Ada kasus di salah satu KUA di Bojonegoro, seorang anak perempuan menikah tanpa restu dan tanpa kedatangan ayah, lalu walinya diganti Wali hakim, yang dalam hal ini adalah Penghulu yang sekaligus menjabat kepala KUA. Sahkan pernikahannya?
Dalam kajian Fiqh Munakahat, ini masuk pembahasan Wali adal, yaitu Wali yang enggan menikahkan anak perempuannya. Ada 2 kondisi berkaitan dengan Wali adal.
Pertama, jika alasan keengganan atau penolakan ayah sebagai Wali karena hal yang syar’i, maksudnya alasannya dibenarkan, misalnya si anak perempuan akan menikah dengan laki laki yang tidak kafa’ah, atau si laki laki pemabuk, pezina, dan tindakan fasiq lainnya, maka Wali punya hak menolaknya. Pada kondisi dan alasan ini, si anak tidak bisa meng-adal-kan ayahnya, sehingga anaknya tidak bisa menikah dengan calonnya melalui Wali hakim. Berkaitan dengan wali hakim di Indonesia, dijelaskan di pasal 13 Peraturan Menteri Agama no 30 tahun 2024 tentang pencatatan pernikahan ayat 5 dan 6:
Ayat 5
Wali hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bertindak sebagai wali dalam hal:
Ayat 6
Wali adhal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b ditetapkan oleh Pengadilan
Lalu bagaimana menikahnya? Ya tidak bisa menikah karena walinya tidak merestui dan tidak hadir ketika akad, sebagaimana pendapat mayoritas ulama yang berpendapat bahwa Wali itu rukun nikah. Solusinya, si anak perempuan mencari calon lainnya yang kafa’ah, atau menunggu calonnya itu kafa’ah, atau setidaknya calonnya tidak kafa’ah tapi walinya bisa merestui, selama bukan dalam hal hal kefasikan, misal karena pekerjaan atau ekonomi yang kurang bagus. Karena dalam hal kafa’ah ini, semua ulama sepakat (termasuk Mazhab Hanafi) bahwa Wali berhak menolak dan atau menggagalkan pernikahan anak perempuannya dengan laki laki yang tidak kafa’ah. Menurut mazhab Hanafi, kafaah adalah syarat terlaksananya akad nikah dan menjadi dasar wali untuk menentukan keabsahan pernikahan. Jika seorang perempuan menikahkan dirinya dengan laki-laki yang tidak sekufu, wali berhak mencegah akad pernikahan, dan pernikahannya belum sah jika wali belum rela. Jika memaksa menikah, hakim bisa menfasakh pernikahannya. (Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, juz 4, 55)
Kedua, jika alasan kafaahnya bukan karena alasan syar’i, misal karena calon menantunya beda Ormas (organisasi masyarakat) dengan ayahnya, lalu ayahnya menolak menikahkan, maka dalam hal ini penolakan dan alasannya tidak dibenarkan, sehingga si anak bisa mengajukan ke Pengadilan permohonan Wali Adal, sehingga jika sudah dikabulkan oleh pengadilan, nanti walinya adalah Wali hakim, yaitu dari KUA.
Pada kasus di KUA di Bojonegoro ini, konon katanya alasan penolakannya karena si ayah meminta motor atau barang tertentu yang lumayan mahal, tapi si calon menantu tidak bisa memenuhinya karena keterbatasan ekonomi, maka dalam hal ini alasan penolakannya dianggap tidak syar’i sehingga permohonan wali adal dikabulkan.
Terlepas dari kondisi di atas, seorang anak dan wali haruslah saling paham, saling mengerti, dan saling musyawarah untuk menentukan calon pasangan untuk anaknya. Anak tidak boleh ngotot, wali juga begitu, harus ada diskusi, musyawarah, dan solusi untuk setiap masalah yang dihadapi. Walaupun permohonan wali adal dikabulkan, tapi tentu pernikahan dengan restu dan tanpa restu Wali sangatlah berbeda. Tantangan mewujudkan kesakinahan rumah tangga pun berbeda ketika ada support dan tidak ada support dari keluarga.
Dr. Holilur Rohman, M.H.I, Ustadz di Cariustadz.id dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
Tertarik mengundang ustadz Dr. Holilur Rohman, M.H.I? Silahkan klik disini