Barangkali di antara kita ada masih salah kaprah memahami puasa enam hari setelah Idul Fitri. Orang biasa menyebutnya puasa Syawal. Ada sebagian yang tidak hanya berhenti pada puasa Ramadan, banyak yang kemudian mengiringinya dengan puasa syawal. Di balik keutamaan dan pahalanya, puasa tersebut ternyata diperdebatkan. Kendati demikian, diyakini hukum puasa tersebut adalah sunnah.
Balasan pahala yang populer di masyarakat adalah memperoleh pahala setahun penuh. Boleh jadi pemahaman tersebut muncul karena pemahaman diperoleh dari mulut ke mulut. Tidak secara utuh mengetahui dasar keutamaannya. Dikhawatirkan muncul kesimpulan puasa enam hari bulan Syawal lebih unggul dibandingkan puasa ramadan itu sendiri. Karena anggapan menilai bila puasa ramadan hanya terhitung selama sebulan.
Akan tetapi, jika mau dipahami secara komprehensif bagaimana dalil berikut pendapat para ulama akan muncul pandangan berbeda. Terlepas bagaimana bunyi hadis dikemukakan, pendapat para ulama juga menjadi pertimbangan. Sehingga, pemahaman utuh terhadap hukum dan keutamaan puasa tersebut dapat dicapai.
Salah satu dalil yang populer menjadi dasar pelaksanaan puasa Syawal ini adalah
“Barangsiapa yang berpuasa ramadan, kemudian mengiringinya enam hari di bulan Syawal, maka puasanya seperti puasa setahun penuh.” HR. Muslim
Hadis yang diriwayatkan dari jalur Abu Ayyub al-Anshari di atas sebenarnya diperselisihkan kedudukannya. Ada yang menyatakan shahih. Ada pula yang menyebutnya sebagai hadis mauqūf. Kendati demikian, jumhur ulama’ menyatakan bahwa melaksanakan puasa tersebut hukumnya sunnah (lathā’iful ma’ārif, 1999: 389).
Pahala puasa setahun penuh dapat diperoleh bila puasa ramadan dan enam hari Syawal terlaksana secara utuh. Adapun skema pahalanya dapat dirinci bahwa puasa sebulan sebanding dengan sepuluh bulan. Artinya puasa ramadan sama dengan puasa 300 hari. Sedangkan puasa enam hari Syawal sebanding dengan puasa dua bulan berarti 60 hari. Sehingga, hadis di atas dapat dipahami sebagai total amal puasa ramadan dan puasa Syawal yang berpahala setahun penuh atau 360 hari (kitāb al-shiyām, 1436 H: 123).
Skema pahala di atas didasarkan pada argumentasi bahwa satu kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipatnya. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Barangsiapa melakukan satu kebaikan maka baginya sepuluh kali lipatnya…” Qs. al-An’am [6]: 160. Juga didasarkan pada sabda rasulullah Saw.: “Allah menjadikan satu kebaikan dengan sepuluh, satu bulan dengan sepuluh bulan, dan enam hari setelah Idul Fitri menyempurnakan (pahala) setahun.” HR. Nasa’i
Dalam pendapat lain, dikatakan bahwa Allah telah ridha puasa enam hari bulan Syawal ini sebanding dengan puasa setahun ke depannya. Namun, pemahaman demikian tidak dibenarkan oleh sebagian ulama. Mereka mengkhawatirkan akan lahir pandangan meyakininya sebagai bagian puasa wajib. Karena puasa Syawal dinilai menggenapi pahala ramadan yang dilakukan sebelumnya.
Muncul kemudian perselisihan mengenai anjuran puasa tersebut. Tidak sedikit ulama yang menilai lebih baik tidak melaksanakannya. Bahkan, ada sebagian yang tidak menyukai tapi tidak melarangnya. Ada yang kemudian khawatir menjadikannya sebagai puasa wajib setelah ramadan. Padahal tiada puasa apapun diwajibkan kecuali puasa ramadan (lathā’iful ma’ārif, 1999: 390).
Metode Pelaksanaan Puasa Syawal
Puasa Syawal disebut sebagai salah satu amalan sunnah yang berkaitan dengan bulan ramadan. Kedudukannya seperti penyempurna bagi puasa ramadan yang telah paripurna. Tidak jarang kaum muslim melaksanakannya mulai hari kedua bulan Syawal. Ibaratnya, berbuka sehari pada Idul Fitri kemudian esok harinya berpuasa lagi.
Namun demikian, puasa Syawal ternyata tidak serumit yang disalahpahami. Selama ini mungkin dipahami bahwa puasa ini hanya boleh dilakukan mulai hari kedua sampai keenam bulan Syawal. Harus berurutan dan tidak boleh terputus. Ternyata anggapan ini kurang tepat. Sebab, puasa tersebut sangat fleksibel dalam pelaksanaannya. Sehingga, tidak perlu khawatir bagi kaum muslim yang ingin menundanya dulu demi silaturahim di pekan pertama bulan Syawal.
Seperti dikutip dari Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Latha’iful Ma’arif bahwa terdapat tiga pendapat metode pelaksanaan puasa Syawal ini. Pertama, disunnahkan berpuasa sejak awal bulan secara berurutan. Ini pendapat Syafi’i dan Ibn al-Mubarok. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Abu Hurairah (marfu’): “Barangsiapa yang berpuasa enam hari setelah Idul Fitri beriringan, maka seakan berpuasa selama setahun.” HR. al-Thabrani.
Kedua, tidak berbeda antara beriringan atau memisahkan antara satu hari dengan lainnya selama masih dalam bulan Syawal. Ini pendapat Waki’ dan Ahmad. Asal masih di bulan Syawal tetap boleh berpuasa sunnah enam hari. Semisal langsung berpuasa beriringan mulai hari kedua sampai hari ketujuh dibolehkan. Bila ingin melaksanakan berselingan satu hari puasa dan satu hari berbuka juga dibenarkan.
Ketiga, tidak dibolehkan berpuasa beriringan dengan hari raya Idul Fitri. Sebab, pada hari-hari tersebut merupakan hari-hari untuk makan dan minum. Tetapi, dianjurkan melaksanakannya tiga hari sebelum ayyām al-bīdh dan tiga hari lagi setelahnya. Ini pendapat Ma’mar dan Abdurrazzaq (lathā’iful ma’ārif, 1999: 390-391). Pendapat ketiga ini lebih menyarankan supaya puasa Syawal dilaksankan di pertengahan bulan saja.
Dengan demikian, puasa sunnah enam hari bulan Syawal merupakan amalan yang sangat dianjurkan. Terlepas dari perdebatan para ulama mengenai keutamaan dan hukumnya, puasa Syawal tetap mengandung banyak hikmah. Waktu pelaksanaannya yang fleksibel membuka kesempatan bagi siapa saja yang mengamalkan. Walau sudah lewat tanggal tujuh, asalkan enam hari masih di bulan Syawal tetap masuk kategori puasa Syawal. Wallahu A’lam.
Abdul Fatah, S.Ud., M.Ag., Ustadz di Cari Ustadz
Tertarik mengundang ustadz Abdul Fatah, S.Ud., M.Ag.? Silahkan klik disini