Dalam berbagai buku yang berbicara tentang sejarah Haji dan Ka’bah, ditemukan uraian yang berbeda menyangkut siapa yang mula-mula membangun Ka’bah dan melalui siapa Tuhan pada mulanya mensyariatkan ibadah haji. Kalau merujuk kepada al-Quran kita dapat berkata bahwa:
Pertama, Nabi Ibrahim bersama putra beliau, Ismail as., adalah yang meninggikan fondasi Ka’bah sesuai firman Allah Swt.:
“Renungkanlah ketika Ibrahim dan Ismail meninggikan fondasi Baitullah (Ka’bah) seraya berkata: “Tuhan Pemelihara kami, terimalah amal kami Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]:127).
Baca Juga: Manfaat Haji bagi yang tidak Melaksanakan Haji
Ayat ini memberi kesan bahwa Ka’bah telah ada sebelum Nabi Ibrahim as., hanya saja beliau bersama putranya Ismail as., yang meninggikan fondasinya, karena boleh jadi ketika itu Ka’bah telah runtuh atau bahkan rata dengan bumi.
Kedua, setelah selesai tugasnya, Nabi Ibrahim as. berdoa dengan diaminkan oleh putra beliau Ismail as. dengan doa berikut:
“Tuhan Pemelihara kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat, lagi Maha Pengasih.” (Al-Baqarah [2]:128).
Ini memberi kesan bahwa Nabi Ibrahim as. mengetahui adanya ibadah yang berkaitan dengan Ka’bah dan sekitarnya, karena itu beliau bermohon agar ditunjukkan tempat-tempat dan cara-cara ibadah tersebut.
Dapat diduga keras bahwa Allah Swt. mengabulkan doa beliau dan menyampaikan kepada beliau tempat dan cara-cara ibadah; apakah tempat dan cara itu telah ada sebelumnya maupun belum ada.
Ketiga, Nabi Ibrahim as ditugaskan Allah Swt untuk mengumandangkan seruan melaksanakan ibadah haji, sebagaimana firman-Nya:
“Kumandangkanlah haji di tengah umat manusia, mereka akan datang dengan berjalan kaki atau menunggangi unta yang lelah dan kurus (karena jauh perjalanannya) dari semua penjuru yang jauh (QS. al-Hajj [22]: 27).
Baca Juga: Perempuan dan Perayaan Idul Adha
Konon ketika Nabi Ibrahim mendengar perintah ini, beliau berkata, “Wahai Tuhan, suaraku tidak akan didengar oleh semua manusia.” Maka Allah Swt menjawabnya: “Engkau hanya mengumandangkan, Aku Yang Memperdengarkan mereka.”
Sejak saat itu hingga kini, ibadah haji telah didengar atau dikenal, minimal oleh setiap Muslim, dan diketahui bahwa ia adalah kewajiban yang ditetapkan Allah Swt bagi setiap yang mampu. Sedemikian populer kewajiban ini sehingga dalam istilah hukum agama ia dinamai Ma’lum min ad-din bi adh-dharurah, yakni sebuah akseioma. Demikian Allah Swt menepati janji-Nya.
M. Quraish Shihab dalam Haji dan Umrah bersama M. Quraish Shihab (Tangerang Selatan, Lentera Hati, 2012), 2-6.