Iqtishad Bukan Ekonomi Islam?

Menurut M. Sholihul Aziz, iqtishad merupakan istilah yang terbilang masih baru di kalangan masyarakat umum dan pemaknaan yang dirujuk dari kata tersebut juga masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli ekonomi. Ada sebagian yang mengartikan bahwa iqtishad hanya merupakan padanan kata dari istilah ekonomi Islam, dan ada sebagian yang menafsirkan bahwa iqtishad adalah sebuah paradigma ekonomi yang merujuk pada ekonomi yang adil dan seimbang.

Tinjauan Bahasa

Kata `iqtishad’ seringkali diterjemahkan sebagai ekonomi. Sehingga al-iqtishad al-Islamy berarti ekonomi Islam. Dalam Lisanul Arab, kata Iqtisad berasal dari akar kata qashadu/ qashdu yang berarti lurus, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam QS Al-Nahl ayat 9 : Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. dan Jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar). Sedangkan Taj al-Arus menyebut Iqtisad berasal dari kalimat qashada/qashdu yang berarti sederhana, yang berada di antara bakhil dan israf. Qashdu bermakna al wasthu baina al tharfaini berarti pertengahan antara dua sisi; tidak berlebihan dan tidak abai, tidak kikir dan tidak boros.  Kata iqtishad bentuk mashdar dari iqtashada-yaqtashidu-iqtishadan-muqtashid-muqtashad yang berarti hemat, moderat, tidak berlebihan, seimbang, tegak, dan adil.

Bila substansi iqtishad itu tawazun, tawassuth, `adil dan i`tidal, maka iqtishad (secara istilah) berbeda dengan ekonomi. Karena ekonomi adalah ilmu yang mengaji faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan material, penambahan kekayaan masyarakat dan solusi atas problematika produksi dan distribusi. Atau ekonomi adalah ilmu yang mengaji perilaku manusia dalam memecahkan problematika ekonominya. (Sumber:  tazkiyatuna).

Al-Quran dan Literatur Klasik

Dalam literatur tentang iqhthisad, Sufyan bin Hussein rahimahullah – bertanya kepada para sahabat dan muridnya: Tahukah kamu apa itu al-iqthishad? Beliau menjelaskan:

هو الشيء الذي ليس فيه غلو ولا تقصير؛ أي: ليس فيه إسراف ولا بخل

Ini adalah hal di mana tidak ada kelebihan atau kekurangan; Artinya, tidak ada sifat boros atau kikir di dalamnya.

Penjelasannya tersebut tiada lain sebagai penafsiran atas al-Quran Surah al-Furqan/25: 67, “Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar”.

Baca Juga: Lima Gaya Hidup Hemat Nabi Muhammad Saw

Al-Qur`an menyebutkan beberapa kata yang se-akar dengan iqtishad, seperti waqshid fi masyyika (sederhanalah/tegaklah dalam berjalan dan hindari kesombongan, Luqman: 19); qashdu al sabil (jalan yang lurus, Al Nahl: 9); ummatun muqtashidah (ummat pertengahan, Al Maidah: 66); fa minhum muqtashid (mereka yang menempuh jalan yang lurus, Luqman: 32); wa minhum muqtashid (di antara mereka ada yang pertengahan, Fathir: 32).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita nilai ini dan tempatnya dalam Islam, ketika beliau menempatkan sifat sederhana sebagai salah satu bagian dari kenabian.

السَّمْتُ الْحَسَنُ وَالتُّؤَدَةُ وَالِاقْتِصَادُ جُزْءٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ

“Perangai yang baik, sikap kehati-hatian dan tidak berlebihan (iqtishad) merupakan bagian dari dua puluh empat bagian kenabian” [Hasan, HR. Tirmidzi].

Demikian juga, diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz rahimahullah biasa mengatakan:

إن من أحب الأمر إلى الله – عز وجل – القصد في الغنى والعفو في المقدرة

“Di antara urusan yang dicintai Allah azza wa jalla adalah adalah sederhana dalam kekayaan dan afwa dalam kemampuan.”

Kata “al-afwa” adalah harta yang berlebih, sebagaimana terdapat dalam surat Al Baqarah/2: 129, perihal anjuran untuk menafkahkan atau memberikan harta yang lebih dari keperluan diri. Anjuran bertindak hemat juga didukung oleh Riwayat yang mashur berikut:

ما خاب من استخار ولا ندم من استشار ولا عال من اقتصد.

 “Tidak rugi orang yang beristikharah, tidak akan kecewa orang yang bermusyawarah dan tidak akan miskin orang yang hidupnya hemat. [Dhaif, HR. At-Thabrani]

Benang Merah

Sudah banyak kajian tentang perbedaan Iqtishad dengan ekonomi. Sehingga menurut Byarwati & Sawarjuno, iqtishad tidak bisa disamakan dengan ekonomi. Begitu pula, tidak bisa memasukkan iqtishad sebagai bagian/cabang dari ekonomi Islam, hanya karena ditemukan beberapa kemiripan di dalamnya, baik secara teori maupun praktek.

Lebih lanjut, istilah iqtishad tidak tepat diposisikan sebagai terjemahan dari istilah ekonomi. Masing-masing istilah itu memiliki akar filosofi dan ideologinya tersendiri. Al-Iqtishad lebih tepat dimaknai melakukan sesuatu atau mengatur sesuatu sesuai dengan ketentuan, adil, dan seimbang. Penggunaan kata Iqtishad juga mengandung arti berkegiatan lurus, mencari keuntungan tanpa menindas orang (golongan) lain, mengutamakan keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat yang tingkat ekonominya berbeda-beda.

Iqtishad memiliki gagasan, konsepsi, filosofi pemikiran, norma, budaya, kultur, keyakinan, dan ideologinya yang berakar kuat pada Islam. Iqtishad tidak bisa dipisahkan, ia terintegrasi dalam kerangka sistem Islam yang utuh dan sempurna. Karena itu, Iqtishad adalah konsep Islam yang original, ia tidak bisa diidentikkan dengan Ekonomi Islam, yang dihasilkan dari perkawinan antara Islam dengan konsep ekonomi sekuler.

Konsepsi yang membudaya

Konsep iqhtisad sebagaimanan definisi di atas telah diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan masyarakat Islam di sepanjang sejarahnya, semenjak zaman Rasulullah SAW, kemudian diteruskan oleh para Khulafa Rasyidin dan masa-masa setelahnya.

Para ulama mengatakan bahwa iqtishad dan tidak boros termasuk di antara tanda-tanda yang membedakan seorang mukmin dari orang lain. Dari al-Hasan radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

إن من علامة المؤمن: قوة في دين، وحزمًا في لين، وإمامًا في يقين، وحِلمًا في علم وكيسًا في مال، وإعطاءً في حق، وقصدًا في غنًى، وتجمُّلاً في فاقة، وإحسانًاً في قدرة

“Di antara tanda-tanda seorang mukmin adalah kuat dalam agama, tegas dibalut kelembutan, kepemimpinan dalam keteguhan, arif dalam ilmu, bijak dalam mengelola harta, menunaikan hak, hemat dalam kekayaan, berhias dalam kepapaan, dan berbuat bajik semampunya.”.

Pemborosan menyebabkan kemiskinan, maka harus ada upaya penghematan agar mampu mandiri dan meraih kemapanan. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus kefakiran melalui hidup sederhana. Beliau bersabda, “tidak akan miskin orang yang hidupnya hemat”  (ما عال مقتصد) sebagaimana dalam riwayat At-Thabrani (status hadits Dhaif).

Baca Juga: Meneladani Resep Sehat ala Rasulullah

Perintah hidup hemat, moderasi atau minimalis  berlaku dalam semua aspek kehidupan, baik dalam pakaian dan perumahan, kendaraan dan pelayan, dan alat komunikasi, kendaraan dan hiburan. Namun ada satu hal yang penting, yaitu berhemat sebagai kebutuhan pokok tidak menafikan bahwa seorang muslim boleh menikmati hidup ini sesuai dengan aturan syariah dan batasan moral. Menikmati dunia dan kebahagiaannya tidak bertentangan dengan pandangan ekonomi Islam, sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Qasas/28: 77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Epilog

Tulisan ini tidak memperdebatkan penggunaan istilah iqtishad merujuk kepada ekonomi atau sekadar makna penghematan. Terlebih di antara keduanya memang ada titik temu. Satu hal yang disepakati bahwa pengertian secara bahasa biasa berkembang menjadi istilah yang akan terus meluas atau mengkristal seiring perkembangan zaman.

Dr. Muhamad bin Abdullah Alhadi, MA, Ustadz di Cariustadz.id