Jika kita dalami secara komprehensif persoalan hukum pernikahan dan perceraian, dan memahai tujuan pensyariatan keduanya, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa “Perceraian adalah solusi terakhir ketika terjadi problem keluarga, bukan solusi pertama”. Hal inilah yang disampaikan oleh al-Husein Abdul Ghani dalam kitabnya “Maqasid al-Syariah al-Juziyyah fi al-Akhwal al-Syaksiyyah”.
Sebelum memilih jalan perceraian, syari’at Islam memberikan beberapa cara dan solusi agar problem rumah tangga bisa diselesaikan tidak dengan cara bercerai, di antaranya:
Pertama, ketika terjadi persoalan yang disebabkan oleh istri atau suami, dan hal tersebut masih bisa diselesaikan secara baik-baik, maka masing-masing pihak harus lebih bersabar terhadap pasangannya walaupun ada beberapa hal yang membuatnya benci kepada pasangannya. hal ini dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 19:
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyuk ai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Ayat ini menegaskan bahwa Allah memerintah suami untuk berperilaku baik kepada istrinya. Bahkan ketika suami melihat ada hal-hal yang membuatnya membenci istrinya, Allah memerintahkan agar bersabar karena ada banyak kebaikan pada diri istri yang barangkali tidak diketahui suaminya.
Baca Juga: Melaksanakan Shalat Dzuhur Karena Khatib Tidak Fasih
Kedua, ketika perempuan melakukan nusyuz, suami tidak boleh terburu-buru menceraikannya. Pada persoalan ini, al-Qur’an memberi petunjuk kepada para suami agar melakukan tiga tahap edukasi surat an-Nisa ayat 34:
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka (pukulan ringan yg tidak melukai). Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.”
Berdasar ayat ini, ketika istri dianggap tidak melakukan tugas dan kewajibannya sebagai istri, suami tidak boleh terburu-buru mencerainnya. Suami justru diperintah untuk melakukan tiga tahap edukasi, yaitu menasehatinya dengan cara yang baik, pisah ranjang, dan jika perlu memukulknya dengan cara yang tidak sampai melukai atau menyebabkan bekas luka. Bahkan menurut ulama, cara terakhir ini perlu ditinggalkan karena Rasulullah saw tidak pernah memukul istrinya.
Ketiga, ketika suami melakukan nusyuz, walaupun terasa berat bagi istri, tetapi upaya damai antara suami-istri merupakan langkah yang sangat dipuji oleh Allah Swt. Hal ini diejelaskan dalam An Nisa ayat 128
“Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini memberi peringatan bagi istri, bahwa ketika suami mulai meninggalkan kewajibannya sebagai suami, maka istri tidak boleh terburu-buru menggugat cerai suaminya. Justru Allah sangat menyukai jika kedunya memilih jalur damai dengan cara-cara yang baik
Keempat, ketika terjadi pertengkaran (syiqaq), hal ini dijelaskan dalam surat An- Nisa’ ayat 35
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat ini menjadi penegas, bahwa permasalahan suami istri seperti percekcokan dan perselisihan jangan sampai membuat keduanya langsung memilih cara bercerai. Justru ada perintah agar keduanya mengutus juru damai dari masing-masing keluarga agar terjadi perdamaian dan bisa kembali utuh sebagai suami istri.
Baca Juga: Wayang Sebagai Media Dakwah
Oleh karena itu, jangan asal mengucapkan talak ketika terjadi persoalan. Bisa jadi apa yang kita pikirkan terhadap persoalan tersebut tidak objektif karena banyak factor, bisa jadi karena sedang marah, banyaknya isu yang tidak jelas, dan lain sebagainya.
Di sinilah pentingnya Pengadilan Agama dan para mediatornya untuk memastikan apa yang dijelaskan di al-Quran di atas bisa dijalankan untuk menyelesaikan problematika rumah tangga. Pengadilan Agama memposisikan dirinya sebagai penengah dan melihat fakta-fakta secara objektif, sehingga akan mengambil keputusan yang dianggap paling membawa kemaslahatan bagi pasangan suami istri. Wallahu A’lam.
Dr. Holilur Rohman, M.H.I, Ustadz di Cariustadz.id dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya