Pembelaan al-Quran Ketika Nabi Muhammad Dihina

Tulisan ini ingin merekam sejauh mana pembelaan al-Quran terhadap Nabi yang dulu dihina, dicaci maki, dinista, maupun dicaci maki oleh kaum musyrikin. Dengan guidance dan pembelaan al-Quran inilah beliau tetap bisa bertahan dan memberikan teladan bagi umatnya. 

Penyikapan terhadap penghinaan sangat penting diketahui mengingat tidak jarang seseorang menjadi tidak percaya diri, inferior, atau mungkin anti sosial karena hinaan atau sikap kurang baik yang ia terima dari orang lain. Di sisi lain, pesan-pesan al-Quran juga sebagai pengingat bahwa mungkin kita tidak sadar pernah mengejek seseorang yang sebenarnya menurut kita biasa, tapi bisa berdampak buruk bagi orang yang kita ejek.

Sebagai muslim, kita meyakini bahwa al-Quran merupakan obat hati bagi mereka yang sedang gundah gulana. Hati yang sedang rapuh ini memiliki berbagai penyebab, dan setiap penyebab berbeda cara atau metode penanganannya. Al-Quran secara jelas menyatakan diri “wasyifaun lima fis sudur”, di dalam al-Quran banyak sekali obat hati yang bisa menyembuhkan. Para ulama kemudian menyimpulkan bahwa salah satu sifat yang disandang al-Qur’an adalah as-Syi’fa’ (penyembuh)

Ada beberapa surat dalam al-Qur’an yang bisa dijadikan rujukan terkait tema tulisan ini. Di antaranya Q.S. Al-Furqan (25):41.

 وَاِذَا رَاَوۡكَ اِنۡ يَّتَّخِذُوۡنَكَ اِلَّا هُزُوًا ؕ اَهٰذَا الَّذِىۡ بَعَثَ اللّٰهُ رَسُوۡلًا‏ ٤١

Dan apabila mereka melihat engkau (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan engkau sebagai ejekan (dengan mengatakan), “Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai Rasul?

Di dalam al-Qur’an, kata “هذا” bisa bermakna positif seperti dalam surat al-Isra’ (17): 19: Sungguh, al-Quran “ini” memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar. Namun, kata “هذا” ada juga yang bermakna negatif seperti QS. Al-Furqan: 41 di atas (Quraish Shihab, Kaidah al-Qur’an). 

Sikap orang musyrik melecehkan Nabi antara lain disebabkan penilaian mereka terhadap manusia. Orang yang tenggelam dalam urusan duniawi biasanya mengukur kedudukan seseorang bukan karena budi pekertinya yang luhur, tetapi berdasarkan pakaiannya yang indah dan mewah, serta teman-temannya yang berkedudukan sosial tinggi. 

Sebagaimana jamak diketahui, Nabi Muhammad SAW. hidup dalam kesederhanaan, bergaul dengan orang-orang miskin, serta berpenampilan sederhana. Beliau dikenal sangat halus, enggan menyinggung perasaan orang lain, bahkan beberapa riwayat melukiskan beliau sangat pemalu—jika berkaitan dengan hak-hak pribadinya. Kendati wajah beliau dipenuhi wibawa, namun karena tokoh-tokoh musyrik seperti Abu Jahal dan kawan-kawannya hanya memperhatikan penampilan lahiriah, maka lahirlah penghinaan itu (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah). 

Menanggapi ayat di atas, Hamka memberikan tafsirannya, bahwa mengejek adalah alamat dari sesat hati, kerendahan budi dan tidak ada rasa tanggung jawab. Mereka berkata, “orang seperti inikah yang diutus sebagai Rasul?” (Hamka, Tafsir Al-Azhar). 

Ucapan orang Quraish di atas secara eksplisit mengandung hinaan atau bullying verbal yang tentu sebenarnya tidak enak untuk diterima telinga pendengar, dalam hal ini Rasulullah. Bila hinaan seperti ayat di atas kita terima, apa yang kira-kira kita lakukan? Nah, saat itu, al-Qur’an mencoba membela Nabi dengan lanjutan ayat 43-44, Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya? Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu hanyalah seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya.

Orang yang bertuhan kepada hawa nafsunya itu, ukuran dan nilai kebenaran tidak ada. Jiwanya kosong, yang berbicara adalah perasaannya belaka. Sebab itu dia tidak mempunyai pertimbangan tentang baik dan buruk, tentang mudarat dan manfaat. Hawa diambil dari kata yang berarti “angin” atau “udara”. Sebab itu maka sifatnya kosong. Kekosongan sifatnya inilah yang diisi oleh hawa nafsunya. Tidak heran ketika dia marah, dirinya tidak dapat dikendalikannya. Dia tidak dapat menguasai dirinya. Sebab hawanya telah menjadi tuhannya. 

Menanggapi ayat ke-44, Hamka menjelaskan lebih jauh, apabila orang telah memperturutkan kehendak hawa nafsunya, cahaya ketuhanan kabur dalam hatinya. Hawa itulah yang menutup pendengaran dan penglihatannya, hawa membatasi saluran penghubung di antara pendengarannya dengan hatinya. Karena itu, meskipun mata mereka melihat, tidak ada yang tampak. Meskipun telinga mendengar, tidak ada yang masuk. Hatinya telah lama putus dengan pancaindera. 

Kenapa binatang bisa lebih mulia daripada manusia? Dalam penjabarannya, Hamka mengatakan bahwa seekor binatang masih dapat dipuji karena kepatuhannya terhadap perintah tuannya. Akan tetapi manusia yang telah kehilangan akal sehat, siapa yang akan dipatuhinya? Manusia yang demikian sengsara batinnya, sebab sebagai manusia dia masih mempunyai akal akan tetapi melawan akalnya sendiri (Hamka, Tafsir al-Azhar).

Memang terlalu naif bila menginginkan kehidupan kita di dunia ini terbebas dari berbagai macam rintangan dan tantangan, termasuk hinaan. Kita tidak bisa mengelak akan hal itu. Akan tetapi, cara kita bersikap menentukan sejauh mana kita kita akan bangkit kembali. Al-Qur’an telah merekam kejadian yang dihadapi Nabi kita. Ulama telah menjabarkan hikmah terdalam yang bisa digali. Selanjutnya tinggal kita mau mengikuti yang mana.

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini