Merayakan Momentum Hijrah dengan Vaksin Lahir Batin

Memasuki tahun kedua pandemi Corona Virus Diseases 19 (Covid-19), Indonesia masih belum sepenuhnya pulih. Pembatasan kegiatan masyarakat menjadi pilihan demi menekan laju penyebaran virus. Tahun kedua pandemi ini pula, kita kembali menghadapi momentum sakral; tahun baru Islam (Hijriyah) yang sarat tentang makna hijrah. Baik hijrah secara fisik (jasmani) dalam makna berpindah raga. Maupun hijrah secara ruhani atau jiwa. Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Hasyr: 18)

Baca Juga: Al-Quran dan Penentuan Waktu Tahun Hijriah dan Masehi

Mencermati ayat di atas, kita terperangah oleh pesan yang tertulis dalam untaian ayat-Nya. Pesan utamanya ialah takwa. Allah Swt menghendaki ketakwaan dalam diri setiap hamba-Nya. Ketakwaan yang menghantarkan mereka untuk bukan hanya takut—namun ketakutan yang melahirkan kualitas iman. Ketakutan yang menghantarkan manusia menuju perbaikan amalan. Namun, berbincang soal hijrah yang bukan saja terkait dengan konteks jasmani, tentu tidaklah mudah. Ada banyak rintangan dan godaan, juga beberapa tahapan khusus yang harus dilalui hamba-Nya demi memaknai hijrah secara spiritual yang melahirkan kesalehan sosial.

Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa bin Abdullah al-Jaili bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa bin Abdullah al-Mukhdi bin al-Hasan al-Matsna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra atau yang lebih popular dengan sebutan Syaikh Abdul Qadir Jailani, dalam buku Tazkiyyatun Nafs (Mensucikan Jiwa) karya Fathur Robbani, misalnya mendahulukan taubat sebagai pintu hijrah pertama dan utama untuk manusia dalam perjalanan mengenal Tuhan. Taubat yang berakar kata ‘taa-ba’ sebagai bentuk kembalinya seorang hamba pada Sang Khaliq, Syaikh Muhyiddin Abdul Qadir Jailani menekankan betul bahwa bukan hanya fisik yang perlu dilatih agar tetap bugar, sehat dan prima, namun yang tak kalah penting adalah melatih jiwa agar senantiasa taat dan tidak menentang takdir-Nya. Dalam salah satu ceramahnya, Syaikh Muhyiddin berkata, “Apapun bentuk kemaksiatan jiwa ialah pertentangan dan pembangkangan terhadap Allah,”

Mengapa pertentangan dan pembangkangan terhadap Allah Swt? Sungguh, uraian di atas sangat relevan di masa pandemi yang belum berakhir ini. Ada sebagian kalangan yang memiliki keyakinan dan tawakkal yang tinggi, sehingga ikhlasnya tetap terjaga menerima ketetapan-Nya melalui adanya virus Covid-19 dengan tak jemu berikhtiar untuk taat protokol kesehatan.

Namun, tak sedikit pula yang ‘merasa’ sudah letih, cemas, geram dan tidak sabar hingga bertanya-tanya, ‘Kapan sih virusnya berakhir?’ bahkan cenderung abai menjaga kesehatan. Demikianlah, akan selalu ada golongan shalih (baik) dan muslih (senantiasa memperbaiki dirinya). Juga golongan orang yang ghair shalih bahkan melahirkan mafsadat (kerusakan) di muka bumi.

Refleksi tahun baru Islam soal hijrah ini sesungguhnya mengajarkan kita untuk lebih ‘aware’ dan ‘prepare’. Menyadari bahwa tantangan kita bukan hanya makhluk kecil tak kasat mata, namun setiap harinya, kita akan selalu berlawanan dengan sang ‘hawa’. Hawa nafsu yang senantiasa mengajak untuk membangkang, jauh dan makin menjauh pada Tuhan hingga mengingkari ni’mat serta menentang ketetapan-Nya.

Karenanya, hadits Qudsi tentang tawakkal ini menjadi bahasan yang sarat pelajaran, “Siapa saja yang tidak rela menerima ketetapan-Ku (takdir-Ku) dan tidak sabar menghadapi ujian-ujian-Ku kepada dirinya, silahkan dia mencari Tuhan selain Aku. [HR. Ath-Thabrani dan Ibnu ‘Asakir] demikian Allah Swt sampaikan, agar manusia sadar siapa dirinya? Darimana ia berasal? Mengapa ia diciptakan? Dan mengapa pula Allah turunkan ujian? Agar kita aware dan prepare; menyadari bahwa hanya Allah yang menciptakan, merawat, mengurus dan memenuhi semua kebutuhan makhluk-Nya, hingga kitapun mau bersiap menanti hari pertanggung jawaban amal selama hidup di dunia.

Penghujung ayat terakhir surah al-Hasyr/ 18 mengingatkan kita akan kesementaraan dunia sehingga wajib bagi semua manusia yang beriman untuk mempersiapkan amal dan bekal yang maksimal. Dengan kesadaran penuh tersebut, tidak ada lagi ruang atau celah-celah untuk meragukan datangnya hari akhir sebab satu hal yang tidak bisa dihindarkan ialah kematian—dan kematian ialah gerbang awal untuk menemui-Nya untuk merasakan kehidupan yang kekal abadi.

Baca Juga: Teladan Rasulullah dalam Memaknai hari Kemerdekaan

Dengan kesadaran penuh ini pula, hijrah sepatutnya direfleksikan bukan hanya ketundukan secara spiritual, namun juga melahirkan kesalehan sosial. Hal ini terkait dengan upaya atau ikhtiar berbagai negara di seluruh dunia yang tengah gencar-gencarnya memvaksin fisik agar terbebas dari virus yang bisa menggerogot jasmani, demi tercipta herd-immunity dan hijrah pada kondisi hidup yang lebih baik.

Tak cukup vaksin jasmani, kita pun sangat butuh vaksin hati dengan tahapan-tahapan yang diajarkan Syaikh Abdul Qadir Jailani yakni; taubat, syukur, ikhlas, ridha (atas ketetapan Allah) agar iman dan amalan dapat terus diupgrade lebih berkualitas lagi hari demi hari. Jika kesadaran ini sudah ada dalam tiap-tiap jiwa, maka insyaAllah, kesalehan sosial sangat mungkin tercipta. Semoga!

Dr. Ina Salma Febriany, M.A, Ustadzah di Cariustadz.id