Islam memperkenalkan lima tujuan pokok kehadirannya yang kepadanya bertumpu seluruh tuntunannya. Lima tujuan pokok tersebut adalah berkaitan dengan pemeliharaan (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta. Segala petunjuk agama, baik berupa perintah maupun larangan, pasti pada akhirnya mengantar pada satu atau lebih dari kelima hal pokok ini. Selanjutnya, semua langkah kebijaksanaan yang bermuara pada salah satu dari kelima hal di atas dapat menjadi tuntunan agama. Dari lima prinsip ini, kebijaksanaan kependudukan mendapat pijakan agama yang amat kukuh.
Kemudian dari petunjuk-petunjuk global diperoleh pula pijakan kukuh berkaitan dengan kependudukan. Sebagai contoh, dapat dikemukakan bahwa al-Qur’an menegaskan bahwa alam raya berjalan atas dasar pengaturan yang serasi dan perhitungan yang tepat (QS. Ar-Rahman 7-9 dan al-Mulk 3). Ibadah yang dituntut pelaksanaannya pun berdasarkan keserasian, dan perhitungan demikian itu (misalnya shalat, zakat, puasa, dan haji). Semua itu akan mengantar seorang Muslim untuk menyadari perlunya perhitungan-perhitungan yang tepat serta keserasian dalam kehidupannya, termasuk dalam kehidupan rumah tangga yang harus diserasikan dengan kemampuan ekonominya.
Sisi ketiga yang menjadi pijakan dalam pandangan Islam tentang kependudukan adalah kandungan ayat atau hadis yang secara tersurat atau tersirat berbicara tentang kependudukan. Memang, disini, boleh jadi timbul aneka penafsiran yang menjadikan Anda merasa semacam ada “pemaksaan”.
Akan tetapi dari semua hal di atas, kita dapat berkesimpulan bahwa Islam membenarkan penggunaan kontrasepsi, apalagi hal tersebut telah dipraktikkan oleh para sahabat Nabi dengan cara yang mereka kenal ketika itu, yakni ‘azl atau coitus interreptus.
Segala macam bentuk dan cara kontrasepsi dapat dibenarkan oleh Islam selama (1) tidak dipaksakan, (2) tidak menggugurkan (aborsi), (3) tidak membatasi jumlah anak, dan (4) tidak mengakibatkan pemandulan abadi. Walaupun beberapa hal tersebut dapat dibenarkan apabila pengabaiannya diduga keras dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan atau jiwa ibu, bapak, dan anak yang dikandung.
Selama ini, sterilisasi dipahami oleh ulama sebagai pemandulan abadi, sehingga mereka membedakannya dengan alat kontrasepsi yang lain, misalnya semacam spiral yang berfungsi menghalangi pertemuan sperma dengan ovum, dan yang sewaktu-waktu bila dikehendaki dapat dicabut. Akan tetapi, jika perkembangan ilmu menemukan satu cara yang tidak mengakibatkan pemandulan abadi, atau sterilisasi yang dilakukan dapat ditempuh dengan tidak mengakibatkan hal tersebut, maka tentu hukumnya dapat berubah dari terlarang menjadi boleh.
Jelas bahwa melaksanakan KB dengan tujuan terpeliharanya pendidikan anak dapat dibenarkan. Bahkan Imam al-Ghazali membenarkan ‘azl walaupun dengan alasan memelihara kecantikan wanita. Demikian. Wallahu A’lam.
M. Quraish Shihab dalam 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2014), 457 – 459.