Media sosial baru-baru ini dikejutkan oleh kematian seorang ayah dan nenek oleh MAS anak berusia 14 tahun, yang tak lain putera dari sang ayah dan cucu dari sang nenek. Bagaimana bisa anak 14 tahun terpikir untuk menghabisi nyawa keluarganya sendiri? Apa faktor pemicu sehingga fenomena ini bisa terjadi?
Memprihatinkan, remaja 14 tahun di Cilandak, Jakarta Selatan melakukan parriceide/ parisida; upaya pembunuhan terhadap keluarga dekat bahkan orangtua. Tentu banyak faktor yang melatarbelakanginya; salah satunya relasi dan komunikasi anak & orangtua. Terlebih, jika dilihat dari sisi psikologis, usia 14 tahun masuk dalam kategori remaja pertengahan dimana biasanya, anak-anak usia ini tidak suka dituntut dan dikekang. Ia butuh kebebasan dalam bimbingan keluarga.
Sebagaimana kita tahu, pada usia 14 tahun, perkembangan psikologi remaja masih tidak stabil dan dapat mengalami berbagai perubahan. Perubahan suasana hati, perubahan sikap, perubahan perilaku juga perubahan hubungan sosial. Dalam kasus pembunuhan di atas, polisi masih terus melakukan investigasi, informasi sementara menunjukkan bahwa pelaku adalah anak yang cerdas, supel dan tidak tempramental. Pelaku hanya merasa mendapatkan ‘bisikan’ untuk menghabisi nyawa orangtua & neneknya. Lagi-lagi kita bertanya-tanya, mengapa ini bisa terjadi?
Salah seorang psikolog berkebangsaan India, dr Nisha Khanna, menguraikan parricide terbagi atas dua jenis yakni parricide reaktif dan parricide psikotik. Parricide reaktif biasanya terjadi dalam keluarga yang abusive atau disfungsional tanpa adanya gangguan psikologis pada pelaku. Adapun parricide psikotik disebabkan oleh adanya gangguan psikotik dan delusi yang mendorong pelaku atau seorang anak melakukan pembunuhan terhadap orang tuanya.
Tentu, dalam kasus di atas, motif pelaku belum dapat diketahui secara jelas. Namun kita melihat fenomena ini dari dua jenis parisida di atas, parisida reaktif dimana seorang anak biasanya mengalami perilaku abusif (yang tidak selalu tindakan fisik) menyebabkan anak rentan luka psikologis antara lain karena adanya beragam stresor yakni perceraian, kekerasan pada anak bahkan disfungsi & ketidakharmonisan keluarga (Rozak, 2020: 2)
Disfungsi keluarga yang menjadi faktor penting terjadinya parisida, menunjukkan bahwa orang tua / keluarga memiliki andil bagi perkembangan gejala-gejala depresif pada anak. Adanya relasi kuasa (orang tua) yang berupaya mengontrol anak secara penuh di antaranya sikap orang tua yang berusaha mengawasi dan mengatur perkembangan psikologis dan emosional sang anak melalui pemaksaan ekspresi verbal dan mengabaikan perasaan, juga berusaha mengatur perilaku anak dengan menggunakan pemaksaan. (Sokolava, 2008: 63)
Dari fenomena ini, kita tersadar bahwa anak dalam konteks Al-Quran ialah amanah berharga yang harus dijaga. Orangtua dalam tuntunan Qurani juga sosok yang harus dihormati keberadaannya. Ada kesalingan, hubungan timbal balik, dua arah yang menjadikan keduanya bertanggung jawab menjaga hubungan baik.
Kendati demikian, dalam proses panjang pengasuhan, ada satu hal yang tidak boleh diabaikan orangtua yakni kewajiban untuk membangun komunikasi efektif- dialogis orangtua-anak agar tercipta hubungan harmonis. Contoh nyata komunikasi ayah-anak salah satunya terbaca dalam Qs. Ash-Shaffat 102. “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”
Tafsir al Muharrar al Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz karya Ibnu Athiyyah ayat ini mendeskripsikan bagaimana sikap Ibrahim sebagai orangtua menaruh hormat & menghargai sang anak dengan pertanyaan dialogis padanya melalui kalimat ‘fanzhur madza taraa/ pikirkan bagaimana pendapatmu?’. Fenomena ini menarik, meski kita tahu pasti Ismail tidak akan berani untuk menolak perintah Allah melalui mimpi ayahnya, namun ayahnya tetap ‘bertanya’ pada sang anak untuk mendengar langsung pendapat sang anak. Peristiwa ini memberi teladan pada kita bahwa hubungan & komunikasi yang sehat akan menciptakan bonding yang kuat.
Berikutnya, kita juga melihat bahwa usia Nabi Ismail kala itu, Menurut al-Farrā’, menginjak 13 tahun. Usia remaja awal dengan segala dinamika yang dialaminya. Hal ini terlihat dalam lafadz ghulam yang diartikan pemuda yang telah tumbuh memanjang kumisnya. Biasanya, yang mencapai usia tersebut telah tumbuh pula nafsu seksualnya. Karena itu, nafsu seksual juga dinamai dengan ghulmah, demikian Quraish Shihab dalam tafsirnya.
Selain Qs. Ash-Shaffat/ 102 di atas, al-Quran juga memberi contoh melalui Qs. Luqman 12-19 dengan nasihat pada puteranya yang diabadikan oleh Allah. Nasihat indah tentang ketaqwaan, perintah bersyukur, larangan musyrik, hormat pada orangtua, serta tanggungjawab sosial yang harus ditunaikan pada sesama manusia & makhluk alam raya. Serangkaian pesan bermakna yang diuraikan Luqman pada puteranya, memberikan gambaran sekaligus amanat luarbiasa yang harus ditunaikan pada Ananda. Tak dipungkiri, perkembangan teknologi & media mendekatkan yang jauh namun juga menjauhkan yang dekat. Karenanya, satu hal berharga yang harus dijaga oleh anak dan orangtua adalah; membangun komunikasi sehat & berkualitas, ngobrol dari hati ke hati, semaksimal waktu luang yang dipunya. Orangtua sedapat mungkin berupaya menyempatkan diri sesederhana bertanya kabar/ kondisi mood ‘bagaimana perasaan Adik/ Kakak hari ini?’, berusaha hadir penuh dan sadar utuh hingga akhirnya terbangun bonding yang sehat antara orangtua dan anak.
Hal ini memang tak mudah, namun bukan berarti kita tidak bisa. Bismillah, mari re-parenting kembali diri kita, basuh luka-luka batin yang mungkin masih ada dan berjanji untuk mengasuh anak-anak dengan cinta yang lebih baik. InsyaAllah Allah mudahkan kita semua, semoga!
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini