Saling memaafkan pada hari raya Idul Fitri mengandung makna mendalam di balik tradisi halal bihalal yang berkembang di Indonesia. Selain menjadi media meleburkan dosa kesalahan sesama manusia, tradisi tersebut juga mengandung pesan tersirat wujud kebersamaan dan perdamaian. Karena hanya berlaku di Indonesia, halal bihalal juga dikaitkan dengan puncak hari Idul Fitri sebagai upaya mewujudkan keharmonisan bersama.
Merayakan Idul Fitri di Indonesia dikatakan berbeda dengan negara-negara Islam lainnya di manapun. Karena di antaranya terdapat tradisi berjabat tangan secara massal setelah shalat Idul Fitri sebagai ungkapan saling memaafkan (Husna, 2019: 49). Pada hari-hari selanjutnya, rangkaian acara halal bihalal juga mentradisi seakan wajib tidak terlewatkan di dalam komunitas masyarakat.
Dipandang dari aspek tuntunan Islam, saling memaafkan itu sebenarnya tidak terikat waktu. Tidak harus menunggu selesai Ramadan dan merayakan Idul Fitri kemudian berduyun-duyun saling memohon maaf. Apabila berbuat salah kepada orang lain, kapan saja harus segera meminta maaf kepadanya. Bahkan, Allah sangat menganjurkan seseorang untuk memberikan maafnya. Namun, dalam konteks Idul Fitri di Indonesia bermaaf-maafan kerapkali dibiasakan dalam forum silaturahim dengan nuansa halal bihalal.
Tradisi Halal Bihalal dan Anjuran Memaafkan
Seperti dikutip dari Quraish Shihab bahwa istilah halal bihalal dapat dilihat dari beberapa tinjauan. Pada tinjauan hukum, halal merupakan lawan dari haram. Jika haram adalah yang dilarang dan melahirkan dosa, maka halal adalah kebalikannya yang tidak mengundang dosa. Namun, dalam hukum juga ada sesuatu yang halal tapi dibenci atau makruh menurut Allah yaitu thalaq. Sehingga, sebaiknya kata halal tidak dipahami dalam segi hukum yang disebut belum menyentuh tujuan mengharmoniskan hubungan (Shihab, 2009: 497).
Penjelasan di atas mengandung kesan bahwa sesuatu yang halal dalam perspektif hukum masih memuat hal lain yang mungkin tidak disukai. Padahal setiap orang pasti menginginkan terlepas dari dosa dengan penuh kerelaan orang yang bersangkutan memaafkan tanpa menyisakan dendam. Namun, bila pemaafan itu masih menyisakan rasa benci sama halnya dosa kesalahan tidak sepenuhnya terhapus. Akibatnya keharmonisan gagal terwujud sebab masih ada hal mengganjal dalam hati berupa dendam atau prasangka.
Sedangkan dalam tinjauan linguistik atau bahasa, kata halal terbentuk dari kata yang memiliki varian makna. Muncul dari kata halla atau halala, yang antara lain berarti menyelesaikan masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, dan melepaskan ikatan yang membelenggu (Shihab, 2009: 498). Masih menurut Quraish Shihab bahwa ada empat ayat yang menggunakan kata halal bergandengan dengan kata thayyib. Semuanya dalam konteks perintah makan (kulū) yang sering diartikan dengan melakukan aktivitas apapun (Shihab, 2007: 242).
Paling tidak, makna yang terbentuk dari tinjauan di atas mengantarkan kita pada pemahaman maknanya yang mendekati. Dalam interaksi sosial, kita harus mengutamakan tidak sekadar sesuatu yang halal, tetapi juga thayyib (baik). Dengan demikian, istilah halal bihalal dalam konteks Idul Fitri, mengandung arti upaya bersikap untuk menghapus dosa terhadap pihak lain berupa permohonan maaf yang berlanjut dengan kebaikan-kebaikan.
Sebagai manusia biasa, tentu tidak dapat luput dari dosa dan kesalahan. Pasti pernah sesekali mengalami perlakuan jahat dari teman sendiri atau mereka yang tidak suka terhadap kita. Allah membolehkan membalas kejahatan dengan pembalasan setimpal (adil). Namun, dianjurkan untuk memaafkan karena jauh lebih mulia (Qs. al-Syura [42]: 40). Sejalin dengan hal tersebut, dianjurkan bersabar jika tidak punya kuasa membalasnya (Qs. al-Nahl [16]: 129).
Secara bahasa, maaf berarti menghapus. Memaafkan berarti menghapuskan bekas-bekas luka di hati. Itu karena dia menyadari bila membalas dengan cara kurang tepat hanya melanggengkan permusuhan dan memuaskan nafsu. Padahal, dengan memaafkan sebenarnya seseorang tengah berupaya menyingkirkan ganjalan dalam hati agar tidak menghalangi aktivitas positif lainnya (Shihab, 2016: 202).
Memberi maaf menjadi salah satu dari tiga tingkatan langkah dalam menyembuhkan hati seseorang yang pernah dilukai. Seperti tersurat dalam Qs. Ali Imran [3]: 134, Allah memberikan tuntunan kepada kita untuk menahan amarah, memberi maaf, dan berbuat baik terhadap yang bersalah. Sebelum memberikan maaf, kita perlu menyadari bahwa andai saja amarah itu diluapkan tetap saja tidak menyelesaikan masalah.
Justru dengan menahannya akan menghapuskan rasa dendam, dan memaafkan akan melahirkan budi yang baik di dunia. Dan bila kesabaran menjadi puncaknya akan mendatangkan ganjaran sangat besar di akhirat. Hal ini seperti dalam hadis bahwa: “…dan tidaklah Allah menambah bagi seseorang yang memberi maaf kepada orang lain kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat)…” HR. Muslim
Dengan demikian, upaya memohon dan lebih-lebih memberikan maaf pada momen halal bihalal mengandung esensi penting dalam harmonisasi hubungan sesama manusia. Layaknya menyempurnakan ibadah puasa ramadan, halal bihalal menggenapi ikhtiar meleburkan dosa terhadap sesama. Jika ibadah selama ramadan mengantarkan kita pada pengampunan dosa dari Allah, maka pemaafan dari sesama melengkapi predikat kembali kepada fitrah menjadi sempurna. Wallahu A’lam
Abdul Fattah, S.Ud., M.Ag., Ustadz di Cari Ustadz
Tertarik mengundang ustadz Abdul Fattah, S.Ud., M.Ag.? Silahkan klik disini