Memahami Makna Kemudahan dalam Beragama

Sesekali mungkin kita pernah mendengar ungkapan beragama itu mudah. Di balik ungkapan tersebut tentu tersirat makna kemudahan dalam mempraktikkan ajaran agama. Hal ini harus dipahami secara utuh bukan hanya dari satu sisi kehendak kita saja. Karenanya, memahami makna kemudahan harus berangkat dari hal mendasar yang dirumuskan dalam koridor dalil agama itu sendiri.

Sebagai muslim tidak perlu merisaukan hal-hal yang di luar kemampuan kita. Sebab Allah pun tidak memberikan beban kepada manusia melainkan sebatas kemampuannya (Qs. al-Baqarah [2]: 286). Di balik pesan ayat ini tentu dapat ditangkap ada pesan kemudahan di dalamnya. Dalam arti lain, seseorang dilarang memaksanakan diri terhadap beban yang tidak mampu dilampaui.

Sebenarnya, Islam sering mengingatkan tentang besarnya nikmat yang tidak dapat dihitung secara mendetail. Hal demikian membuat seorang muslim seharusnya menyadari bahwa terlalu lemah di hadapan Allah Swt. Namun, ada dua kenikmatan yang sering dilalaikan oleh manusia, yaitu nikmat kesehatan dan waktu luang (HR. Bukhari).

Keduanya menjadi modal utama bahwa agama akan benar-benar menjadi mudah atau memberatkan. Kesehatan menjadi bekal utama melaksanakan segala aktivitas sehari-hati menjadi mudah. Namun, sayang waktu luang sering menjadi bumerang bagi kita mendorong untuk meremehkan hingga lupa dan terjadi pengabaian suatu kewajiban.

Hakikat Kemudahan dalam Agama

Sebenarnya, baik Allah maupun rasul-Nya menghendaki kemudahan dalam kehidupan kita. Kemudahan itu bukan untuk diabaikan. Tetapi, kemudahan dalam banyak hal tetap harus mendapat perhatian termasuk dalam hal beragama. Bahkan, secara eksplisit juga Allah sendiri menghendaki kemudahan itu sendiri sebagaimana firman Allah:

یُرِیدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡیُسۡرَ وَلَا یُرِیدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ

“Allah menghendaki kemudahan untuk kalian dan tidak menghendaki kesulitan untuk kalian…” Qs. al-Baqarah [2]: 185. 

Meskipun potongan ayat di atas dalam konteks berpuasa, tetapi secara tidak langsung menjadi titik tolak pemahaman bahwa Allah membolehkan kemudahan di dalamnya. Ayat tersebut juga menjadi penguat adanya kompensasi keringanan bagi mereka yang tidak mampu berpuasa seperti dijelaskan pada ayat sebelumnya.

Seperti dikutip dari Ibnu Katsir bahwa sebagaimana diriwayatkan dari al-A’rabi pernah mendengar rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya agama kalian yang terbaik adalah yang paling mudah.” (Ibnu Katsir, J. 1: 504). Sejalan dengan itu, ada sabda rasulullah Saw. bahwa: “Mudahkanlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan menjauhkan,” HR. Bukhari Muslim

Penjelasan di atas mengandung makna bahwa beragama sesungguhnya bukan soal kuantitas semata. Sebagai manusia, tentu saja rasa lelah hingga sakit kemudian pernah dialami. Hal demikian akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi beribadah kita. Di sinilah ranah kemudahan itu dapat dikonfirmasi sebagai keringanan atau rukhsah.

Dalam ibadah shalat misalnya, terdapat opsi pilihan bagi mereka yang tidak berkuasa untuk berdiri. Opsi pertama, boleh melaksanakannya dengan duduk. Adapun opsi kedua, apabila masih tidak memungkinkan dalam kondisi duduk boleh dengan berbaring dengan tubuh sebelah kanan (Qs. al-Nisa’ [4]: 103). 

Kemudahan untuk menjalankan amanah baik dalam urusan ibadah maupun tugas sesuai profesi merupakan asas utama bagi setiap manusia. Jika seseorang itu merasa ringan menjalankannya biasanya termotivasi untuk memperoleh manfaatnya. Semakin banyak manfaat yang diperolehnya, akan semakin membuatnya terasa nyaman menjalankan amanah dan terasa ringan.

Sebaliknya, jika seseorang menjalankan ibadah maupun kewajibannya dengan penuh paksaan dan rasa kesal itu pertanda Ia menjalani penuh rasa sesak di dalam dadanya. Bahkan dalam hal yang mudah sekalipun jika dijalani dengan terpaksa semua akan terasa berat. Sekalipun itu merupakan kebiasaan sehari-hari yang tidak membutuhkan tenaga dan usaha keras di dalamnya.

Dalam perkara selain ibadah, juga bisa berlaku demikian. Sesuatu yang dilakukan karena terpaksa akan menjadikannya tidak ringan dan hasilnya kurang maksimal. Kerelaan menerima sebagai sebuah tugas atau tanggung jawab akan membuka niat yang memudahkannya. Sehingga, tugas yang diemban sebagai kewajiban bukan lagi menjadi beban melainkan kebutuhan yang bila tidak dilakukan akan jauh dari manfaatnya.

Sebuah hadis menyatakan bahwa, “Apabila aku perintahkan kepada kalian mengerjakan suatu perkara, maka laksanakanlah semampu kalian.” HR. Bukhari Muslim

Hadis di atas menjadi indikator bahwa kemudahan dalam menjalankan agama seseorang dapat dilihat dari kelapangan dadanya menerima sebagai tugas yang diemban. Tentu saja tugas akan terasa ringan bila terlaksana tanpa adanya paksaan atau terpaksa. Untuk meringankan sesuatu yang dinilai sebagai beban tersebut tak jarang muncul ungkapan “lakukan semampunya”. Tujuannya tak lain dalam rangka menciptakan rasa lapang dada untuk menerimanya sebagai tanggung jawab yang bukan semata-mata memberatkan tetapi melatih diri dalam pembiasaan.

Dengan demikian, dipahami bila seseorang ingin meraih kemudahan beragama tidak sepatutnya berprasangka buruk hingga meremehkannya. Hal terkait cara berpikir yang sempit juga seringkali mempersulit diri sendiri dalam praktik beragama. Maka, cara pandang yang lebih luas dan sikap luwes terhadap ajaran agama akan membuka kemudahan-kemudahan selama tidak keluar dari koridor rukhsah. Akan tetapi, dalam praktiknya tetap harus berdasar tanpa mengada-ada sesuatu yang bukan ajaran agama. Wallahu A’lam.

Abdul Fatah, S.Ud., M.Ag., Ustadz di Cari Ustadz

Tertarik mengundang ustadz Abdul Fatah, S.Ud., M.Ag.? Silahkan klik disini