Selama ini saya sering mendengar larangan-larangan, antara lain, seperti larangan bagi perempuan yang sedang datang bulan [menstruasi] untuk membuang rambut yang rontok dan memotong kuku, serta larangan bagi lelaki untuk memakai emas dan logam lainnya dan menggunakan pakaian yang memakai bahan sutra. Setelah saya tanyakan dasar hukumnya saya tidak memperoleh jawaban yang memuaskan. Saya juga telah berusaha mencari jawabannya lewat Al-Quran, namun sampai sekarang belum saya temukan. Mohon penjelasan dan terima kasih. [Susan Yuniarso – Via formulir pertanyaan] Dalam buku al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah [Fiqih Menurut Keempat Mazhab] dikemukakan: Yang haram bagi seorang yang sedang dalam keadaan junub [termasuk menstruasi] untuk dia kerjakan adalah amalan-amalan keagamaan yang bersyarat dengan adanya wudhu, seperti shalat sunnah atau wajib. Semua kita tahu bahwa tidak disyaratkan adanya wudhu untuk memotong rambut atau menggunting kuku. Dan atas dasar penjelasan di atas, kita dapat berkata bahwa tidak ada larangan [dalam arti haram] untuk membuang rambut yang rontok dan memotong kuku, seperti yang Anda tanyakan itu. Boleh jadi pandangan ini timbul dari adanya kewajiban untuk memandikan seluruh anggota tubuh. Rambut yang rontok atau kuku yang dipotong dan terbuang, maka ia tidak termandikan lagi, dan karena itu mereka melarangnya. Saya pun –seperti Anda– tidak menemukan alasan keagamaan untuk pandangan ini, baik dari Al-Quran maupun hadits Nabi Saw. Boleh jadi yang melarangnya menduga bahwa badan manusia menjadi najis saat dia dalam keadaan junub. Dugaan ini keliru. Nabi Saw tidak mewajibkan bagi yang junub termasuk yang sedang datang bulan [menstruasi] untuk bersegera mandi. Ia baru harus mandi saat akan shalat, atau membaca al-Quran. Bahkan sebuah riwayat menyatakan bahwa Nabi Saw pernah berdiri untuk shalat berjamaah, tiba-tiba beliau teringat bahwa beliau belum mandi dan segera pergi mandi kemudian melaksanakan shalat. Demikian diriwayatkan oleh keenam perawi hadits utama [kecuali at-Tirmidzi] melalui sahabat Nabi, Abu Hurairah. |
Boleh jadi juga pandangan tersebut lahir dari interpretasi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud melalui Ali bin Abi Thalib yang menyatakan, “Barang siapa yang mengabaikan satu bagian dari tempat tumbuhnya rambut saat mandi junub sehingga tidak terkena air, maka Allah akan memperlakukannya begini dan begini di neraka.”
Riwayat ini di samping memiliki kelemahan dalam sanadnya juga tidak berbicara tentang rambut yang dipotong atau bahkan ‘tempat tumbuhnya rambut’. Hemat saya, pandangan seperti yang Anda tanyakan itu sangat menyulitkan, sedangkan agama memberikan kemudahan-kemudahan termasuk dalam persoalan mandi wajib. Kalau seperti yang dijelaskan di atas, memotong kuku atau menggunting rambut tidak haram, apakah larangan yang ditemukan itu berarti makruh?
Dalam bukunya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, az-Zuhaili menulis, “Tidaklah makruh dalam pandangan mazhab Hanbali bagi seorang yang junub, atau dalam keadaan haid, atau nifas, menggunting rambutnya, kukunya, dan tidak juga menyemir rambutnya sebelum mandi”. Sedangkan Imam al-Ghazali, dalam al-Ihya, mengatakan, “Tidak wajar bagi seseorang menggunting kuku, mencukur rambut kepala atau kemaluan, atau mengeluarkan darah pada saat dia dalam keadaan junub. Karena kelak, di hari kemudian, seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan, [dan jika demikian] dia kembali dalam keadaan junub. Ada yang menyatakan bahwa setiap rambut akan menuntut untuk dimandijanabatkan.”
Alasan al-Ghazali di atas, seperti terbaca, bukanlah dari ayat Al-Quran dan hadits Nabi Saw. Alasannya pun sangat lemah. Hemat saya, di hari kemudian, walaupun manusia dibangkitkan secara jasmani, tetapi tubuh kita bukan lagi sebagaimana keadaannya dalam kehidupan dunia. Al-Quran menyatakan bahwa wanita-wanita penghuni surga [yang tua bangka sekalipun] akan dijadikan oleh Allah sebagai gadis-gadis remaja, penuh cinta dan sebaya dengan suami-suami mereka [baca QS Al-Waqiah [56]: 35-36]. Sebaliknya, ada orang-orang durhaka yang tadinya di dunia memiliki mata yang jeli, dibangkitkan Allah dalam keadaan buta. “Dia berkata, ‘Wahai Tuhan, mengapa Engkau menghimpunkan aku [di Mahsyar] dalam keadaan buta, padahal tadinya di dunia] aku dapat melihat.’ Allah berfirman, ‘Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu [pula] pada hari ini kamu pun dilupakan‘” [QS Thaha [20]: 125-126].
Dalam hal mandi wajib, mazhab Abu Hanifah menggarisbawahi bahwa wajib membasahi seluruh anggota badan yang dapat disentuh oleh air selama hal tersebut tidak menyulitkan. Dalam konteks kemudahan tersebut, ulama mendiskusikan wajib tidaknya rambut yang digulung atau diikat sebagian atas sebagian yang lain, untuk diurai terlebih dahulu baru mandi. Abu Hanifah tidak mewajibkannya, cukup membasahi. Imam Malik juga tidak mewajibkan mengurai rambut yang tersanggul selama ikatannya tidak terlalu ketat sehingga air dapat mengalir ke dalam. Alasan mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Ummu Salamah bertanya kepada Nabi Saw, “Aku adalah seorang wanita yang mengikat rambutku, apakah aku harus mengurainya dalam rangka mandi junub atau akibat mens?” Nabi menjawab, “Tidak! Cukup engkau menuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga kali.”
Imam Syafi’i, walaupun mengharuskan mengurai sanggul apabila air tidak mengenai rambut, namun beliau berpendapat bahwa agama memaafkan bagian dalam dari rambut yang terikat untuk tidak terkena air.
Adapun larangan memakai emas dan sutra bagi lelaki, maka para ulama mengakui adanya hadits Nabi yang nilainya sahih tentang larangan itu. Lihat, lebih lanjut, pada pembahasan saya sebelum ini.
[M. Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran]