Tiga Dimensi Sakral dalam Pernikahan

Dewasa ini, maraknya pernikahan dini yang kemudian berujung pada perceraian telah mendegradasi nilai sakral dari pernikahan itu sendiri. Padahal, pernikahan dalam Islam mengandung akad mitsaqan ghalidza, sebuah akad yang berat di hadapan Allah yang tidak boleh dijadikan guyonan atau permainan belaka. Pernikahan adalah soal menyangkut urusan ketuhanan, kemanusiaan dan kemaslahatan. Karena pernikahan sesungguhnya mengandung tiga dimensi yang saling berkelindan yang akan dijelaskan pada paragraf berikutnya.

Secara bahasa, kata nikah berasal dari bahasa Arab, nakaha berarti indhamma (bergabung), jama’a, wata’un (hubungan kelamin), ‘aqdun (perjanjian). Dalam Al-Quran setidaknya ada dua kata yang menunjukkan pengertian pernikahan, yakni kata nikah dan zauj. Kata nikah diulang sebanyak 23 kali dalam Al-Quran. Sedang kata zauj diulang sebanyak 79 kali. 

Secara istilah, nikah diartikan dengan 

عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ اِبَاحَةِ الْوَطَءِ بِلَفْظِ النِّكَاحِ اَوِ التَّزْوِيْجِ

Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan kata nakaha atau zawaja.

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa hakikat pernikahan adalah akad atau perjanjian yang menghalalkan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan. Bahkan, akad dalam pernikahan ini disebut dalam Al-Quran sebagai mitsaqan ghalidza (akad yang kuat/ berat) yang mengisyaratkan bahwa pernikahan memiliki dimensi ilahiyah (ketuhanan), insaniyah (kemanusiaan) dan ihsaniyyah (kemaslahatan).

Dimensi Ilahiyah (Ketuhanan)

Dalam konteks ini, menikah berdimensi ketuhanan. Maksudnya adalah bahwa pernikahan merupakan sebuah keyakinan (I’tiqadiyyah) yang dituangkan seorang istri kepada suaminya sebagai sebuah amanah yang harus dijaga dan dirawat terus-menerus (mitsaqan ghalidza). Mengapa demikian? Menurut Quraish Shihab, karena kalian wahai laki-laki menerima istri berdasarkan amanah Allah (akhadztumuhunna bi amanatillah). Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya, karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanahkan itu dipelihara dengan baik serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanah itu.

Lebih lanjut, Shihab menerangkan bahwa istri adalah amanah di pelukan suami, dan suami pun amanah di pangkuan istri. Kesediaan seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang laki-laki, meninggalkan orang tua dan keluarga besarnya, dan merelakan kehidupannya bersama seorang laki-laki merupakan hal yang sangat berat. Karena itu, pernikahan dalam konteks ini mengandung suatu perjanjian yang ilahiyah, karena diterima dengan atas nama amanah Allah, maka menjaga dan merawatnya juga bernilai ibadah kepada-Nya.

Dimensi Insaniyyah (Kemanusiaan)

Dalam pandangan Islam, pernikahan bukanlah hanya urusan keagamaan saja, bukan pula sekadar urusan keluarga dan budaya, tetapi lebih dari itu pernikahan menyangkut urusan kemanusiaan dan kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Sebagaimana penjelasan dimensi pertama, pernikahan mengandung dua dimensi yang saling terkait; ketuhanan dan kemanusiaan sebagaimana yang Allah firmankan dalam kitab-Nya,

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah). (Q.S. Az-Zariyat [51]: 49)

Pesan moral yang ingin disampaikan Allah kepada kita bahwa Allah menciptakan segala sesuatu saling berpasang-pasangan, kedua, penciptaan ini akan memberikan hikmah/ pelajaran untuk dijadikan renungan sekaligus peringatan. Karena itu, dalam konteks kemanusiaan, pernikahan bukan hanya persoalan memenuhi kebutuhan seks/ biologis semata, melainkan menyangkut hak, harkat, martabat dan derajat manusia sebagai makhluk Tuhan yang mengemban misi khusus yakni khalifatullah fil ardh (penguasa dan pengelola/ wakil Allah di muka bumi). Di sinilah letak sisi insaniyah (kemanusiaan). 

Dimensi Ihsaniyah (Kemaslahatan)

Dimensi ini paling tidak tercermin dalam Q.S. Nisa [4]: 1, di situ dijelaskan bahwa pada mulanya Allah menciptakan Adam sebagai manusia, lalu darinya berkembang biak hingga sampai saat ini. Manusia yang terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, oleh Aisyah bintussyati’, dikatakan bahwa wanita tetap harus menjadi wanita, dan begitupun laki-laki sebagai lelaki. Perbedaan mereka tidak terletak pada persaingan dan permusuhan, melainkan sebagai kesempatan bagi kerjasama (baca: kesalingan) untuk bersedia saling bahu-membahu, saling menunjang dan melengkapi satu sama lain. Dalam terminologi modern, peran ini belakangan – meminjam istilah Faqihuddin Abdul Kodir – disebut relasi mubadalah.

Dalam kerangka tersebut, prinsip-prinsip Islam mengatur bagaimana relasi antara laki-laki dan perempuan, Aisyah Bintusyati’ melihat banyak ruang gerak yang dapat diisi oleh wanita sendiri sebagai manusia yang bebas sekaligus beriman. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang mungkin berbeda dengan laki-laki, tetapi perbedaan itu tidaklah berarti ketidaksamaan derajat (inequality). Dan sebaliknya, mempunyai beberapa fungsi yang saling melengkapi dan menunjang. Dalam hal ini, pernikahan mengandung dimensi ihsaniyah (kemaslahatan) di antara keduanya dan kemaslahatan untuk kemanusiaan seutuhnya.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini