Hukum ibadah Kurban adalah sunah muakkad demikian menurut Syams al-Din Abu Abd Allah Muhammad bin Qasim al-Syafi’i yaitu dalam bentuk menyembelih binatang ternak pada hari idul adha dan hari tasyrik 11, 12 atau 13 Zulhijjah berupa kambing, domba, sapi, kerbau atau unta. Daging sembelihan tersebut dibagi kepada kamu muslimin seperti yang digambarkan dalam al-Qur’an:
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS. al-Hajj [22]: 36)
Baca Juga: Himbauan dan Larangan bagi yang Hendak Berkurban
Dalam ayat di atas disebutkan tiga kelompok yang berhak menerima daging kurban yaitu si penyembelih kurban (pekurban), orang-orang yang rela dengan apa yang ada padanya (orang yang berkecukupan) dan orang miskin (meminta-minta). M. Quraish Shihab menyatakan dalam Tafsir Al-Mishbah bahwa pekurban boleh memakan daging hewan kurban sebagai bantahan terhadap tradisi masyarakat jahiliyyah yang enggan memakan hewan kurban dan nabi juga pernah melarang memakan hewan kurban bagi si pekurban.
Ibadah kurban adalah sebuah ibadah spesial terlebih jika dilihat dari siapa yang berhak menerima daging kurban tersebut. Jika ibadah puasa adalah hubungan antara yang kenyang dan yang lapar dan ibadah zakat merupakan hubungan antara si kaya dan si miskin, sedangkan dalam ibadah kurban bisa menjangkau lebih banyak kalangan. Bukan saja pihak si miskin yang mendapat bagian namun juga orang yang kaya dilambangkan dengan si pekurban, kelompok menengah dilambangkan dengan mereka yang rela dengan kondisinya terakhir si miskin dilambangkan dengan orang yang sangat membutuhkan.
Menarik apa yang disampaikan oleh al-Sya’rawi dalam tafsirnya bahwa salah satu bentuk rahmat Allah kepada kaum fakir adalah lewat ibadah kurban. Allah menetapkan aturan bagi orang kaya, mereka diperintahkan untuk membeli, menyembelih dan membawanya kepada kaum fakir sementara kaum fakir hanya duduk di rumahnya sambil beristirahat. Hal ini juga menjadi bukti bahwa Allah mendatangkan rizki dari keutamaannya secara mudah. Allah memuliakan kaum fakir dengan menjadikan beban bagi orang kaya seperti kurban, zakat dan lainnya dan tidak berlaku beban tersebut bagi orang fakir.
Jadi ibadah kurban menjadi spesial karena mampu menjangkau dari kalangan atas hingga sampai kalangan paling bawah. Bahkan yang menerima daging kurban boleh dari kalangan nonmuslim sekalipun. Hal ini membuktikan bahwa ibadah kurban adalah sebuah ibadah yang mampu menyatukan semua kalangan dan membuang sekat-sekat perbedaan.
Dalam ibadah kurban, Allah ingin kita lebih mengedepankan persaudaraan kemanusiaan. Sebagaimana pesan al-Qur’an bahwa adanya perbedaan tersebut hanya untuk menjadi saling kenal mengenal bukan untuk saling menaklukkan. Sedangkan untuk mencari yang terbaik hanya Allah yang tau sesuai dengan kadar ketakwaan seorang hamba. Dalam al-Qur’an ditegaskan:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Hajj [22]: 37)
Baca Juga: Berbagai Larangan dan Pahala Bagi Perempuan Haid
Lagi-lagi dalam ibadah kurban terdapat penegasan bahwa tetap yang menjadi pertimbangan Allah adalah ketakwaan seorang hamba bahkan dengan tegas Allah membantah anggapan daging dan darah hewan kurban akan sampai kepada-Nya. Semoga dengan ibadah kurban persatuan kemanusiaan menjadi lebih kuat dan diberkati.
Hasiolan. SQ. S.Ud, Ustadz di cariustadz.id