Sedari kecil kita mengenal bahwa Bilal bin Rabah adalah seorang mantan budak yang memiliki suara merdu dan dipercaya Nabi menjadi muazin. Akan tetapi, penting juga diingat bahwa pemilihan Bilal oleh Nabi sebagai muazin bukan tanpa alasan.
Pemilihan Bilal sebagai muzin—dengan suara merdunya—mempunyai pesan bahwa hendaknya azan dikumandangakan oleh mereka yang memiliki suara yang merdu dan bagus, sehingga ajakan untuk shalat tidak malah mengganggu, akan tetapi mengundang simpati para pendengarnya.
Azan atau panggilan untuk sholat juga baru disyariatkan oleh Nabi saat beliau dan para sahabatnya sudah berada di Madinah, tepatnya setelah membangun masjid Nabawi. Jadi, sebelum beliau hijrah pada tahun keempat belas kenabian (622 M), tanda waktu shalat hanya diketahui melalui pergerakan dan pergeseran gerak matahari.
Kemudian, entah karena dirasa kurang maksimal dan efektif, dipikirkanlah bagaimana cara untuk menandai waktu shalat. Sebagian ada yang mengusulkan penggunaan terompet, ada juga yang mengusulkan menggunakan lonceng. Akan tetapi kedua usulan ini tidak diterima Nabi karena mempunyai kemiripan dengan agama Yahudi dan Nasrani.
Baca Juga: Pesan Agama Menyangkut Hoaks
Quraish Shihab menjelaskan dalam “Sirah Nabi Muhammad”, bahwa Abdullah bin Zaid bin Tsa’labah—melalui mimpinya—akhirnya membawa jawaban atas kebuntuan ini. Diriwayatkan bahwa ia menemui Nabi dan menceritakan bahwa dalam mimpinya ia bertemu seseorang yang menyampaikan penanda yang lebih baik daripada lonceng dan terompet. Nabi pun senang dengan usulan Tsa’labah dan merestuinya. Penanda inilah yang akhirnya kita kenal dengan nama azan.
Setelah Nabi wafat dan kepemimpinan dipegang sahabat Ustman bin Affan, metode azan mengalami perkembangan dan sedikit perubahan, khususnya di waktu shalat jumat. Di masa Nabi, ketika beliau selesai mengucapkan salam di mimbar, muazin cukup mengumandangkan azan satu kali sebagai tanda shalat jumat akan segera dimulai.
Akan tetapi, khalifah Ustman bin ‘Affan merasa bahwa di eranya azan tidak cukup hanya dilantunkan sekali saja, melainkan dua kali. Sekali di dalam dan sekali di luar. Alasannya adalah karena Madinah sudah menjadi kota yang semakin besar dan luas (Nurcholis Madjid, Pesan-Pesan Takwa).
Itulah kenapa kemudian di berbagai negara, bahkan di Indonesia terkadang ada yang mengumandangkan azan satu kali, namun ada juga yang mengumandangkan azan dua kali. Keduanya benar dan tidak ada yang salah.
Setelah Islam masuk ke Indonesia, para ulama berpikir bagaimana metode dakwah yang tepat dan efektif agar para jamaah muslim dapat mendengarkan seruan azan dengan jelas. Mereka berpikir bahwa suara azan saja tidak cukup karena kurang didengar penduduk yang rumahnya berjauhan dan dikelilingi pepohonan besar-besar. Ini berbeda dengan masyarakat Arab yang kebanyakan dipenuhi padang sahara sehingga lantunan adzan saja sudah terdengar.
Maka muncullah inisiatif berupa kentongan dan beduk sebagai instrumen tambahan untuk penanda shalat sebelum adzan dilantunkan muazin. Inilah bukti betapa para ulama’ Nusantara mampu melakukan kontekstualisasi di masa itu. Yaitu dengan meminjam tradisi penggunaan beduk dan kentongan dari Hindu-Budha. Satu sisi penggunaan kentongan dan beduk menjadi perajut harmoni antara Islam dan tradisi Hidu-Budha, di sisi lain kedua alat itu membantu para ulama untuk syiar Islam agar azan mudah didengar.
Dalam kaitannya dengan ini, Cak Nur pernah menulis dalam “Islam Agama Kemanusiaan”, bahwa sebelum orang Indonesia mampu membuat menara yang tinggi—dan sekarang menggunakan pengeras suara atau TOA.pen—sehingga suara azan dapat terdengar cukup jauh, panggilan kepada sembahyang dengan memukul bedug dan kentongan yang merupakan pinjaman dari budaya Hindu-Budha itu adalah yang paling mungkin.
Meskipun penggunaan bedug dan kentongan juga sempat mendapatkan penolakan khususnya oleh kelompok modernis di Indonesia, akan tetapi dalam perjalanannya waktu, persoalan instrumental ini bisa disikapi dengan dewasa. Bedug dan kentongan pun sekarang posisinya tergeser oleh pengeras suara. Meski di beberapa tempat, khususnya di masjid agung dan mushala kampung yang terkadang masih menggunakannya.
Baca Juga: Keutamaan Membaca Basmalah untuk Memulai Segala Sesuatu
Di negara mayoritas muslim, seruan azan–yang terkadang saling sahut menyahut dengan beragam nada—bisa mudah didengark karena terdapat banyak masjid dan musala. Akan tetapi, di negara minoritas muslim azan biasa dikumandangkan lebih lirih dan terkadang cukup di dalam bangunan masjid saja (Juan E. Campo, Encyclopedia of Islam).
Perkembangan adzan dan instrumen yang melengkapinya dari masa ke masa memang memiliki dinamikanya sendiri. Tidak hanya di masa Nabi, masa sahabat, terlebih di masa ulama kita saat pertama kali menyebarkan agama Islam. Semuanya mempunyai tujuan sebagai syiar Islam, dan syiar Islam juga harus menggunakan cara-cara yang membuat orang semakin tertarik dengan Islam.
Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id