“Tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Luqman [31]: 34).
Andaikata kita dapat melihat apa yang dilihat oleh yang telah direnggut nyawanya oleh maut, pasti sikap dan keadaan kita bukan seperti sekarang. Andaikata kita dapat melihatnya, maka tidak ada kata-kata yang kita ketahui yang mampu melukiskannya dengan sempurna.
Tetapi yakinlah bahwa dalam waktu dekat, tabir maut akan terbuka sehingga masing-masing kita pun melihatnya. “Sebenarnya,” kata Sayyidina Ali, “Kepada Anda telah diperlihatkan, kalau memang Anda mau melihat, kepada Anda telah diperdengarkan, kalau memang Anda mau mendengar, Anda pun telah diberi petunjuk, hanya Anda enggan memanfaatkan petunjuk itu.”
Maut adalah keniscayaan,
“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh” (QS. an-Nisa [4]: 78).
Dia akan datang kepada kita, kendati kita berusaha lari menghindar darinya:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Jumuah [62]: 8).
Keyakinan tentang hadirnya maut yang meresap di lubuk hati yang terdalam serta gambarannya yang tampil dari saat ke saat di pelupuk mata, itulah salah satu jaminan kewaspadaan serta peningkatan amal-amal kebajikan. Itulah yang mendorong seseorang mempersiapkan bekal hidup sesudah mati. Bahkan seperti ditulis Will Durrant 91885-1981 M), filsuf dan sejarawan Amerika: “Maut adalah sumber semua agama .. boleh jadi kalau maut tidak ada, maka kepercayaan kepada Tuhan pun tidak akan ada.”
Karena itu pula Rasul saw menganjurkan untuk selalu mengingat maut dan menganjurkan untuk menziarahi kubur. Bukan untuk meminta kepada yang dikubur, tetapi guna mengingatkan bahwa suatu ketika peziarah pun akan berada di tempat yang sama dan semoga diziarahi pula.
Menghadapi kematian, ada orang-orang yang berkabung sebelum maut datang mengunjunginya, tetapi yang sadar bahwa kematian adalah jalan menuju ke kehidupan abadi yang tenang dan membahagiakan, akan memandangnya sebagai seuatu resiko yang harus dilalui demi kehidupan abadi itu. Dengan demikian, aneka beban hidup yang dialaminya akan diterima dengan lapang dada.
M. Quraish Shihab dalam buku Kematian Adalah Nikmat (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2018), 76 – 78.