Israel dan Ujian Keimanan Rakyat Palestina

Sebagian dari kita mungkin sudah lelah ketika setiap hari selalu disuguhi berita kebiadaban Israel terhadap rakyat Palestina. Sampai bulan Juli kemarin, sudah 39 ribu nyawa warga Palestina yang melayang. Kabar terbaru, Ismail Haniyeh yang merupakan pemimpin politik senior Hamas di bom di Wisma tamu di Teheran, Iran. Salah satu berita menyebutkan, Haniyeh dilacak ketika menggunakan aplikasi WhatsApp. Pembunuhan Haniyeh bukti kuat bahwa Israel tidak punya niatan untuk damai dan semakin memperburuk perang. Dan memang benar bahwa cita-cita utama negara Zionis itu ingin Palestina ditelan bumi.

Harus diakui bahwa kita sedang hidup di era yang mana banyak standar ganda digunakan oleh negara-negara Barat yang pro Israel. Barat (baca: Amerika) yang masih merasa menjadi negara adidaya terus mendukung Israel yang jelas-jelas melakukan genosida. Berbeda ketika Ukraina di invasi Rusia, Amerika dengan lantang mengutuk serangan Rusia. Ia juga bergandengan tangan dengan negara Barat lain untuk “menghukum” Rusia, baik memberikan berbagai sanksi, sampai mem-blacklist negara Beruang Merah itu dari ajang olahraga internasional. 

Palestina, sebagai negeri yang diberkahi itu mengalami masalah kemanusiaan paling brutal di abad ini. Tapi yang mungkin agak terlupakan dan tidak tersorot di khalayak banyak adalah bagaimana kekuatan keimanan rakyat Palestina ketika menghadapi kengerian sejarah yang sedang mereka alami. Bagaimana tidak, hampir setiap hari mereka melihat darah berceceran, tubuh terkoyak, kepala terputus dari anggota badannya, dan lain sebagainya. 

Tidak hanya sekedar menyaksikan orang syahid silih berganti, rakyat Palestina bahkan sudah siap dengan sepenuh hati jikalau mereka yang ternyata menjadi syahid selanjutnya. Coba kita putar ulang beberapa video yang telah kita tonton ketika ada seorang ibu atau ayah yang kehilangan seluruh anggota keluarganya. Isak tangis tentu sudah menjadi hal yang lumrah karena ditinggal orang terkasih. Akan tetapi, tidak sedikit juga video yang menggambarkan betapa mereka berucap, “Alhamdulillah, terimakasih ya Allah telah menempatkan anakku atau suamiku di surga. Terimakasih telah menjadikan syahid anak-anakku,” dll. 

Terkadang, ada juga yang sambil tersenyum getir ketika menggendong anaknya yang sudah tidak bernyawa lagi. Warga Gaza seolah memang siap dengan panggilan kematian yang bisa datang kapan saja.  Terlepas dari itu, satu pelajaran yang perlu kita petik dan renungkan dengan sungguh-sungguh adalah bagaimana keimanan mereka semua dalam menjalani segala cobaan yang sedang mereka lalui.   

Keimanan mereka memang tiada tandingannya. Bila keimanan mereka tidak kuat, sudah barang tentu mereka tiada harapan hidup atau bahkan mengakhiri hidupnya. Tidakkah akhir-akhir ini kita sering melihat masyarakat kita yang frustasi karena jeratan Pinjol (pinjaman online) dan akhirnya gantung diri? Karena itu, saya katakan bahwa keimanan rakyat Palestina itu sudah menghujam ke dasar lubuk hati. 

Iman yang bersemai di hati seseorang memang bisa naik dan turun, yazid wa yanqus. Iman seseorang juga bertingkat-tingkat, sangat bergantung oleh faktor-faktor yang mereka alami di pentas dunia. Bisa jadi, bagi rakyat Palestina, iman mereka semakin tinggi justru karena mereka paham perjalanan sejarah bangsanya, dan tentunya mereka ingin melanjutkan perjuangan nenek moyang mereka yang telah gugur melawan Zionisme.

Rakyat Palestina paham betul akan ketidaktahuan mereka tentang sampai kapan Palestina dijajah Israel. Demikian pula mereka tidak tahun kapan bangsa Palestina merdeka. Namun, resistensi mereka di atas segala kekurangan yang mereka miliki adalah faktor utama, kalau tidak satu-satunya cara agar eksistensi negara mereka bisa diakui dan merdeka. Setidaknya, sampai sekarang sudah ada sekitar 149 dari 193 negara anggota Majelis Umum PBB yang mengakui Palestina. Blessing in disguise, sebuah keberkahan yang tersembunyi.

Atas nama manusia—bukan hanya karena agama—kita berharap semoga genosida yang dilakukan Netanyahu cs segera berakhir. Kita tentu, dengan selemah-lemahnya iman, hanya bisa berdoa agar Palestina segera menjadi negara merdeka dan hidup sejajar dengan negara-negara lain di Timur Tengah. Harapan itu tentu harus disertai dengan kebesaran jiwa dan nasionalisme dari Hamas-Fatah. Dua faksi yang sering berseteru dalam tubuh Palestina.

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini