Selain panduan ibadah dan amal-amal shaleh, banyak hal yang dikaji dalam al-Qur’an, hal yang tak kalah penting dibahas ialah masalah keluarga, relasi suami-istri (termasuk pernikahan, pemberian mahar, thalaq, rujuk), relasi orangtua dengan anak (begitu pun sebaliknya) dan panduan mengenai batasan aurat ketika di dalam maupun di luar rumah. Sementara itu, mengenai busana/ pakaian, al-Qur’an pun menyebutnya baik secara metafor (majazi) maupun makna hakiki.
Dalam Al-Qur’an paling tidak terdapat tiga bentuk istilah yang berkaitan dengan busana, yaitu libas, tsiyab, dan sarabil. Selain tiga istilah tersebut, juga ditemukan istilah-istilah lain dalam Al-Qur’an yang terkait dengan busana seperti jilbab, khimar (kerudung), zinat (perhiasan), dan hijab.
Dalam konteks keluarga dan relasi fungsi suami isteri, dapat ditemukan dalam Q.S Al-Baqarah/2 ayat 187:
… أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka …” (Q.S Al-Baqarah/2: 187)
Allah Swt mengumpamakan bahwa hubungan suami-istri dalam ayat di atas selayaknya fungsi pakaian (libaas) untuk menutupi satu sama lain (to cover each other). Lafadz libaas (un), yang berakar kata la-ba-sa dengan beragam derivasinya dalam Al-Qur’an, disebut sebanyak 23x. Tidak kurang dari 18 surah menyebut lafadz ini. Namun yang disebut dengan libaas, hanya ada enam dalam ayat yang berbeda, yakni Qs. Al-Baqarah/2: 187, al-A’raf/ 7: 26, an-Nahl/ 16: 112, al-A’raf/ 7: 26, al-Furqan/ 25: 47, dan An-Naba’/ 78: 10.
Baca Juga: Peran dan Posisi Perempuan dalam Kehidupan Bermasyarakat
Adapun lafadz libaas yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an di atas, tidak semuanya mengandung arti busana sebagai penutup aurat secara hakiki, ada beberapa libaas dalam arti busana secara majazi. Kata libaas yang berarti busana sebagai penutup aurat dalam arti yang hakiki terdapat pada dua ayat, yaitu lafadz libaas yang terdapat pada firman Allah “Busana untuk menutup auratmu dan busana indah untuk perhiasan” (Q.S Al-A’raf/6: 26).
Lafadz “libaas” (busana) pada ayat itu, menurut Al-Qasimi yaitu mengandung arti sesuatu yang dipakai dari busana. Adapun kata “risy” yaitu perhiasan, yakni sesuatu yang menghiasi busana, sehingga menjadi indah. Sementara menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud libaas pada ayat itu ialah penutup aurat, sedangkan risy yaitu sesuatu yang membuat indah busana atau dengan kata lain sebagai penghias busana.
Pandangan lain dikemukakan oleh Sayid Quthb yang dimaksud libaas dan risy dalam ayat itu ialah busana yang menutup aurat yang terbuka, kemudian Allah menjadikan perhiasan yang memperindah busana itu sebagai pengganti kejelekan dan keburukan aurat tersebut. Jadi, menurutnya bahwa libaas itu merupakan busana dalam, sedangkan risy ialah yang menutup tubuh seluruhnya dan yang dapat memperindah busana tersebut, dan itu ialah merupakan busana luar.
Menarik apa yang diungkapkan oleh Sayyid Quthb yang menilai bahwa libaas ialah pakaian dalam (pelindung) tubuh manusia yang memiliki fungsi penting agar bagian organ tubuh tidak terlihat (karena sebagian manusia pasti memiliki rasa malu jika auratnya tampak keluar)—karenanya, senada dengan pendapat Sayyid Quthb dan dikaitkan dengan firman Allah dalam surah al-Baqarah/2: 187 tersebut, kata libaas menurut Ibnu Abbas maksudnya ialah sakan (tempat atau ketenangan), dalam arti bahwa isteri itu merupakan suatu tempat yang dapat memberikan ketenangan bagi suami dan suami juga merupakan suatu tempat yang dapat memberikan ketenangan bagi perempuan.
Adapun menurut Al-Rabi’ yang dimaksud libaas dalam ayat itu mempunyai arti selimut, yang maksudnya bahwa isteri itu merupakan selimut bagi suami, begitupun sebaliknya. Baik menurut Sayyid Quthb, Ibn ‘Abbas, dan Al-Rabi’ mengenai fungsi pakaian, keduanya (suami dan isteri) memiliki peranan bukan hanya menutup tubuh (fisik) namun juga saling belajar menutupi aib-aib dan menerima kekurangan. Mengapa demikian?
Jika kita meyakini bahwa pernikahan adalah proses belajar sepanjang hayat, maka kita akan sampai pada pemahaman bahwa, semua manusia— siapapun ia, tak lepas dari kekurangan dan kelemahan. Karena intensitas dan frekuensi waktu kebersamaan yang panjang itulah, suami paling paham karakter isterinya, luar dalam, baik buruknya, begitupun sebaliknya.
Keduanya juga tak akan pernah luput dari dosa dan kekhilafan, yang jika saja dosa dan kekhilafan itu dilakukan salah satunya, maka dengan konsep kesalingan dengan penuh kesadaran tentang filosofi pakaian inilah, diharapkan keduanya bisa memaklumi, saling mengingatkan dan bersabar dalam melewati aneka ujian yang pasti terjadi dalam setiap hubungan.
Baca Juga: Merayakan Momentum Hijrah dengan Vaksin Lahir Batin
Pemahaman dan kesadaran ini akhirnya sejalan dengan filosifi pakaian dalam al-Qur’an mengenai konsep kesalingan; ketika suami isteri sudah memaklumi dan belajar menerima kekurangan satu sama lain, menahan diri untuk tidak mengumbar aib salah satunya kepada orang lain (terlebih media sosial)— maka keduanya akan naik pada level berikutnya yakni bukan hanya memeroleh derajat terbaik dari kesalingan menutup aib satu sama lain namun juga memeroleh apa yang disebut al-Qur’an sebagai libaasut-taqwa (pakaian taqwa)—yang menuntun keduanya makin taat, dekat dan lekat dengan Tuhan penciptanya—sesuai dengan Qs. Al-A’raf/ 26.
“Hai Anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu “libaas” (busana) untuk menutup auratmu dan busana indah untuk perhiasan. Dan “libaas” (busana) takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat,”
Dr. Ina Salma Febriany, M.A, Ustadzah di Cariustadz.id