Islam mengajarkan umatnya menjadi pribadi yang dinamis dan progresif. Hal ini tersurat dalam QS. Al-Hasyr: 18. Nabi sendiri menuturkan bahwa orang yang beruntung adalah dia yang apabila hari ini lebih baik dari kemarin. Adapun mereka yang hari ini sama seperti hari kemarin maka termasuk golongan orang yang merugi. Sementara orang yang hari ini lebih buruk dari kemarin, berarti dia telah celaka. Pertanyaannya, maukah kita menjadi orang celaka dengan meninggalkan kebiasan baik yang pernah kita kerjakan dengan usaha maksimal?
Pernyataan Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Hakim tadi mengajak kita untuk tetap semangat memperbaiki diri. Minimal sama seperti kemarin meskipun rugi waktu. Jangan sampai kita menjadi orang yang celaka. Melalui QS. An-Nahl: 92, melalui amtsal Al-Qur’an Allah tidak ingin hamba-Nya celaka. Dalam ayat itu disebutkan “Janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai-berai kembali.”
Jika mengingat kembali perjalanan kita selama Ramadan kemarin, paling tidak ada lima kebaikan yang bagi sebagian kita kini telah pudar secara bertahap dan bahkan mungkin sudah hilang tidak berbekas. Allah tidak ingin kita menjadi seperti penenun yang mengurai kain tenunnya yang indah dan kuat menjadi helaian benang yang tidak berbentuk dan rapuh. Menjadi pribadi yang menyia-nyiakan perjuangannya sendiri. Memang, Ramadhan sejak dahulu membuat kebaikan terasa ringan dan mudah. Bagi sebagian pelajar, hal ini ditunjang dengan hadirnya mutaba’ah dari sekolah. Mutaba’ah yang berbentuk buku atau lembaran ini berisi laporan harian mereka dalam mengerjakan salat, tilawah, bersedekah, mengikuti kajian, dan lainnya. Aneka kegiatan ini disahkan oleh imam, ustaz yang berwenang, atau orang tuanya. Lantas, apa sajakah lima hal itu?
Pertama, salat berjamaah. Pada hari-hari biasa, kita sulit menemukan musala atau masjid yang penuh dengan jamaah. Pemandangan ini tidak berlaku di bulan Ramadan. Namun kini hal itu kembali lagi. Rasanya sangat disayangkan jika salat berjamaah kita yang sudah menjadi kebiasaan pada bulan kemarin pudar begitu saja. Bukankah dengan salat berjamaah pahala kita makin berlipat? Berbeda dengan salat sendirian yang nilainya hanya satu. Bukankah dengan menjaga berjamaah berarti kita senantiasa salat di awal waktu? Hal ini membuat kita terbebas dari beban saat dijemput maut yang datangnya tiba-tiba. Bukankah dengan berjamaah hati kita tergerak untuk melaksanakan salat sunnah rawatib? Minimal salat qabliyah sambil menunggu iqamah. Bukankah dengan berjamaah peluang diterimanya lebih besar?
Kedua, salat sunnah pada malam hari. Kebiasaan ini sudah pernah kita kerjakan selama satu bulan. Waktu yang tidak singkat untuk melatih kita memiliki kebiasaan. Sebelum tidur dengan tarawih dan witirnya dan di waktu sahur dengan tahajjudnya. Jika dengan jumlah 23 atau 11-nya kita sudah pernah sanggup, rasanya sangat disayangkan jika kini tidak mampu mempertahankan 3 atau 5 darinya. Terlebih, salat sunnah ini, baik tahajjud atau witir sangat dianjurkan oleh agama. Anjuran salat malam secara umum Allah sampaikan dalam surat al-Muzzammil ayat 2 dan 20. Lebih spesifik lagi, QS. Al-Isra: 79 menganjurkan salat tahajjud kepada kita. Adapun mengenai salat witir, Nabi – dalam beberapa riwayat – sangat menyayangkan umatnya yang meninggalkannya sementara mereka pernah melaksanakannya.
Ketiga, tilawah Al-Qur’an setiap hari. Banyak diantara kita – baik secara pribadi maupun kolektif – yang pada bulan kemarin berlomba untuk bisa mengkhatamkan Al-Qur’an. Ada yang tiga hari sekali, empat hari sekali, lima hari sekali, enam hari sekali, seminggu sekali, sepuluh hari sekali, dan sebulan satu kali. Kita terinspirasi oleh Nabi dan ulama salaf yang fokus pada Al-Qur’an pada bulan mulia tersebut. Berapapun jumlah khatamannya, intinya adalah setiap hari kita pasti menyapa Al-Qur’an. Padahal, kegiatan saat itu semakin padat dengan salat tarawih, kajian-kajian dan makan sahurnya. Jika demikian keadaannya, mengapa sekarang sapaan itu hilang? Padahal kegiatannya kembali normal seperti sedia kala. Mari kita hidupkan kembali ‘menyapa Al-Qur’an setiap hari’. Supaya tidak masuk dalam golongan yang diadukan Nabi dalam QS. Al-Furqan: 30. Sekelompok umatnya yang meninggalkan dan tidak memperhatikan Al-Qur’an.
Keempat, makan teratur dan secukupnya. Siang hari merupakan waktu yang paling tepat untuk mengonsumsi aneka makanan. Pasalnya saat itu sebagian besar kita melakukan aktifitasnya. Tidak jarang aktifitas tersebut membuat pola makan kita tidak teratur. Ada yang mengonsumsi makanan ringan sebagai gantinya atau sekedar untuk mengganjalnya. Sungguh kebiasaan yang tidak baik untuk kesehatan. Puasa membantu kita untuk disiplin terhadap waktu makan. Memang, hal ini tidak bisa kita terapkan saat ini seratus persen. Tapi paling tidak, kita menjadi lebih perhatian terhadap pola makan. Bukankah tubuh kita terasa ringan untuk beraktifitas pada bulan puasa? Boleh jadi itu efek dari pola makan yang teratur. Hal yang tidak kalah penting adalah makan secukupnya. Meskipun banyak makanan yang tersaji saat berbuka, setiap kita tidak melahap semuanya. Kita sudah merasa cukup setelah menikmati sebagian makanan yang ada.
Kelima, berbagi kepada orang lain. Puasa mengajarkan kita bagaimana rasanya lapar. Hal ini menajamkan rasa empati dan simpati kita kepada sesama. Kita menjadi pribadi yang mudah berbagi. Menjadi pribadi yang sadar betapa sisa makanan di meja adalah impian sebagian saudara kita yang kelaparan. Bukankah saat puasa kemarin banyak sekali orang yang berbagi takjil dan menu untuk buka puasa atau sahur? Realita ini merupakan bukti betapa Ramadan telah berhasil merubah sebagian kita.
Menjelang akhir Ramadan, banyak sekali dari kita yang merasa kehilangan seraya berharap agar dipertemukan kembali dengannya nanti. Pertanyaannya, mengapa kita tidak menciptakan Ramadan versi kita sendiri saja? Kita jaga dan rawat semangat Ramadan. Tentunya dengan menjaga lima kebiasaan di atas atau kebiasaan baik lainnya yang pernah kita kerjakan bersamanya. Sebelum Ramadan semakin jauh meninggalkan kita. Selain itu, dengan hal ini kita juga telah mengindahkan larangan Allah yang disampaikan melalui penenun kain yang bodoh. Wallāhu a’lam.
Syafi’ul Huda, S.Pd.I.,M.Ag., Ustadz di cariustadz.id
Tertarik mengundang Syafi’ul Huda, S.Pd.I.,M.Ag.? Silakan Klik disini