Rasulullah saw pernah memberi pesan penting yang tampaknya akan berlaku di sepanjang peradaban manusia, “Yang dikatakan berani, bukanlah orang yang menantang kesana-kemari, tetapi yang dikatakan berani adalah orang yang sanggup menahan amarah.”
Amarah, bila tidak bisa dikontrol, minimal akan merugikan diri sendiri, dan titik puncaknya adalah menyebabkan orang lain menjadi korban. Itulah kenapa menahan amarah adalah sikap yang sangat dianjurkan Rasulullah.
Tentu kita semua masih merasakan suasana duka dan lara atas “tragedi” dalam sepakbola Indonesia, di mana ratusan nyawa melayang saat menyaksikan klub sepakbola yang dicintainya. Dan di sini bukan wilayah saya untuk mengomentari siapa yang paling benar dan paling layak disalahkan.
Baca Juga: Keistimewaan Membaca dalam Islam
Akan tetapi, bila kembali pada penyebab awal terjadinya kegaduhan di stadion Kanjuruhan, Malang, semua itu diawali dari kekecewaan yang berujung pada emosi dan kemarahan yang tidak bisa dikendalikan. Jadi, penting sekali bagi kita untuk menjadi manusia “dewasa” yang bisa mengendalikan amarahnya.
Segala persoalan akan semakin tak karuan kalau kemarahan menemukan salah satu “teman baiknya”, yaitu adu domba dan provokasi. Dalam bahasa al-Qur’an, ia disebut sebagai namimah. Allah memberikan pesan melalui firman-Nya,
Dan janganlah kamu mengikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghamburkan fitnah.
al-Hasan berkata, Hammazin adalah yang mengumpat di dalam sebuah majelis (sebagaimana penamaan surat al-Humazah). Adapun Massyaim binamim adalah mengadu domba di antara manusia untuk menimbulkan kerusakan di antara mereka. Demikian penjelasan al-Qurtubi melalui tafsirnya.
Saking jahatnya aksi provokasi, Nabi pernah memperingatkan para sahabat dengan sangat keras,
Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba (HR. Muslim).
Bila demikian, salah satu kunci agar tidak jatuh pada sikap caci maki, terprovokasi, dan jatuh pada kerugian diri—dan tentunya merugikan orang lain—adalah menahan amarah.
Untuk mengendalikan dan menjauhkan diri dari emosi yang sering keluar di saat-saat susah dan kecewa, kita perlu melihat kembali pesan al-Qur’an yang jauh-jauh hari sudah mengingatkan,
Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.
Menurut Hamka dalam tafsirnya al-Azhar, ayat di atas menjelaskan tingkatan takwa seorang mukmin. Pertama, mereka pemurah; baik dalam waktu senggang atau saat susah. Kedua, pandai menahan amarah, dalam arti bisa mengendalikan diri ketika marah. Ketiga, memberi maaf.
Baca Juga: Bersungguh-Sungguh dalam Melakukan Sesuatu
Ayat di atas tidak meminta kita “menghilangkan amarah”, karena amarah adalah naluriah manusia. Akan tetapi, kita diminta Allah untuk meredam amarah saat ia datang dan mendorong (al-Ammarah bi as-Su’)(QS.12:53).
Gejolak amarah yang bisa kapan saja keluar dari dalam diri bisa diredam jika seseorang sudah masuk dalam tingkatan seseorang yang bertakwa, yaitu pemurah dan pemaaf. Tidak cukup itu saja, karena ciri lain dari seorang yang bertakwa adalah iman kepada hal ghaib, mendirikan salat, memberi infaq, dan yakin atas hari akhir (QS.2:2-4).
Apabila kita bisa mengendalikan emosi, maka kita akan ditemukan sifat mulia yang bernama sabar. Bagi mereka yang bisa mengedepankan kesabaran, Malaikat akan berkata, “Salāmun ‘alaikum (semoga keselamatan tercurah kepadamu) karena kesabaranmu.” (Itulah) sebaik-baiknya tempat kesudahan (surga) (ar-Ra’d:24).
Itulah yang harus diyakini seorang muslim ketika kemarahan hinggap di dalam hatinya. Ia harus memikirkan kembali akibat yang akan terjadi, tidak sembrono dalam berperilaku dan lebih mendahulukan sikap sabar. Kata Nurcholis Madjid, “Pandai menahan amarah dan mudah memaafkan sesama manusia adalah dua kualitas kemanusiaan yang terkait satu sama lain. Bagaikan dua muka di satu koin mata uang. Keduanya adalah dua hakikat yang tidak bisa dipisahkan.”
Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini