Etika dalam Menyikapi Berita di Media Sosial

Perkembangan Industri Digital hingga memasuki 5.0 dan munculnya berbagai aplikasi media sosial di Indonesia mengakibatkan penduduk indonesia tercatat sebagai warga yang sangat mudah menerima berita dan berpotensi sebagai penyebar hoaks dan ujaran kebencian baik offline dan online (Anang/2016). Berdasarkan survei Microsoft  (Indonesian News Center, 2021) bahwa penduduk indonesia tercatat sebagai netizen yang melakukan pelanggaran menduduki peringkat 29 dari 32 negara. Sehingga, dapat dikatakan bahwa perilaku netizen dalam beretika  di sosial media kategori  rendah (Maulana, 2021). Oleh karena itu, kasus saling hujat-menghujat, bulliying, adu-domba, menghakimi, menjatuhkan, menyebarkan hoaks tanpa verifikasi tidak dapat dihindari (Jurnal Kominfo, 2018).

Allah berfirman dalam Surah Ali Imran Ayat 190

انَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ

“Sungguh dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”  

Refleksi penulis dari tafsir ayat tersebut bahwa Allah sengaja menciptakan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang tidak luput membawa sebuah pesan yang hanya bisa ditemukan oleh orang yang berakal. Ya, mencari ilmu pengetahuan dari seluruh yang ada di dunia, termasuk mencari kebenaran tentang sebuah isu yang bertebaran di masyarakat. Dalam konteks sosial, Saring sebelum sharing. Kecepatan jempol kita mengklik tombol share membuat kita khilaf tidak melakukan verifikasi atau bertanya dahulu kepada yang lebih faham, begitu juga dengan konteks hubungan dengan masyrakat ketajaman lidah kita mempercepat menebar berita kepada banyak orang terlebih memiliki niat terselubung entah karena iri, dengki, miskomunikasi, membenci, mengadu domba dll. Tabayun di dunia nyata dan  media sosial menjadi terlupakan hingga berita hoaks menyebar dengan cepat. Akhirnya, relasi kita dengan keluarga , para sahabat, tetangga, dan kolega menjadi rusak. Bahkan, suasana negara pun menjadi tegang terus karena hal tersebut. Tentu hal ini sangat disayangkan dan merugikan.

Berdasarkan hasil analisa Nadirsyah Hosen, dalam bukunya Saring sebelum Sharing mengatakan dalam konteks isu keagaman, netizen indonesia sibuk bertanya dalil, tetapi kalau menyebarkan berita hoaks, tak bertanya lagi tentang dalil tetapi langsung share atau digosipin. Maka, postingan agama yang mengajarkan kebaikan menjadi kalah cepat dengan postingan atau ucapan yang menebar kebencian.

Intinya bukan soal dalil, melainkan soal perasaan kita saja antara senang atau benci. Meskipun didatangkan bukti sepuluh kitab tafsir lengkap dengan screenshot teks Arab langsung, kita tidak mudah percaya. Namun, hanya dengan satu gambar meme yang mengolok-olok dan cocok dengan isi hati kita, kita langsung share tanpa peduli apakah itu editan atau asli. Dalam konteks netizen julid langsung dijadikan Hot News tanpa mengetahui itu fakta atau hasil fitnah kelompok tertentu. Mantranya, baik online dan juga offline jika tidak cocok tanyakan dalilnya dan  kalau cocok maka tak usah pakai klarifikasi dan verifikasi , langsung sebar saja.

Dalam kerumunan, sering sekali kita terpaksa harus membela diri dengan menyamakan identitas logika kerumunan yang sama. Padahal, tidak berdosa jika harus berbeda. Hemat penulis, kita harus lebih smart ketimbang smartphone kita, begitu juga kita harus lebih cerdas dalam menanggapi berita, jika tidak bisa memutus mata rantai gosip hoaks maka setidaknya tidak menjadi pelopor yang menyebarkan juga. Be smart people dengan menjaga lidah dan jari kita apalagi berpotensi merugikan orang lain. Wallahu A’lam.

Khairan Kasih Rani, S.Ag, Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Khairan Kasih Rani, S.Ag? Silahkan klik disini