Apa Yang Dimaksud dengan Ibadah Mahdhah?

QNA

Menurut Muhammad al-Ghazâli, ibadah mahdhah adalah segala bentuk aktivitas yang cara, waktu, atau kadarnya telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya saw. Kita tidak mengetahui tentang ibadah ini kecuali melalui penjelasan Allah dalam al-Qur’an atau penjelasan Rasulullah saw. dalam Sunnah beliau. Manusia tidak dapat mengembangkannya. Karena itu dikenal kaidah yang menyatakan: “Dalam soal ibadah (mahdhah) segalanya tidak boleh, kecuali yang diajarkan Allah dan atau Rasul-Nya.”

Ibadah mahdhah sering berfungsi memperkenalkan suatu agama, karena ia tampak di permukaan, dipraktikkan dengan jelas oleh penganut agama sehingga menjadi tanda bagi agama dan keberagamaan seseorang.

Sebagaimana dikemukakan di atas, ibadah mahdhah merupakan amalan yang bersifat tawqîfî, yakni ditetapkan berdasarkan petunjuk Allah dan/atau Rasul-Nya, sehingga ia harus diterima dan dilaksanakan sebagaimana adanya. Oleh karena itu, asy-Syâthibi dalam bukunya al- Muwâfaqâ menegaskan, “Pada dasarnya dalam masalah ibadah, seorang mukalaf harus mengindahkannya tanpa meneliti makna dan sebabnya, sedangkan dalam hal mu’amalah pada dasarnya adalah meneliti maksud tujuannya.”

Apa yang dikemukakan asy-Syâthibi di atas adalah logis, karena keberatan tentang bentuk, kadar, cara, dan waktu suatu ibadah, dengan maksud mengubahnya dengan yang lain, tidak menghalangi adanya keberatan baru jika keberatan pertama diterima. Misalnya mengenai puasa, mengapa harus sebulan penuh, tidak tiga minggu saja, atau mengapa yang terlarang hanya makan, minum, dan hubungan seks, dan mengapa hanya sampai terbenamnya matahari, bukan setengah hari saja?

Bila keberatan-keberatan ini dipenuhi, tidak tertutup pintu bagi lahirnya keberatan-keberatan baru baik dari pengusul awal apalagi dari orang lain. Karena itu peranan akal dalam masalah ibadah mahdhah sangat terbatas—kalau enggan mengatakan nihil. “Seandainya agama (ibadah mahdhah) berdasarkan nalar manusia, maka bagian bawah dari alas kaki lebih wajar dibersihkan daripada bagian atasnya,” begitu ucap Sayyidina ‘Ali ra. ketika menjelaskan disyariatkannya membasuh sepatu sebagai ganti membasuh kaki dalam berwudhu untuk kondisi tertentu.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal serupa banyak ditemukan. Ambil contoh warna merah dan putih yang menjadi pilihan bagi bendera nasional Indonesia. Tentu ada sebab dan latar belakang yang menjadikan warna itu dalam bentuk tertentu yang menjadi pilihan, sebagaimana ada juga sebab-sebab bagi dipilihnya kedua warna itu dalam bentuk terbalik oleh negara Polandia.

Bahkan Monaco yang memilih benderanya sama dengan bendera Indonesia, boleh jadi memunyai sebab-sebab pemilihan yang berbeda dengan kita, namun pertanyaan menyangkut hal ini, apalagi keberatan, bukan pada tempatnya. Jawaban yang paling tepat adalah, “Itulah pilihan leluhur yang sebaiknya kita terima!” Di sini persoalan bendera telah menjadi semacam tawqîfî dalam bahasa agama.

Di dalam masalah ibadah mahdhah inilah tampak jelas manfaat wahyu dan kebutuhan manusia kepada bimbingan-Nya, yakni dalam hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh nalar manusia. Sebab, seandainya ia terjangkau oleh nalar, maka—seperti ditulis oleh filosof al-Farabi— “lebih wajar bila ia diserahkan saja kepada akal manusia. Namun kenyataannya tidak demikian.

Kehadiran wahyu melalui para nabi membuktikan bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh daya nalar manusia”. Jika demikian, maka pemberitaan wahyu dalam hal ibadah mahdhah atau peristiwa-peristiwa hari kemudian dan semacamnya, harus diterima sebagaimana adanya. Dalam hal ini tidak relevan lagi kata-kata semacam mengapa, bagaimana seandainya, dan lain-lain.

Namun demikian, ini bukan lantas berarti tidak ada filsafat ibadah atau hikmah dan ‘illat-nya. Tidak juga berarti ada larangan membahasnya. Tidak! Kita boleh membahasnya. Bila hasil bahasan itu memuaskan nalar, maka harus disyukuri karena itulah yang menjadi tumpuan harapan. Bila belum memuaskan, kita berusaha terus merenungkannya dan tetap melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya sesuai cara-cara yang ditetapkan agama, sambil berkata sami‘nâ wa atha‘nâ

M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui (Tangerang Selatan: Penerbit Lentera Hati, 2010)