Ulama ahli al-Qur’an menyerah untuk mengetahui bagaimana “bentuk” al-Qur’an ketika di Lauhul Mahfudz. Akan tetapi kebanyakan ulama’, melalui riwayat Ibn Abbas, sepakat bahwa al-Qur’an diturunkan pertama kali di malam Lailatulqadar dan bulan ramadhan secara lengkap, yakni dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izzah atau langit dunia. Baru kemudian diteruskan dari langit dunia ke kalbu Nabi Muhammad secara bertahap (tadarrujan) selama 23 tahun.
Lailatulqadar, malam istimewa di mana para malaikat memasuki alam dunia, malam yang diperebutkan seluruh umat Muhammad, malam yang dijanjikan Allah nilainya melebihi 1000 malam lainnya. Entah sudah berapa banyak buku karangan kaum ‘arifin yang pernah ditulis demi menguraikan ciri-ciri satu malam yang tiada bandingnya itu.
Hal ini tidak lain karena adanya motivasi dari Nabi kepada kita untuk mencari dan menemukan malam Lailatulqadar. “Carilah kehadiran Lailatulqadar pada malam-malam ganjil setelah dua puluh ramadhan.” Demikian pesan Nabi sebagaimana dikutip Shafiyuddin Mubarakfuri dalam ar-Rahiq al-Makhtum.
Baca Juga: Memahami Makna Silaturahmi
Al-Qur’an sendiri sengaja mengajukan pertanyaan tentang Lailatulqadar—yang kemudian dijawab sendiri. “Wa ma adraka ma lailatul qadr?” Dan di antara jawabannya ada di ayat ke-4 dan 5:
Pada malam itu turunlah malaikat-malaikat dan Ruh (Malaikat Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar.
Menarik sekali bagaimana penyebutan malaikat Jibril (Ruh) dibedakan dengan malaikat lainnya. Ia ikut turun ke bumi bersama malaikat-malaikat lainnya di malam Lailatul Qadr. Seolah-olah Allah ingin memberi isyarat bahwa malaikat Jibril mempunyai posisi istimewa dibanding dengan yang lain. Ayat di atas juga menjadi dalil bahwa malaikat Jibril tidak “pensiun” setelah tugasnya sebagai penyampai wahyu paripurna.
Menurut al-Qurtubi, di malam Lailatulqadar malaikat Jibril beserta malaikat lainnya turun ke bumi dan mengaminkan seluruh doa yang dipanjatkan manusia hingga waktu fajar tiba.
Para malaikat itu tidak mau kembali ke langit dengan “tangan kosong”, karena itu mereka silih berganti melihat berbagai ibadah yang belum pernah mereka lihat dan dilakukan oleh para penduduk langit. Mereka juga mendengar suara penyesalan ahli maksiat yang lebih dicintai Allah daripada suara tasbih.
Para malaikat itu berkata, “Marilah kita mendengar suara yang lebih dicintai oleh Tuhan kita daripada tasbih kita.” Seolah-olah ibadah di bumi pada malam ini mempunyai kekhususan tersendiri. Begitulah penjelasan Wahbah az-Zuhaili di dalam tafsirnya al-Munir.
Lalu, bagaimana tanda-tanda sebuah malam hingga bisa disebut sebagai malam Lailatulqadar?
Diriwayatkan dari Abu Dawud at-Tayalisi dari Ibn Abbas bahwa Nabi bersabda:
Malam itu sangat nyaman dan terang, tidak panas dan juga tidak dingin. Lalu sinar matahari di pagi harinya tidak terlalu terang dan berwarna merah.
Baca Juga: Puasa Bagi Perempuan Hamil dan Menyusui
Begitu kira-kira nuansa yang akan kita rasakan ketika berada di malam Lailatulqadar. Akan sangat beruntung mereka yang benar-benar mampu merasakan kehadiran Lailatul Qadr lalu menyibukkan dirinya dengan sholawat, tadarus, dzikir, dan berbuat kebaikan. Sebaliknya, amat rugi mereka—yang tanpa sadar—justru menodai malam ini dengan berbuat keburukan dan kekejian.
Tidak kalah penting dari nuansa yang didapatkan di atas, adalah apa yang diutarakan oleh Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Quraish Shihab dalam Membumikan al-Qur’an.
“Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedangkan yang membisikkan keburukan adalah setan. Nah, turunnya malaikat, di malam Lailatulqadar, menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti ia akan selalu disertai malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan dan merasakan kedamaian (salam) yang tidak terbatas di malam Lailatulqadar saja, tetapi sampai akhir hayat.”
Jadi, memang malam Lailatulqadar sengaja dijadikan teka-teki oleh Allah agar kita tetap senantiasa melekatkan hati kita kepada-Nya, tidak pernah melupakan dan melepaskan lekatan itu, apalagi menodainya dengan kemaksiatan sampai hati kita menghitam dan tidak mampu menangkap cahaya malam kemuliaan (al–Qadr).