Allah Swt berfirman, “Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Surah al-Hujurat (49):14).
Ayat ini menyiratkan adanya tahapan sebelum menuju kepada keimanan, yaitu keislaman, dimana iman baru ‘menempel’ belum meresap ke dalam hati. Bagaimana ulama tafsir menjelaskan ayat di atas?
Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir ibn Katsir, mengatakan bahwa iman itu pengertiannya lebih khusus daripada Islam, sebagaimana diyakini mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pendapat ini diperkuat dengan penjelasan hadis Jibril a.s. ketika ia bertanya (kepada Nabi Saw.) dimulai dengan tentang Islam, kemudian iman, dan terakhir tentang ihsan. Dalam pertanyaan Jibril as. tersebut dimulai dari yang umum (islam), kemudian kepada yang khusus (iman), lalu kepada yang lebih khusus lagi (ikhsan).
Penafsiran ini dikuatkan dengan riwayat dari Imam Ahmad yang mengatakan, bahwa Rasulullah Saw. memberi bagian kepada banyak laki-laki, tetapi tidak memberi seseorang dari mereka barang sedikit pun. Maka Sa’d ibnu Abu Waqqas r.a. bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau telah memberi Fulan dan Fulan, tetapi engkau tidak memberi si Fulan barang sedikit pun, padahal dia seorang mukmin?” Maka Rasulullah Saw. balik bertanya, “Bukankah dia seorang muslim?” Sa’d mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali, dan selalu dijawab oleh Nabi Saw. dengan pertanyaan, “Bukankah dia seorang muslim?” Kemudian Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya aku benar-benar memberi bagian kepada banyak laki-laki dan aku tinggalkan seseorang yang lebih aku sukai daripada mereka (yang kuberi bagian) tanpa memberinya sesuatu pun, karena aku merasa khawatir bila kelak Allah akan menyeret mereka ke dalam neraka dengan muka di bawah.
Dalam hadis tersebut, Ibn Katsir menjelaskan bahwa Nabi Saw membedakan antara orang mukmin dan orang muslim; hal ini menunjukkan bahwa pengertian iman itu lebih khusus daripada Islam. Ibn Katsir telah menerangkan hal ini berikut dalil-dalilnya dalam syarah Imam Bukhari Kitabul Iman.
Sejalan dengan hadis di atas, menurut Ibn Katsir mengisyaratkan bahwa lelaki yang tidak diberi bagian itu adalah seorang muslim, bukan seorang munafik. Nabi Saw tidak memberinya sesuatu bagian pun karena beliau percaya dengan keislaman dan keimanannya yang telah meresap ke dalam hatinya.
Hal ini menunjukkan pula bahwa orang-orang Arab Badui yang disebutkan dalam QS al-Hujurat (49): 14 bukan pula orang-orang munafik; mereka adalah orang-orang muslim, tetapi iman masih belum meresap ke dalam hati mereka. Ketika mereka mengakui bahwa dirinya telah mencapai suatu tingkatan yang pada hakikatnya mereka masih belum mencapainya, maka diberi-Nyalah mereka pelajaran etika. Pengertian inilah yang dimaksudkan oleh Ibnu Abbas r.a., Ibrahim An-Nakha’i, dan Qatadah, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir.
Pendapat Ibn Katsir di atas dikemukakan untuk menyanggah apa yang telah dikatakan oleh Imam Bukhari rahimahullah yang berpendapat bahwa orang-orang Arab Badui itu adalah orang-orang munafik yang mengaku-aku dirinya beriman, padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Telah diriwayatkan dari Sa’id ibnu Jubair, Mujahid, dan Ibnu Zaid, bahwa mereka telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk.’ (Al-Hujurat: 14) Yakni kami tunduk dan patuh karena takut dibunuh atau ditawan. Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Bani Asad ibnu Khuzaimah. Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum yang mengakui dirinya berjasa kepada Rasulullah Saw. karena mereka mau beriman.
Tetapi pendapat yang sahih adalah pendapat yang pertama yang mengatakan bahwa mereka adalah suatu kaum yang mendakwakan dirinya menduduki tingkatan iman, padahal iman masih belum meresap ke dalam hati mereka. Maka mereka diberi pelajaran etika dan diberi tahu bahwa sesungguhnya tingkatan iman yang sebenarnya masih belum mereka capai. Sekiranya mereka itu orang-orang munafik, tentulah mereka dikatakan dengan nada yang keras dan dipermalukan, seperti penuturan perihal orang-orang munafik dalam surat At-Taubah.
Dan sesungguhnya hal ini dikatakan kepada mereka hanyalah semata-mata untuk mendidik mereka, yaitu firman-Nya: (قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ) Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk, ‘ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 14). Yaitu kalian masih belum mencapai hakikat iman, kemudian Allah Swt berfirman, (وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ) jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia tiada mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu. Dia tidak akan mengurangi pahala amalanmu barang sedikit pun, semakna dengan apa yang disebutkan dalam firman-Nya {وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ}.
Firman Allah Swt dalam QS al-Hujurat (49): 15, “Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”. (Terjemah Kemenag 2002)
Ayat 15 QS al-Hujurat (49) ini kemudian menjelaskan siapa yang benar-benar memiliki iman yang sempurna, yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah, meyakini semua sifat-Nya, membenarkan apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya, dan tidak ragu atau goyah dalam pendiriannya. Mereka juga siap berjihad dengan menyerahkan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Dalam hal ini, orang-orang yang benar-benar memiliki iman yang sempurna adalah mereka yang tidak hanya mengucapkan keimanan, tetapi juga mempraktikkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka selalu konsisten dengan keyakinan mereka dan siap berkorban untuk agama Allah.
Ibn Katsir menukil hadits dalam riwayat Imam Ahmad, bahwa sesungguhnya Nabi Saw bersabda: “Orang-orang mukmin di dunia ini ada tiga macam, yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah; dan orang (mukmin) yang dipercayai oleh orang lain terhadap harta dan jiwa mereka; dan orang (mukmin) yang apabila mempunyai rasa tamak (terhadap sesuatu), maka ia meninggalkannya karena Allah Swt”.
Dengan demikian, Surah Al-Hujurat ayat 14 dan 15 memberikan gambaran tentang tahapan iman dan Islam yang diperlukan untuk menjadi mukmin yang sejati. Seseorang harus memiliki keyakinan yang kuat terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta melakukan amal yang baik dan sesuai dengan ajaran agama. Selain itu, seseorang harus bertindak tanpa adanya keraguan atau kegoyahan dalam hati dan siap mengorbankan harta dan jiwa dalam menegakkan agama Allah.
Bagaimana pun dari dua ayat Surah Surah Al-Hujurat ayat 14 dan 15 ini, tahapan Islam yang dapat dipahami bahwa Islam sejatinya memerlukan keyakinan yang kuat dan tulus, serta amal yang baik dan sesuai dengan ajaran agama. Dengan memiliki keyakinan yang kuat dan tulus, seseorang dapat menjalankan ajaran agama dengan baik, tanpa adanya keraguan atau kegoyahan dalam hati. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki keyakinan yang kuat dan amal yang baik adalah orang yang benar-benar mukmin dan pantas disebut sebagai orang yang beriman secara sempurna.
Dr. Muhamad bin Abdullah Alhadi, MA, Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustad Dr. Muhamad bin Abdullah Alhadi, MA? Silakan klik disini