Tempat kelahiran atau kampung halaman adalah labuhan pertama naluri manusia, awal jantung berdetak, dan darah janin tertumpah. Ia adalah tempat yang menjadi bagian tambatan hati, sekalipun berupa gunung tinggi, bentangan laut atau pun gundukan pasir di padang pasir. Jika pun seseorang terpisah jauh darinya atas sebab mengalami pengusiran dan penderitaan maka berat meninggalkan tanah air (QS. An-Nisa/4: 66), dan akan bergelora rasa rindu dalam jiwa dan nuraninya.
Imam Al-Ghazali berkata, “Manusia mencintai tanah air apa pun adanya, kendati pun belantara buas, dan cinta tanah air adalah naluri bawaan dalam jiwa, yang membuat seseorang senang tinggal di dalamnya, dan rindu jika meninggalkannya, siap membela jika diserang, dan marah jika diremehkan”.
Pergi meninggalkan kampung halaman dikenal dengan banyak istilah seperti merantau, hijrah, atau istilah lain seperti imigrasi atau urbanisasi. Rantau menurut Kamus adalah daerah (negeri) di luar daerah (negeri) sendiri atau daerah (negeri) di luar kampung halaman. Sedangkan kembali ke kampung setelah merantau dikenal istilah mudik.
Kecintaan terhadap kampung halaman ini diungkapkan oleh Nabi –shallallahu ‘ alaihi wa sallam– pada awal misinya dan ketika hijrah ke Madinah pada 1 Muharram tahun 622 Masehi. Pada malam hijrah, diriwayatkan dari Abdullah bin Adi, bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam– berdiri di Hazwajah suatu daerah pinggiran Mekah, untuk mengucapkan selamat tinggal pada tanah air dan rumahnya, sambil mengingat aneka kenangan, cinta yang mendalam dan bercampur dengan rasa sakit atas perlakuan masyarakat Quraish- Beliau berkata:
“Demi Allah, aku tahu bahwa kamu adalah tanah yang paling dicintai Allah, sekiranya orang-orang tidak mengusir saya, niscaya saya tidak akan pergi”. [Shahih, HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah].
Hadits itu menjadi petunjuk yang jelas cinta Nabi –shallallahu ‘ alaihi wa sallam– atas negeri dan tanah airnya Mekah, dan itu juga menunjukkan beratnya kesedihan atas perpisahan pergi jauh menuju rantau. Dalam riwayat Ibnu Abbas Nabi –shallallahu ‘ alaihi wa sallam berkata, “Sungguh tiada negeri yang lebih indah yang aku cintai selainmu. Andai bukan karena mereka mengusirku darimu, niscaya aku tidak akan menetap di negeri selainmu.” [Shahih, HR. At-Tirmidzi].
Sebagaimana hijrah dari Mekkah ke Madinah merupakan suatu hal yang sulit dan berat bagi Nabi –shallallahu alaihi wa sallam– juga bagi para sahabatnya, maka awal kehidupan di Madinah juga berat, terlebih di masa itu sedang terjadi wabah.
Sayyidah Aisyah radiyallahu anha, berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, wabah penyakit demam. Banyak dari Sahabat yang tertimpa wabah tersebut. Namun Allah SWT menghindarkan Rasul-Nya dari penyakit itu. Ketika Abu Bakar, Amir bin Fuhairah, dan Bilal tinggal di dalam satu rumah, mereka semua terserang penyakit demam. Maka aku pun datang untuk menjenguk mereka. Hanya Allah yang tahu tentang beratnya sakit yang mereka alami.
Baca Juga: Sampah, Konsumerisme dan Keislaman Kita
Aku pun datang dan menemui Abu Bakar dan menyapanya, ‘Bagaimana kabarmu, wahai ayahku?’. “Lalu Abu Bakar pun menjawab: ‘setiap orang boleh bersenang-senang bersama keluarganya di waktu pagi, padahal kematian itu lebih dekat dengannya daripada tali sandalnya,’. Demi Allah, Abu Bakar tidak sadar dengan apa yang diucapkannya.
Kemudian aku datang menemui Amir bin Fuhairah dan bertanya kepadanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’. “Amir pun menjawab ‘Sungguh aku telah merasakan kematian sebelum aku mengalaminya. Sesungguhnya seorang pengecut selalu berteriak dari atas. Setiap orang pasti berusaha sekuat tenaga, seperti sapi yang melindungi kulitnya dengan tanduknya,’.
Demi Allah, Amir tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan. Sedangkan Bilal apabila terserang demam itu, ia berbaring di halaman rumah sambil berseru, “Bilal berkata, ‘Duhai, bisakah aku bermalam semalam saja di Fakh (nama tempat di luar kota Makkah)?
Sementara di kanan dan kiriku terdapat idzkir dan jalil (nama tanaman yang harum). Duhai, bisakah aku singgah di mata air Majannah (nama sebuah pasar di era Jahiliyah), dan bisakah aku menatap sekali lagi Bukit Syaamah dan Thafil (nama dua gunung di Makkah)’. Kemudian aku menceritakan apa yang aku saksikan kepada Rasulullah SAW. Kukatakan kepada beliau (Rasulullah), ‘Mereka tidak menyadari apa yang mereka ucapkan karena parahnya demam yang menyerang mereka’. Mendengar itu, Rasulullah SAW pun menjawab, ‘Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah sebagaimana kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu, serta pindahkanlah wabah yang menimpanya ke Juhfah dan berkahilah mud dan sha-nya.” [Shahih, HR. Bukhari].
Allah menjawab permohonan Nabi-Nya, umat Islam dibebaskan dari wabah tersebut, dan Madinah menjadi rumah tercinta (kedua) bagi Nabi dan untuk semua kaum muslimin yang hijrah ke sana. Al-Dzahabi mengatakan, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam mencintai Sayidah Aisyah, mencintai ayah Aisyah, mencintai Usamah, mencintai kedua cucunya, mencintai manis-manisan dan madu, mencintai gunung Uhud, mencintai tanah airnya, mencintai sahabat Ansar, dan mencintai hal lain yang tidak terhitung.” (Siyar A’lam an-Nubala’: 15/394).
Meskipun kenyamanan lingkungan dan tempat tinggal di kampung halaman, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam para sahabat mencintai Mekah, tetapi mereka lebih memilih agama Allah dan dengan ikhlas hijrah tanpa diiringi harap untuk kembali lagi ke kampung halaman. Atas itulah Allah SWT memuji orang yang berhijrah, dan meninggikan kehormatan mereka dan pahala besar bagi mereka sebagaimana disebut dalam QS at-Taubah/9: 20-22.
Jika fenomena mudik di Indonesia adalah kembali ke kampung halaman dan terjadi pada akhir ramadan, maka sesungguhnya Nabi –shallallahu ‘ alaihi wa sallam– juga pernah melakukan hal yang sama.
Pada tanggal 20 Ramadan Tahun 8 Hijriah atau 630 Masehi, Nabi –shallallahu ‘ alaihi wa sallam– beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah. Tetapi berbeda dengan motivasi mudik masa kini, mudik Nabi dan para sahabat tidak sekadar berkunjung kembali ke Mekah dan menjumpai sanak keluarga, melainkan untuk tujuan lebih mulia, yaitu membebaskan dan menguasai Mekkah kembali dari penguasaan Kaum Musyrik tanpa pertumpahan darah.
Perlahan pasukan memasuki Mekah dengan membawa benderanya hingga datang sahabat Anshar bernama Sa’ad bin Ubadah, dalam Kitab Maghazi ia menemui Abu Sufyan sambil berkata, “Hari ini adalah hari pembalasan (Al-Yaum yawm al-Malhamah) dan hari ini ka’bah dihalalkan untuk di rebut dari kekuasaan kaum Quraisy“. Kemudian Abu Sufyan bertanya kepada Rasulullah akan hal itu, Nabi bersabda lagi : “Berdusta Sa’ad, hari ini adalah hati pengampunan umum (اليوم يوم المرحمة) dan hari ini adalah hari penghormatan ka’bah dan hari ini Allah akan memuliakan kaum Quraish”.
Baca Juga: Relasi Suami-Istri dan Filosofi Pakaian dalam Al-Qur’an
Terbukti sesampainya di Mekah, kaum Muslimin berhasil memasuki Mekah, menghancurkan berhala yang ditempatkan di dalam dan sekitar Ka’bah serta memberikan pengampunan bagi siapa pun dengan menebar belas kasih (rahmah). Peristiwa ini disebut kemenangan atau pembebasan Mekah (Fathu Makkah).
Kepulangan Rasulullah dan para Sahabat didorong dengan misi rahmah, yakni pesan cinta bagi semua orang, mempertautkan yang cerai berai, menghilangkan dendam dan memaafkan mereka yang selama ini gemar memperolok, menghujat bahkan memusuhi dan ingin membunuh Nabi.
Kecintaan seorang muslim terhadap tanah air dan upaya untuk mudik adalah petikan pelajaran dari peristiwa Hijrah dan Fathu Mekah. Tetapi bagaimana pun besar keinginan mudik terlebih di masa kini bukan lah kewajiban, apalagi jika perjalannya membawa sengsara dan petaka. Mudik hendaknya berakhir indah sebagaimana mudik yang membawa rahmah dan kemenangan sebagaimana mudik kala Fathu Makkah.
Dr. Muhamad bin Abdullah Alhadi, MA, Ustadz di Cariustadz.id