Sejarah Singkat Awal Mula Perintah Puasa

Sebagian dari kita mungkin ada yang belum mengetahui sejarah awal perintah puasa. Padahal, dengan mengetahui sejarahnya kita diharapkan bisa mengambil pelajaran bahwa ternyata dalam beberapa hal syariat Islam hampir selalu melalui penahapan. Dan penahapan biasanya diiringi dengan tujuan kemudahan. Karena itu, dalam tulisan ini saya mencoba menguraikan penjelasan tentag sejarah perintah puasa secara singkat. 

Di masa awal permulaan Islam, puasa hanya dilakukan sebanyak tiga hari setiap bulannya. Puasa ‘Asyura’ (orang jawa menyebutnya “suro”) yang kita kenal selama ini juga sudah ada dan dipraktekkan kala itu. Namun, belum pasti apakah jangka waktu tiga hari itu harus berturut-turut atau boleh berjeda. 

Di kemudian hari, turunlah ayat 183 dalam surat al-Baqarah

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. 

Ayat ini menjadi penegas bahwa tradisi puasa sudah dilakukan oleh umat-umat terdahulu dengan berbagai motif. Dengan diturunkannya ayat ini, maka umat Islam awal melaksanakan puasa sesuai dengan kehendaknya, atau sifatnya lebih pada pilihan mereka. 

Setelah turunnya ayat 185 dalam surat al-Baqarah (فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ), barulah kemudian puasa menjadi sesuatu yang diwajibkan bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Dr. Hasan Hito menulis dalam Fiqh as-Shiyam bahwa hadist yang memperkuat hal ini bisa ditemukan dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan juga Tirmidzi. 

عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان عاشوراء يصام قبل رمضان, فلما نزل رمضان كان من شاء صام ومن شاء أفطر.

Dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, beliau berkata: Dulu ‘Asyura’ merupakan puasa (yang dilaksanakan terlebih dahulu) sebelum datangnya Ramadhan. Dan ketika Ramadhan tiba, sebagian sahabat ada yang berpuasa dan ada juga yang tidak. 

Dalam permulaan Islam, tata cara berpuasa juga tidak sama dengan apa yang kita laksanakan dewasa ini. Sebagaimana diketahui, kita berpuasa dari mulai saat fajar tiba sampai dengan tenggelamnya matahari. Akan tetapi, masyarakat Islam awal puasanya dihitung mulai dari  saat mereka tidur malam atau sesaat setelah melaksanakan shalat isya’ akhir. Mana di antara keduanya yang duluan, inilah yang dihitung. 

Jadi, misalnya seseorang tertidur di malam hari sekitar jam 08.00 WIB, maka seketika itu dia sudah dikatakan berpuasa dan tidak boleh melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Atau dengan contoh lain, misalnya seseorang melaksanakan shalat isya’ pada jam 19.00 WIB, maka setelah shalat isya’ dia sudah harus berpuasa lagi. 

Barulah di kemudian hari hukum ini di-nasakh (dihapus) dan akhirnya umat Islam diperbolehkan untuk makan, minum, jimak, dll. di malam hari sampai datangnya fajar subuh, baik dia sebelumnya sudah tidur atau belum. 

Terdapat hadist riwayat Imam Bukhrari dari Sahabat Barra’ bin ‘Azib yang mengisahkan bahwa saat para sahabat Nabi berpuasa, lalu datang waktu berbuka, akan tetapi mereka tertidur terlebih dahulu dan belum sempat berbuka, maka mereka tidak makan dan minum (melanjutkan puasanya) sampai hari berikutnya. 

Barra’ juga menceritakan kejadian yang sempat menimpa sahabat Qais bin Surmah al-Anshari. Saat itu Qais beraktifitas seperti hari-hari biasanya, siang hari ia gunakan untuk mencari nafkah dan malam harinya untuk istirahat. Lalu saat mendekati waktu berbuka, Qais bertanya pada istrinya, “Apakah kamu punya makanan?” Istrinya menwjawab, “Tidak, tunggu sebentar, aku akan carikan untukmu.” Karena merasa lelah, maka Qais tidak sanggup menahan rasa kantuknya. Ia pun akhirnya tertidur sebelum berbuka. 

Lalu, saat istrinya kembali dan mengetahui kalau suaminya ternyata tertidur, ia berkata “Kacau ini, apakah kamu tidur?” Qais pun belum sempat berbuka dan di hari berikutnya ia berpuasa dan beraktifitas seperti biasa. Namun, saat siang hari menyengat, tiba-tiba Qais jatuh pingsan karena tidak kuat menahan rasa lapar di perutnya. 

Kejadian ini pun akhirnya dilaporkan kepada Nabi Muhammad. Lalu kemudian turunlah ayat 187 surat al-Baqarah berikut: 

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ…. وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ

Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu…Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.

Maka, saat mengetahui bahwa terdapat ayat yang memperbolehkan makan, minum, berhubungan badan antara suami dan istri, maka para sahabat sangat bahagia dan bersyukur. 

Demikianlah sejarah singkat perintah puasa bagi umat Islam. Semoga kita menjadi hamba yang selalu mendapatkan kebaikan dan keberkahan dalam bulan Ramadan. Amin.

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini