Pesan Agama Menyangkut Hoaks

Hoaks atau berita bohong sudah seperti penyakit yang bisa menjangkit bahkan merobohkan peradaban bangsa manampun di dunia. Hoaks menjadi problem yang sudah seharusnya dilawan bersama. Terlebih, Hoaks atas nama agama. Ia adalah adalah isu yang sangat sensitif yang sering didengungkan oleh mereka yang tidak mencintai sebuah harmoni.

Survey Mastel yang dilakukan pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa masyarakat kita dewasa ini setidaknya menerima berita Hoaks lebih dari sekali setiap hari.

Hasil temuan Mastel juga menyebutkan bahwa Hoaks sangat banyak beredar di media sosial. Bahkan, terkadang media yang seharusnya menjadi acuan validitas sumber berita, terkadang juga terjebak dalam kubangan Hoaks.

Bagi masyarakat yang masih sedikit minat bacanya seperti Indonesia, Hoaks menjadi kian menemukan tempatnya. Informasi yang terus berdatangan menghampiri gawai—hampir di setiap menit—tak jarang membuat kita bingung untuk membedakan mana kebenaran yang seharusnya patut kita ikuti, dan mana yang seharusnya kita diamkan dan  kita buang.

Baca Juga: Keutamaan Membaca Basmalah untuk Memulai Segala Sesuatu

Sebagai bangsa yang religius, selayaknya kita kembali melihat bagaimana cara al-Qur’an dalam memberikan ancaman kepada penyebar berita bohong sekaligus memberi solusi agar tidak termakan Hoaks.

Salah satu ayat yang sering disitir perihal berita bohong adalah surat an-Nur [24]:11:

إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ لِكُلِّ ٱمْرِئٍ مِّنْهُم مَّا ٱكْتَسَبَ مِنَ ٱلْإِثْمِ وَٱلَّذِى تَوَلَّىٰ كِبْرَهُۥ مِنْهُمْ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”

Asbabun nuzul ayat di atas sebenarnya menjadi kabar gembira sekaligus peringatan Allah kepada Nabi Muhammad yang sempat terpengaruh ketika mendengar Hoaks yang ditujukan padanya istri tercintanya, ‘Aisyah.

Imam al-Qurtubi menuliskan dalam tafsirnya bahwa dari ayat ini terdapat riwayat dari Ummu Rumman yang mengatakan, “ketika ‘Aisyah dituduh berzina atau berselingkuh, ia jatuh pingsan dan kemudian sakit.” ‘Aisyah pun ketika itu agak kecewa dengan Nabi, karena saat melihat ‘Aisyah sedang sakit beliau tidak menanyakan apa-apa perihal kabarnya—disinyalir saat itu Nabi sudah mendengar berita Hoaks yang sedang menyebar, sedangkan ‘Aisyah belum mendengarnya.

Pertanyaan yang mungkin muncul di benak kita adalah, kenapa saat itu tidak ada upaya untuk menyelidiki kebenaran berita Hoaks ini? Hamka memberikan pandangan bahwa bisa jadi ini karena adanya provokasi yang sedemikian luas pengaruhnya sehingga membuat orang lupa untuk memastikan beritanya.

Bila dipikir lebih jauh, Nabi saja sempat terpengaruh dengan adanya berita bohong yang hanya disebarkan lewat mulut ke mulut oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di masa itu. Apalagi di masa sekarang ini, yang dengan mudahnya orang bisa ngeshare status, link berita, dan video yang hanya dengan sekali klik lalu langsung menyebar dan viral ke seluruh penjuru negeri.

Untuk mengatasi problem bersama ini, agaknya akan lebih baik jika kita melihat bagaimana pesan al-Qur’an agar kita tidak termakan berita Hoaks apalagi ikut menyebarkannya.

Setidaknya ada beberapa solusi dan tawaran al-Qur’an saat menghadapi Hoaks atau masih bingung menilai apakah suatu berita itu Hoaks atau tidak:

Pertama, saring terlebih dahulu setiap berita dan informasi—apapun itu—sebelum membagikannya (sharing) (Q.S Al-Hujurat[49]:6). Terlebih, jika seseorang yang menyampaikan berita itu memiliki track record yang tidak bagus. Ini tidak hanya bertujuan untuk memutus mata rantai Hoaks, akan tetapi sekaligus menghindarkan kita dari rasa penyesalan  dan dosa karena ikut menyebarkan kebohongan.

Kedua, jangan mudah mengeluarkan pendapat dan opini yang tidak disertasi data yang akurat, apalagi yang disertai caci maki bila kita tidak benar-benar mengerti dan menguasai hal tersebut (Q.S Isra[17]: 36).

Baca Juga: Memanfaatkan Momentum Bulan Rajab

Ketiga,  jauhilah prasangka (dzon), karena sebagian dari prasangka adalah dosa. (Q. S Al-Hujurat [49]: 12). Prasangka memang sumber dari celaka. Apalagi bila yang kita sangka adalah orang yang tidak kita suka. Kalau sudah tidak suka, biasanya seseorang mencari kesalahan orang yang tidak disukainya. Bahkan, bila pun orang itu dalam posisi benar, dimatanya akan selalu salah. Inilah yang termasuk dalam kecaman Nabi:

من تتبع عورة أخيه المسلم تتبع الله عورته حتى يفضحه  ولو في جوف بيته

“Siapa yang mencari-cari kejekan orang lain, maka Allah akan membuka aurat orang tersebut.”

Perlu diingat, meski yang disebut di sini hanya muslim, bukan berarti bila dengan saudara non-muslim kita diperbolehkan mencari-cari kesalannya.

Pada akhirnya, hidup di era medsos yang serba cepat dan menjunjung kebebasan tidak serta merta membuat kita bebas berbuat semaunya dan lupa akan batas-batas yang ditetapkan oleh agama. Mudah diucapkan, tapi sulit dipraktekkan, bukan?

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id