Ujub adalah salah satu sifat tercela, suatu sifat yang sangat dihindari oleh setiap insan, terlebih bagi mereka yang beragama. Ia adalah penyakit hati yang dapat merugikan siapa saja yang memiliki. Bahkan, ia juga dapat memberikan dampak buruk bagi orang lain yang menjadi objek ke-‘ujub-annya.
Mengenal Ujub
Ujub secara bahasa adalah al-zahwu (kemegahan, kebanggaan, kesombongan). ‘Ujub dalam KBBI juga dimaknai serupa, yaitu rasa bangga, keangkuhan, dan kesombongan. Sedangkan menurut istilah, al-Raghib al-Ashfahani menjelaskan bahwa ujub adalah prasangka seseorang terhadap dirinya sendiri bahwa dia berhak mendapat suatu kedudukan (prestasi, pangkat, kehormatan) yang tidak dimilikinya.
Menurut Ibnu ‘Abdi Salam, ujub adalah suatu kesenangan dalam diri dengan menyandarkan perbuatan kepada dirinya sendiri dan memuji-mujinya, seraya lupa bahwa Allah swt-lah Sang Pemberi Nikmat, yang telah memberikan nikmat itu kepadanya (al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah, 29/280).
Di dalam kitab Bidaayah al-Hidaayah (hal. 60), Imam al-Ghazali menyebut sifat ujub bersama dengan sifat al-kibr (takabur) dan sifat al-fakhr (membanggakan diri) sebagai penyakit kronis. Orang yang ujub memandang dirinya sendiri dengan kemuliaan serta menganggap agung diri dan memandang orang lain dengan pandangan merendahkan dan hina.
Masih menurut Imam al-Ghazali, mutakabbir (orang yang takabur) adalah dia yang apabila memberi nasihat, dia memandang rendah orang yang diberi nasihat. Sebaliknya, ketika dia mendapatkan nasihat, ia mencerca pemberi nasihat. Lalu siapa saja yang dapat dikatakan sebagai mutakabbir? Yaitu setiap orang yang memandang dirinya lebih baik daripada selainnya.
Bahaya Ujub
Sebagai salah satu penyakit hati, tentu ujub ingin dihindari bagi setiap manusia. Sehingga, sebagaimana disebut oleh Imam al-Ghazali, bahwa penyakit ini adalah penyakit kronis, penyakit yang sangat berbahaya. Apa yang disebutkan oleh Imam al-Ghazali sangat berasalan. Menurutnya, ujub, bersama dengan hasad dan riya, adalah tiga sifat yang menjadi pintu gerbang bagi penyakit hati lainnya Bidaayah al-Hidaayah (hal. 59).
Banyak hadis yang menjelaskan bagaimana ujub adalah salah satu penyakit yang diwanti-wanti dan dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad saw akan menimpa umatnya. Dalam Musnad al-Syihab diriwayatkan sebuah hadis dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Ada tiga perkara yang membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan. Tiga perkara yang membinasakan adalah kekikiran yang ditaati, nafsu yang diikuti, dan ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri… al-hadits”
Dalam hadis lain diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Syi’b al-Iimaan, bahwa Anas bin Malik meriwayatkan sabda Nabi Muhammad saw yang berbunyi:
“Jika kalian tidak berdosa, aku khawatir kalian akan ditimpa perkara yang lebih besar darinya (dosa), yaitu ujub! ujub!”
Hadis di atas menunjukkan bagaimana Nabi Muhammad saw khawatir kepada umatnya ketika mereka merasa tidak memiliki dosa lantaran banyak amal kebaikan yang telah dilakukan serta telah menjauhi segala larangan-Nya. Tida memiliki dosa adalah pencapaian yang sangat baik, akan tetapi bisa menjerumuskan seseorang pada ujub karena merasa takjub akan pencapaian dirinya.
Terkait ujub, Ibnu Mubarak (Syi’b al-Iimaan, 2/303) pernah ditanya apa itu ujub. Ia kemudian menjawab bahwa ujub adalah ketika seseorang beranggapan dirinya memiliki suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Ia kemudian menambahkan:
ولا أعلم في المصلين شيئا شر من العجب
“Aku tidak tahu sesuatu yang lebih buruk bagi orang-orang yang mengerjakan salat selain ujub.”
Cara Menghilangkan Ujub
Ada beberapa cara untuk menghindari atau menghilangkan ujub dari diri. Salah satunya adalah sebagaimana telah dijelaskan pada salah satu hadis di atas, yaitu merasa diri memiliki dosa. Hal ini akan menjadikan seorang hamba selalu merasa kurang kebaikannya, sehingga tidak ada hal yang perlu disombongkan dan dibanggakan.
Selain itu, Imam al-Ghazali dalam Bidaayah al-Hidaayah (hal. 60) memberikan tips bagaimana menghindari ujub. Beliau mengingatkan bahwa kebaikan adalah kebaikan di sisi Allah di akhirat kelak, yang merupakan perkara gaib. Sebab, siapa yang baik di sisi Allah nanti menunggu terjadinya kematian. Beliau juga mengingatkan bahwa perasaan diri lebih baik daripada orang lain adalah sebuah kebodohan.
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa melawan sifat ujub adalah dengan kebalikannya, yaitu memandang orang lain memiliki kebaikan dan keutaman melebihi diri kita sendiri. Beliau kemudian memberikan contoh bagaimana memandang orang lain yang berbeda usia, tingkat keilmuan, bahkan kepada orang yang kafir.
Pertama, jika seseorang yang kita pandang adalah anak kecil, ingatlah bahwa dia belum melakukan maksiat terhadap Allah, sedangkan kita pernah melakukannya. Sebab, anak kecil yang belum balig belum dibebani hukum takliif. Dengan demikian, maka anak kecil lebih baik daripada kita karena ia tidak memiliki dosa.
Kedua, jika orang yang hendak kita sombongi adalah orang yang lebih tau, maka ingatlah bahwa dia telah hidup lebih lama, sehingga dia telah menyembah kepada Allah lebih dulu daripada kita.
Ketiga, memandang orang yang lebih berilmu. Jelas bahwa tidak sepantasnya orang yang lebih berilmu justru menjadi objek ujub atau kesombongan. Ia yang lebih berilmu dapat hidup lebih bermanfaat bagi banyak orang. Dengan ilmunya juga, amal ibadahnya diganjar melebihi amal ibadah orang yang tidak berilmu. Maka, adalah sebuah kesalahan besar jika berlaku sombong kepada orang yang lebih berilmu.
Keempat, cara memandang kepada orang yang bodoh. Yakinlah bahwa orang yang bodoh, ketika melakukan maksiat, ia melakukannya karena kebodohan(ketidaktahuan)nya, sehingga itu dapat menjadi hujjah baginya di akhirat kelak. Sedangkan orang yang berilmu, mengetahui bahwa ini atau itu adalah sebuah kemaksiatan, tetapi tetap melakukannya, maka apa yang dapat menjadi hujjahnya nanti?
Kelima, jika yang dipandang adalah orang kafir. Maka, ketahui dan ingatlah bahwa akhir hayat manusia adalah perkara gaib. Seorang yang kafir di masa mudanya, bisa saja menjadi seorang mukmin dan muslim yang taat, sehingga akan mendapat ganjaran surga di akhirat kelak. Dan sebaliknya, seorang mukmin yang taat hari ini bisa saja mengalami akhir yang buruk (su’u al-khaatimah).
Karenanya, ingatlah bahwa sifat dan sikap ujub hanya akan membawa kerugian bagi pelakunya. Ingatlah bahwa di atas langit masih ada langit yang lebih tinggi.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini