Bagaimana Hukum Pemasukan Selain Gaji di Kantor?

QNA

Bagaimana hukum semua jenis pemasukan selain gaji di kantor?

[Sugiyanto – via formulir pertanyaan]

Tanya:
Banyak sekali tata cara perolehan harta atau pemasukan yang dikenal dewasa ini, tetapi tidak mudah menggeneralisasi hukumnya. Kendati demikian, kita dapat mengangkat salah satu ayat al-Quran yang berbicara secara umum tentang perolehan harta yang terlarang dan yang dapat menjadi jawaban pertanyaan Anda, yaitu firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta kamu di antara kamu dengan [jalan] yang batil, tetapi [hendaklah] dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [QS an-Nisa [4]: 29].

Redaksi ayat yang menyatakan ‘harta kamu, dan ‘di antara kamu’ mengandung makna bahwa harta pribadi seharusnya dirasakan dan difungsikan sebagai milik bersama [harta kamu] yang dibuktikan dengan fungsi sosial harta itu. Redaksi ini juga mengundang kerja sama dan tidak saling merugikan karena ‘bila mitra saya rugi, saya juga akan merugi’. Bukankah harta adalah milik bersama? Oleh karena itu, dalam berbisnis atau berusaha menambah pemasukan harta, hendaknya diilustrasikan berada di tengah. Inilah yang diisyaratkan oleh kata ‘di antara kamu’. Bukankah sesuatu yang berada ‘di antara’ dua pihak seharusnya berada di tengah? Ini karena dalam upaya memperoleh pemasukan, terjadi hubungan timbal balik. Pihak pertama cenderung menarik sesuatu yang di tengah itu ke arahnya, bahkan kalau dapat ditarik sedekat mungkin ke posisinya, demikian juga pihak kedua. Agar yang ditarik tidak putus atau agar yang menarik tidak terseret, diperlukan kerelaan mengulur dari masing-masing, bahkan yang terbaik adalah bila masing-masing senang dan bahagia dengan perolehannya. Ini fungsi neraca.

Allah swt. juga menekankan perlunya mengindahkan peraturan-peraturan yang ditetapkan dan tidak melakukan apa yang diistilahkan dengan al-bathil [QS an-Nisa [4]: 29], yakni pelanggaran terhadap ketentuan agama atau persyaratan yang disepakati. “Kaum Muslim harus menepati syarat-syarat yang mereka sepakati, selama tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”, demikian sabda Nabi Saw. Kejelasan tentang waktu dan jenis transaksi mutlak diperlukan karena dari sini, lahir larangan melakukan gharar, yakni bertransaksi menyangkut sesuatu yang tidak jelas kualifikasinya atau waktu penerimaannya.

Akhirnya, kita dapat berkata bahwa hubungan timbal balik yang harmonis, peraturan dan syarat yang mengikat, serta sanksi yang menanti bagi yang melanggar merupakan tiga hal yang selalu berkaitan dengan perolehan harta, dan di atas ketiga hal tersebut, ada etika yang menjadikan para pelaku tidak sekadar menuntut penambahan pemasukan atau keuntungan materi yang segera, tetapi melampauinya hingga ‘mengutamakan [orang lain] atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan.’ [QS al-Hasyr [59]: 9].

Demikian, wallahu a’lam.

[M. Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur’an]