Hukum Nikah Beda Agama

Cariustadz.id, – Berbicara soal cinta, ada yang mengatakan bahwa cinta itu buta, cinta itu tidak pandang bulu. Saat ini sebagian orang mungkin menemukan tambatan hati dan mengiginkan perkawinan sakral lintas suku dan bangsa, tanah air bahkan lintas kepercayaan.

Meskipun kemungkinan menemukan cinta, kesempatan menyongsong cinta, semakin menjadi terbuka lebar, akan tetapi di muka hukum belum tentu dapat legalitas dan pengakuan. Yang sering menjadi perdebatan terutama soal pernikahan beda agama. Sebelum ke pembahasan soal nikah beda agama, mungkin yang bisa menjadi pertanyaan awal adalah apakah pasangan non-muslim kemudian masuk Islam, perlu melakukan akad ulang?

Pertanyaan ini dijawab oleh Ust. Nurul Irfan dalam program “Ruang Tengah” di channel youtube Cari Ustadz. Menurutnya kalau memang sebelum Islam mereka itu sudah menikah, tidak perlu menikah ulang, kalau kedua-duanya masuk Islam bersamaan.

“Dalam sejarahnya, dulu para sahabat nabi awalnya non-muslim kemudian masuk Islam, tetapi tidak ada catatannya bila mereka melakukan akad ulang untuk pernikahannya,” jelas Irfan.

Ia menambahkan bahwa menurut Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayatul Mujtahid diterangkan bila pasangan non-Muslim masuk Islam, maka disebutkan “anna al-Islaam yashihhu dzalika” bahwa Islam menganggap sah pernikahan yang sudah terjadi sebelumnya.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana hukum menikah beda agama dalam ajaran Isam?

Nurul Irfan mengatakan bahwa Seandainya non muslim itu masuk dalam kategori musyrik, maka Surah Al-Baqarah: 221 menyebutkan dengan tegas tidak boleh menikahi mereka. Akan tetapi bila non-Muslim adalah Ahli Kitab, Yahudi atau Nasrani, maka dalam Surah 5 ayat 5 disebutkan boleh.

Kemudian kalau seandainya yang dinikahi non-Muslim itu beragama Nasrani atau Kristen, sebagian ulama membolehkan. Kalaupun yang dinikahi itu kemudian masuk Islam, maka tidak perlu dilakukan akad ulang.

Dari segi hukum positif, apakah boleh melakukan pernikahan beda agama?

Mustholih Siradj, konsultan hukum Justika yang turut hadir dalam program “Ruang Tengah”, mengatakan bahwa bila melihat UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1, disebutkan bahwa pernikahan diakukan menurut hukum agama masing-masing orang. Pasal ini berimplikasi pada bagi orang muslim tidak memungkinkan untuk menikah beda agama. Terlebih dikuatkan dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku khusus untuk warga negara beragama Islam.

Namun, di sisi lain ada juga UU Administrasi Kependudukan yang ternyata bisa mengakui perkawinan beda agama. Fenomena yang terjadi biasanya pasangan beda keyakinan akan menikah di luar negeri, dilaporkan ke perwakilan negara, kemudian dilaporkan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dengan cara ini pernikahan terebut dicatat oleh negara.

 

“Merujuk pada UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, peristiwa seperti kelahiran, kematian, dan perkawinan adalah peristiwa penting yang wajib tercatat. Artinya, negara melindungi dan memberikan jaminan pencatatan peristiwa-peristiwa penting ini,” jelas Mustholih.