Memasuki tahun kedua pandemi, tahun 2021 ini kita masih terus harus ikhtiar dan bersabar. Semua upaya sudah dilakukan pemerintah, termasuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan juga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) demi menekan laju penyebaran virus Covid-19. Beberapa kegiatan mulai ditiadakan, termasuk aktivitas keagaamaan. Kalaupun ada daerah (zona aman) yang memungkinkan berkegiatan di masjid, tentu dengan prokes yang sangat ketat. Ramadhan tahun 2021 ini pun demikian, masyarakat Muslim belum memungkinkan untuk melaksanakan serangkaian ibadah di masjid. Pemerintah menganjurkan semua ibadah bisa dilakukan di rumah.
Tentu, aktivitas ‘khas’ saat ramadhan yang dirindukan selain ta’jil, buka bersama (bukber) dan tradisi mudik—terlebih di sepuluh malam terakhir? I’tikaf! Ya, I’tikaf menjadi ibadah ‘khas’ di sepuluh malam terakhir ramadan sebagai wujud cinta seorang hamba pada keluhuran bulan mulia; bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an.
Rasulullah Saw sendiri senantiasa membiasakan diri untuk berkhalwat beberapa bulan sebelum ramadan. Kebiasaan ini sudah terbentuk setidaknya—tiga bulan sebelum datangnya bulan ramadan, agar secara lahir maupun batin, Rasulullah siap. Syaikh Shafiyurrahman Mubarakfury dalam karyanya Sirah Nabawiyah, misalnya menguraikan; Ramadan adalah bulan ‘menyendiri’ bagi Rasulullah Saw. Beliau berkhalwat berhari-hari hingga jarang pulang. Sesekali beliau pulang, karena ingin mengunjungi para isteri dan mencukupi perbekalan, kemudian beliau lanjutkan lagi untuk menyendiri.
Baca Juga: Relasi Suami-Istri dan Filosofi Pakaian dalam Al-Qur’an
Nah, tradisi ‘menyendiri’ ala Rasulullah inilah yang akhirnya pula mengejawantah dalam serangkaian ibadah yang juga beliau laksanakan di masjid atau yang lebih kita kenal dengan I’tikaf (berdiam diri di masjid, mengisinya dengan aktivitas ibadah), baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan. Betapa tidak? Ramadan sebagai syahru Qur’an, membuat interaksi beliau dengan al-Qur’an kian lekat dan dekat. Jibril seringkali hadir menyapa Rasulullah, membacakan al-Qur’an dan merekapun mengulangi ayat demi ayat, surah demi surah, hingga tuntas keseluruhan al-Qur’an.
Karenanya, selain Ramadan yang kita kenal adalah bulan penuh ampunan, Rasulullah pun memberi contoh dan teladan, maka kitalah para umatnya yang seyogyanya belajar pelan-pelan mempraktikkan. Rasulullah menyederhanakan makan, tidur, minum dan tidak berlebihan, beliau justeru bersemangat ‘mengencangkan’ ikat pinggang (alat ibadah/ sarung/ mukena) agar kita mampu mengisi sisa Ramadan dengan ibadah. Mengapa sedemikian semangat Rasulullah menghabiskan sisa Ramadan? Karena di 10 malam terakhir itulah, Allah menghadiahkan satu malam mulia yang kemuliaannya melebihi 1000 bulan. masyaAllah..
Dari Aisyah ra, dia berkata, “Wahai Rasulullah Saw, beritahukan kepadaku jika aku menemui malam al-Qadr, doa apa yang aku katakana? “Beliau menjawab, “Katakanlah, Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhubbil ‘afwa fa’fu ‘anni (Wahai Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Maaf, Engkau suka memberi maaf, maka maafkanlah aku).
Mencermati sabda Rasulullah Saw tersebut, mari kita belajar membedah makna ‘afuwwun pada doa di atas. Derivasi ‘afuwwun sangat banyak dalam al-Qur’an. Beberapa di antaranya ialah ‘afaa (7x), ‘afau (1x), ‘afaunaa (2x), ta’fuu (3x), na’fu dan ya’fu (masing-masing 1x), ya’fua (2x), ya’fuu (14x), wal-ya’fuu (1x), ya’fuuna (1x), a’fu- ‘ufiya (1x), ‘afwa (2x), ‘afuwwun (2x), ‘afuwwan (3x), ‘afiina (1x).
Dari sekian banyak lafadz di atas, yang paling menggambarkan salah satu sifat Allah ialah ‘afuwwun (Rabb yang Maha Pemaaf). Berikutnya, dari dua lafadz yang diterjemahkan sebagai sifat Allah; ‘afuwwun seringkali bersanding dengan ghafur. Hanya satu yang bersanding dengan qadiiran. Mengapa demikian?
Beberapa pakar bahasa, Syaikh Raghib al-Isfahani misalnya, membedakan kedua lafadz tersebut meski terkesan sama. Beliau melihat bahwa ‘afuwwun, dalam beberapa derivasi yang sudah disebutkan di atas, lebih kepada ‘pemaafan’ Tuhan dari sifat-sifat manusiawi hambanya yang lebih sering diliputi salah dan dosa setiap harinya. Karena itu, lafadz ‘afuwwun, jika kita berkiblat ke surah ali ‘Imran/3: 134 misalnya. Disitu terdapat lafadz wal’afina ‘anin naas (memaafkan kesalahan orang lain) dalam konteks orang-orang yang diprioritaskan Allah untuk memeroleh surga yang luasnya seluas langit dan bumi, salah satunya adalah mereka yang mudah, ringan, enteng, ikhlas, memaafkan kesalahan dan kekhilafan orang lain.
Sementara itu, ghafur— dalam banyak derivasinya lebih merujuk kepada dosa-dosa yang akan terus abadi dalam buku catatan amal manusia, namun karena Allah yang Maha Ghafur mengampuni, maka Allah mengampuni segala salah dan khilaf manusia tersebut. Bukan hanya mengampuni pasca hamba tersebut berbuat dosa, saking luar biasa baiknya Allah, Allah pun ‘menutupi’ dengan sempurna, aib-aib seluruh manusia. Dengan demikian, gha-fa-ra yang secara Bahasa menutupi, berarti—Allah ialah Tuhan yang Maha Menutupi aib-aib seluruh manusia.
Jadi, dimana perbedaan ‘afuwwun dan ghafur?
Kembali ke makna dasar ayat, ‘afuwwun ialah Maha Belas Kasihnya Allah, Maha Pemaafnya Allah, maka hanya Dialah yang maha memaafkan orang-orang yang memohon maaf pada-Nya. Bukan hanya memaafkan, Allah pun akan menganugerahi maaf-Nya yang tiada batas kita semua hingga bersih dari catatan khilaf dan dosa di hadapan pengadilan Allah Swt kelak.
Baca Juga: Menghadapi Covid 19 dengan Kesabaran, Ikhtiar dan Tawakkal
Sementara al-Ghafur? Ghafur—Allah yang Maha Pengampun, tidak hanya mengampuni dosa-dosa hambanya yang memohon ampun, tapi juga menutupi dengan sempurna aib-aib seluruh manusia. Jika saja satu aib bisa tertanda dengan satu titik di wajah, maka berapa titik yang diperlukan untuk menghias wajah? Karenanya, Allah al-Ghafur bermakna bahwa Allah mengampuni dosa, khilaf dan kesalahan manusia, namun catatan dosa itu akan tetap ada. Sebaliknya, Allah Maha ‘Afuwwun, tak cukup hanya memberi maaf, Allah pula yang menghapuskan seluruh amal-amal buruk yang pernah dilakukan manusia—serta—menghapusnya secara abadi dalam buku catatan amal perbuatan kita.
Semoga Allah memberi kesehatan lahir batin dan memberi kita kekuatan, kemudahan, kemauan, kesempatan untuk mengisi ibadah di masa wabah ini, dengan kegiatan-kegiatan positif yang mendatangkan ridha Allah. Wallahu a’lam.
Dr. Ina Salma Febriany, M.A, Ustadzah di Cariustadz.id