Kata al-haid secara bahasa berarti banjir. Sedangkan dalam istilah, kata haid digunakan untuk menunjuk pada darah yang keluar dari kemaluan perempuan dalam kondisi sehat pada saat tertentu dan dengan sifat-sifat tertentu, sebagai tanda persiapan pembuahan antara suami dan istri.
Waktu keluarnya darah haid bisa berbeda-beda sangat tergantung dengan kondisi fisik perempuan. Menurut Sams al-Din Abu Abd Allah Muhammad bin Qasim al-Syafi’i dalam kitab Fath al-Qarib, darah haid bisa keluar pertama kali ketika seorang perempuan berusia sekitar 9 tahun.
Perihal haid direkam di dalam al-Qur’an:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah keadaan payah (sakit)“. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)
Menurut Al-Maraghi dalam tafsirnya, ajaran Islam melalui ayat di atas memiliki sikap pertengahan di antara ajaran Yahudi dan Nasrani. Ia menerangkan bahwa Yahudi bersikap sangat keras terhadap kondisi haid perempuan, sementara sikap umat Nasrani, mengabaikan masalah haid. Kondisi inilah yang menjadi pemantik kaum muslimin untuk bertanya kepada Nabi perihal haid. Jika dilihat dari ayat di atas maka haid adalah keadaan payah karena siklus biologis perempuan.
Masa haid berlangsung minimal sehari semalam sedangkan maksimalnya adalah lima belas hari-lima belas malam. Apabila melebihi masa tersebut, maka sudah tidak termasuk darah haid lagi. Hanya saja umumnya sekitar enam atau tujuh hari. Sedangkan untuk masa minimal dalam kondisi suci antara dua haid adalah lima belas hari, dan tidak memiliki batas maksimal karena terkadang ada perempuan yang sepanjang usianya tidak mengalami haid. Namun secara umum jika haidnya enam hari maka masa sucinya dua puluh empat hari atau jika masa haidnya tujuh hari maka masa sucinya dua puluh tiga hari.
Konsekuensi dengan keluarnya darah adalah perempuan dilarang melakukan beberapa kegiatan keagamaan karena dalam masa tersebut ia dalam kondisi lemah dan sakit. Sedangkan ritual keagamaan tersebut hendaknya dilakukan dalam kondisi fit dan prima. Larangan tersebut berlaku dalam delapan kegiatan yaitu: shalat (baik fardu atau sunah demikian pula sujud tilawah dan sujud syukur). Puasa (baik wajib atau sunah), membaca al-Qur’an (meski sebagian ulama tidak melarang jika dengan niat zikir seperti pendapatnya Ali Mustafa Ya’qub), menyentuh mushaf al-Qur’an, memasuki masjid, thawaf, bersetubuh dan mencari kesenangan antara paha dan kedua lutut (sedang bagian yang lain tidak diharamkan).
Dalam sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abu Sai’d al-Hudry dalam bab haid, Rasulullah saw pernah berkata kepada seorang perempuan saat beliau ditanya tentang kekurangan agama perempuan. Beliau bersabda “Bukankah saat perempuan haid mereka tidak shalat dan puasa? Kemudian beliau melanjutkan bahwa itu lah yang dimaksud dengan kekurangan agamanya perempuan.
Anggapan bahwa ajaran Islam mendiskriminasi perempuan karena haid membatasi ibadah tidaklah benar. Perempuan yang tidak bisa beribadah karena haid atau amal-amal yang dilarang lainnya adalah usaha mereka dalam mentaati perintah Allah Swt. Oleh karenanya, perempuan haid tetap memiliki pahala yang melimpah meski ia tidak melakukan ibadah, karena mereka sedang mentaati perintah Allah Swt. Tidak beribadah namun dipandang ibadah atau tidak menjalankan perintah satu ayat namun menjalankan perintah ayat lain. Wallahu A’lam.
Hasiolan. SQ. S.Ud, Ustadz di cariustadz.id