Perintah Khitan dalam Rangkaian Sejarah

Sebagai umat muslim, tentu kita tahu bahwa perintah khitan atau sunat pertama kali dibebankan kepada Nabi Ibrahim. Namun ternyata, ada beberapa riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Adam lah manusia pertama yang diperintahkan berkhitan. Apakah benar demikian? Lalu bagaimana sejarah perjalanan khitan dari umat sebelum Nabi Muhammad bahkan sebelum Nabi Ibrahim? 

Sekian banyak hadist yang menjelaskan tentang perintah berkhitan atau sunat. Di antaranya berbunyi bahwa khitan adalah bagian dari fitrah manusia. 

Dalam hadist yang bersumber dari Abu Hurairah, Nabi berkata: 

الفِطْرَةُ خَمْسٌ، أَوْ خَمْسٌ مِنَ الفِطْرَةِ: الخِتَانُ، وَالاسْتِحْدَادُ، وَتَقْلِيمُ الأظْفَارِ، وَنَتْفُ الإبطِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ.

Fitrah (manusia) ada lima: khitan, memotong bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong kumis. (HR. Bukhari dan Muslim).

Al-Khattabi berkata bahwa yang dimaksud dengan “fitrah” dalam konteks di atas menurut jumhur ulama adalah sunnah. Namun ada juga yang memaknainya sebagai “kesunnahan para Nabi”.  (Ibn Hajar, Fathul Bari)

Ada juga riwayat dari Ibn Syihab yang menceritakan, “Suatu ketika ada seseorang yang masuk Islam. Ia diperintahkan untuk khitan meskipun sudah dewasa.” (HR. Bukhari)

Menurut Imam Haramain, khitan tidak diwajibkan sebelum baligh. Karena seorang anak bukan termasuk ahli ibadah yang berhubungan dengan anggota badan. Imam al-Mawardi menambahkan, sebelum baligh (khitan) disunnahkan, namun setelah baligh hukumnya wajib.

Lalu, siapa orang pertama yang berkhitan?

Dalam kitab al-Muwatta’, diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata bahwa Nabi Ibrahim adalah orang pertama yang berkhitan dan orang pertama yang (rambutnya) beruban. Nabi Ibrahim sempat bertanya dengan Allah, “Apa tujuan uban ini?” kemudian dijawab Allah, “uban adalah wujud kewibawaan”. Nabi Ibrahim pun kemudian menjawab, “Ya Rabbi, tambahkanlah ubanku.” Berikut bunyi teksnya:

عن سعيد بن المسيب أنه قال: ” كان إبراهيم صلى الله عليه وسلم أول الناس ضيف الضيف، وأول الناس اختتن، وأول الناس قص الشارب، وأول الناس رأى الشيب، فقال: يا رب ما هذا؟ فقال الله تبارك وتعالى: وقار يا إبراهيم، فقال: يا رب زدني وقارا. (موطأ لإمام مالك)

Ibn Hajar al-Asqallani dalam Fathul Bari berkata bahwa Nabi Ibrahim adalah seseorang yang menjadi pertama dalam banyak hal. Di antaranya, memotong kumis, berkhitan, melihat uban, dll. 

Terdapat juga riwayat dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim berkhitan saat ia sudah berusia 80 tahun dengan menggunakan kapak kecil. (Muhammad Ali Albar, al-Khitan)

Dr. Abdussalam as-Sukri (ustadz di fakultas Syariah dan Qanun, al-Azhar Kairo) mengomentari hal di atas dengan berkata bahwa ketika kita melihat manusia pertama yakni Adam a.s, yang mana sebagai Nabi dan Rasul, maka mungkin ada yang berkata: “Khitan sudah ada sejak masa Nabi Adam, karena ia merupakan kesunnahan baginya dan keturunannya.” 

Sebagian sejarawan juga berkata bahwa orang pertama yang berkhitan adalah Adam, beriringan dengan kemaksiatan yang dilakukannya (yakni memakan buah khuldi) dan sekaligus pertaubatannya. Mulai saat itulah khitan menjadi kesunnahan yang terus berlanjut dari generasi satu ke genarasi yang lain. 

Namun demikian, ada kemungkinan keturunannya meninggalkan kesunnahan ini. Kemudian diutuslah Nabi Ibrahim untuk menghidupkan kembali syariat khitan—selain untuk tujuan menjaga  kebersihan dan kesucian badan. (Abdussalam Syukri, Khitan adz-Dzakar wa Khifadh al-Untsa)

Dalam kitab Qasas al-Anbiya’, Abdul Wahab an-Najjar menjelaskan kisah yang lebih rinci dari sebelumnya. Akan tetapi kali ini bersumber dari kitab Injil Barnabas. Dijelaskan bahwa saat Adam bermaksiat kepada Tuhannya, ia bernadzar akan memotong bagian dari anggota tubuhnya jika taubatnya diterima Allah.

Saat taubat Nabi Adam diterima dan ia ingin melaksanakan nadzarnya—meski awalya bingung bagian mana yang akan dipotong—maka malaikat Jibril memberi petunjuk untuk memotong bagian dari kemaluannya. Singkat cerita, ketentuan ini (khitan) sempat ditinggalkan keturunan Nabi Adam sampai Allah mengutus Nabi Ibrahim untuk menghidupkan lagi syariat khitan.

Orang-orang Mesir kuno juga telah mengenal khitan. Para ahli memperkirakan bahwa ini terjadi di era Aminhotep I pada Abad ke-15 SM (Sebelum Masehi). Perkiraan ini dirasa masuk akal karena di era ini Nabi Ibrahim hidup dan sempat masuk ke wilayah Mesir. 

Pada abad-abad setelahnya, sejarawan Yunani kuno bernama Herodotos (hidup pada abad ke-5 SM) juga mengatakan bahwa khitan sudah menjadi perkara yang lumrah bagi orang-orang Mesir kuno. Bahkan ia meyakini bahwa pemikiran tentang khitan ini kemudian diambil dan ditiru oleh bangsa-bangsa lain. Begitulah keterangan dari Muhammad ‘Asyur, dalam al-Khitan fi as-Syarai’ as-Samawiyyah.

Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana penjelasan khitan dalam kitab Taurat. Di dalam taurat terdapat keterangan tentang bagaimana Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk berkhitan. Beliau juga memerintahkan khitan kepada keturunannya, para pemudanya, dan juga para budaknya.  Nabi Ibrahim juga diceritakan telah mengkhitan anaknya, Nabi Ishaq, saat masih berusia delapan hari. 

Bagi orang-orang Yahudi, mereka meyakini bahwa orang-orang yang mau berkhitan menduduki derajat atau nilai keagamaan yang tinggi (Qimatan Diniyyatan Kubra), yaitu sebuah ciri-ciri yang menjadikan mereka menjadi bangsa yang dikenal Tuhan. (Muhammad Ali Albar) 

Jamak diketahui bahwa Nabi Isa—sebagaimana anak-anak bani Israil—dikhitan di hari kedelapan dari umurnya.  Akan tetapi, kebiasaan ini (khitan) dirubah atau dihilangkan oleh otoritas keagamaan agama Masihiyah, mereka juga mengganti aturan larangan memakan babi menjadi diperbolehkan.

Di masa Jahiliyah, orang-orang Arab juga berkhitan. Mereka mengikuti apa yang telah dilakukan oleh nenek moyangnya, Ibrahim dan juga Ismail. Sebagian dari orang-orang Quraish juga berkhitan. Hal ini dikuatkan dengan sebuah riwayat berikut:

Saat Nabi Muhamad dan para sahabatnya mendapatkan kemenangan dalam Hunain melawan orang-orang Tsaqif, ada mayat yang terlihat kemaluannya dan ternyata tidak dikhitan. Salah satu sahabat Anshar pun berseru, “Allah tahu kalau orang-orang Tsaqif ini tidak sunat.”

 Mendengar ucapan ini Mughirah bin Syu’bah (berasal dari Tsaqif) langsung berdiri dan berkata, “Seperti itu juga Ayah dan Ibuku. Pemuda ini adalah orang nasrani.” Mughirah pun menuju ke mayat lain dan berkata ke pemuda Anshar tadi, “Kamu lihat kan mereka semua sunat?” Cerita ini menjadi salah satu bukti bahwa orang-orang Arab dan beberapa orang Quraish telah sunat.

Bahkan orang-orang Arab zaman dahulu bila sedang memaki orang lain mereka berujar, “Ya ibn al-Qulafa’!” Hai orang yang belum sunat!. Mereka juga menganggap bahwa lelaki yang belum sunat birahinya lebih besar, sehingga menyebabkan terjadinya perzinahan. (Muhammad Ali Albar, al-Khitan). Demikianlah rangkaian sejarah perintah berkhitan.

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini