā. Perjalanan bagi seorang mutafaqqih (orang yang dalam proses menuju faqīh) menuju tingkatan tersebut tentu tidak bisa dicapai dalam waktu singkat apalagi dengan mengikuti kajian-kajian terbatas dan tanpa kurikulum yang tepat. Belum lagi persyaratan penguasaan berbagai macam ilmu yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin menuju level faqīh sebagai perangkat yang akan digunakannya dalam melakukan penelaahan dan analisis.
Maka, sudah selayaknya bagi umat Islam untuk memahami kompetensi dan posisinya berdasarkan uraian di atas. Hal ini menjadi sangat penting untuk tetap menjaga kondisi internal umat Islam tetap kondusif serta mempertahankan eksistensi Islam sebagai agama yang menekankan pada etika ilmiah serta perdamaian yang merupakan esensi Islam, raẖmatan li al-‘ālamīn, baik dalam ajaran maupun sikap.
Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A., Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A.? Silakan klik disini