Sebagai panutan umatnya, Nabi Muhammad tentu disiapkan Allah menjadi pribadi yang sempurna. Beliau memang minum, makan, tidur, istirahat, dan bergurau layaknya kita sebagai manusia biasa. Akan tetapi, ada batasan yang ditetapkan Allah kepada beliau, namun tidak kepada kita sebagai umatnya.
Batasan itu adalah batasan akhlak. Beliau boleh saja kecewa dengan suatu hal atau kepada seseorang, akan tetapi karena batasan-batasan yang ditetapkan Allah kepada Nabi sangat tinggi, tak jarang apa yang menurut kita sebagai perilaku yang lumrah, itu tidak pada Nabi.
Di sini jelas bahwa Allah mencoba memuliakan Nabi dengan kemuliaan setinggi-tingginya. Beliau sebagai uswatun hasanah (panutan yang baik), tidak sama seperti kita. Standar akhlak yang tinggi itulah yang membuat Nabi beberapa kali ditegur Allah Swt.
Baca Juga: Tiada Seorang Pun Yang Tahu Di Bumi Mana Dia Akan Mati
Lalu bagaimana teguran-teguran Allah kepada Nabi? Apakah ini murni demi menjaga kemuliaan akhlak beliau atau memang ada kesalahan Nabi yang juga melebihi batas sebagaimana manusia biasa? Berikut ini adalah teguran-teguran Allah kepada beliau.
Pertama, kemarahan Nabi di perang Uhud. Peristiwa kekalahan Nabi di medan perang Uhud memang bagian dari skenario Allah kepada umat Islam yang sempat terlena dengan godaan harta rampasan perang, lebih-lebih tidak menghiraukan pesan dan perintah Nabi Muhammad.
Namun, perang Uhud juga membawa luka menganga dalam hati Nabi karena Singa Allah, Sayyidina Hamzah, paman Nabi yang dikenal sebagai salah satu pejuang agama Islam paling gigih dan ditakuti musuh terenggut jiwanya dengan cara yang tidak manusiawi, yakni dimutilasi.
Dalam berbagai riwayat Sirah Nabawiyah, diceritakan bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan, melepaskan dendamnya kepada Sayyidina Hamzah dengan mengambil dan mengunyah hati beliau. Tidak cukup sampai di situ, Abu Sufyan juga sempat memukul-mukul dengan tombak sisi dalam pipi Sayyidina Hamzah.
Nasib para syuhada lain juga sama menyedihkannya dengan Sayyidina Hamzah, rahimahumullah ajma’in. Karena itulah, terdapat riwayat yang menyatakan bahwa saking marahnya Nabi melihat situasi yang mencekam itu, beliau kemudian berucap di hadapan jasad Sayyidina Hamzah:
“Demi Allah, kalau aku berhasil mengalahkan mereka, Aku akan membalas keguguranmu dengan menewaskan tujuh puluh orang di antara mereka.” Sebagian sahabat menambahkan: “Kita akan melakukan lebih daripada apa yang mereka lakukan. (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).”
Bagi yang menganggap riwayat di atas sahih melanjutkan bahwa kemudian Allah menegur Nabi melalui surat an-Nahl [16]:126. (Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad). Konon Nabi juga memohon agar Allah mengutuk mereka. Ucapan beliau ini pun ditegur Allah dengan keras melalui surat Ali Imran [3]:128:
Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.
Memang tidak mustahil ada keinginan hati untuk melakukan pembalasan, itu manusiawi. Akan tetapi, karena berhubung beliau adalah manusia paling mulia akhlaknya, maka hal demikian dianggap kurang elok oleh Allah.
Kedua, Saat Nabi bermuka masam. Dalam Mukjizat al-Qur’an, Quraish Shihab menjelaskan bahwa suatu ketika Nabi sedang menjelaskan agama Islam kepada pemuka Quraish. Di tengah-tengah perbincangan tiba-tiba masuk seorang buta, yakni Abdullah bin Ummi Maktum sambil bersuara keras, “Muhammad, Muhammad, ajarkan aku sebagian yang diajarkan Tuhanmu.”
Karena merasa terganggu dan dianggap tidak sopan, akhirnya muka Nabi menjadi kusut dan tidak menghiraukan Abdullah bin Ummi Maktum. Namun sikap ini kemudian dinilai Allah tidak wajar dilakukan oleh seorang Nabi. Lalu turunlah surat ‘Abasa [80]:1-12. Padahal bila dilihat menggunakan kacamata manusia biasa, justru Abdullah lah yang kurang sopan karena nyelonong masuk dan memotong pembicaraan Nabi.
Ketiga, Sikap terhadap tawanan perang Badar. Setelah kemenangan Badar yang di luar nalar itu, Nabi meminta saran kepada para sahabatnya tentang nasib para tawanan perang. Mau “diapakan” mereka ini?
‘Umar memberi saran untuk membunuh mereka. Sedangkan Abu Bakar yang terkenal memiliki hati lembut menyarankan Nabi untuk memaafkan dan membebaskan mereka dengan tebusan. Nabi pun memilih saran dari Abu Bakar. Namun, apakah ini sesuai yang dikendaki Allah? Ternyata tidak.
Surat al-Anfal [8]: 67-69 diturunkan untuk menegur beliau:
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Baca Juga: Diangkatnya Nabi Isa dan Persoalan Beda Keyakinan
Itulah beberapa teguran Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai manusia mulia, akhlak Nabi juga “diwajibkan” Allah menjadi mulia. Bukan tanpa alasan, semua ini agar umatnya bisa meniru semaksimal mungkin kesempurnaan akhlak Rasulullah.
Kita memang tidak akan mampu menyandingi derajat akhlak Nabi, akan tetapi kita wajib berusaha mengikuti beliau. Kemuliaan akhlak Rasul ini juga diharapkan hadir dalam diri pewaris beliau, yaitu para ulama. Karena itu, saat seseorang diamanahi umat menjadi seorang ulama, saat itu juga ia “diwajibkan” memiliki akhlak lebih tinggi daripada orang banyak (awam).
Di sisi lain, teguran Allah kepada Nabi juga sekaligus menjadi bukti kemukjizatan al-Qur’an, bahwa beliau bukanlah orang yang menyusun al-Qur’an—sebagaimana tuduhan sebagian orientalis. Karena akan sangat aneh bila seorang penyusun mengkritik susunan karyanya sendiri.
Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id