Tafsir Surat al-Hujurat: Penyakit Sosial dan Solusinya

Nama menunjukkan karakter pemiliknya. Ungkapan ahli bahasa yang tepat untuk diaplikasikan terhadap surat-surat dalam Al-Qur’an. Tidak jarang kita mendengar lebih dari satu nama untuk satu surat. Aneka nama untuk satu surat berikut kaitannya dengan kandungan surat tersebut bisa kita temukan misalnya pada bagian akhir dari Al-Qur’an dan Maknanya karya al-Habib Muhammad Quraish Shihab. Aneka nama yang diperkenalkan Nabi ini membawa pesan yang patut untuk dijadikan sebagai bahan renungan tersendiri.

Selayang pandang Surat al-Hujurat

Surat al-Hujurat disepakati sebagai surat Madaniyah. Kendati di dalamnya ada ayat yā ayyuhā an-nās yang menjadi salah satu ciri surat Makkiyyah. Dari sisi turunnya, surat ke-49 dalam mushaf ini merupakan surat ke-108. Ia turun setelah Surat al-Mujadalah dan sebelum Surat at-Tahrim (Tafsir al-Mishbah). Ulama Al-Qur’an – sebagaimana tutur Imam Abu ‘Amr ad-Dani – sepakat bahwa surat ini terdiri dari 18 ayat tanpa ada perbedaan ilah ayat-ayatnya. Surat ini dirangkai oleh 343 kata dan 1476 huruf (al-Bayān fī ‘Add Āy al-Qur’ān). 

Dari sisi bahasa, al-Hujurat berarti kamar-kamar. Sebuah ruangan dalam rumah yang digunakan sebagai tempat privasi seseorang dan juga menjaga barang berharga milik keluarga. Seakan makna kata ini mengesankan adanya hal penting dan privasi yang perlu diperhatikan, baik oleh pemiliknya dalam menjaga ataupun orang lain dalam menghormatinya. Menuurut Al-Habib, surat ini berkaitan dengan sekian banyak persoalan tata krama yang juga menjadi sebab turunnya surat ini. Tata krama terhadap Allah, Rasul-Nya, etika terhadap orang muslim yang taat dan durhaka, serta sesama manusia. Lima sasaran tata krama ini diwakili oleh lima ayat yang diawali dengan yā ayyuhā al-lażīna āmanū (Tafsir al-Mishbah).

Pesan dan Kesan Surat al-Hujurat

Hal menarik yang bisa kita temukan dalam surat ini adalah Allah memberitahu aneka bentuk penyakit, akar masalah, berikut solusinya. Secara jelas, ia menyinggung aneka penyakit yang mudah ditemukan dalam masyarakat tersebut. Di sisi lain, ia – secara tersirat – juga menjelaskan akar masalahnya. Pun, ia – secara tersurat – menawarkan solusinya. Sungguh kandungan yang menggambarkan betapa penamaan surat ini sangatlah tepat. Tiga hal ini bermuara pada pribadi dan rahasia seseorang yang harus dijaga dengan baik di dalam ruang tertutupnya serta harus dihormati dan dihargai orang lain.

Penyakit sosial dalam masyarakat

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, surat ini berisi tata krama yang harus diperhatikan dalam kehidupan ini. Islam datang untuk memperkenalkan akhlak mulia sehingga tercipta kedamaian di alam raya. Akhlak tersebut – dalam konteks surat ini – berupa tata krama, baik dalam bertutur maupun bertindak. Ia menyinggung aneka penyakit masyarakat yang mudah dijumpai; kebiasaan meninggikan nada bicara (ayat kedua), memanggil lawan bicara tanpa adanya tatap muka (ayat keempat). Menebar hoaks (ayat keenam), mengadu domba (ayat kesembilan), merendahkan orang lain, mencela, dan memanggil dengan gelar yang buruk (ayat kesebelas), gemar mencari kesalahan dan menggunjing (ayat kedua belas), serta merasa paling beriman dan bertakwa (ayat ketiga belas dan empat belas). Aneka kesalahan ini bersinggungan kuat dengan tata krama lisan dalam bertutur.

Lisan merupakan salah satu alat komunikasi yang paling mudah dan paling banyak digunakan. Tidak sedikit pertikaian dan fitnah lain terjadi sebab ucapan (ayat keenam). Dari sini, ada kalam hikmah yang berbunyi salāmat al-insān fī if al-lisān (keselamatan seseorang tergantung lisannya). Keselamatan dan kedamaian suatu masyarakat tergantung pada anggotanya dalam menjaga – salah satunya – lisan mereka. Kalam hikmah ini senada dengan hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Sahabat Abdullah bin Amr. “Orang muslim sejati adalah dia yang orang Islam lainnya merasa aman dari lisan dan tangannya.” Imam an-Nawawi dalam kitab Arba’in-nya juga menukil hadis yang senada. Nabi bersabda ”Orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya berkata yang baik atau diam.

Pemicu munculnya penyakit sosial 

Aneka penyakit tadi berawal dari prasangka buruk seseorang terhadap saudaranya, mudah tersinggung, kebiasaan mencari kesalahan, dan didukung keengganan ber-tabayyun terhadap informasi seputar saudaranya yang masuk kepadanya. Nada tinggi yang terucap bisa menyinggung perasaan lawan bicara. Dari sini – jika tidak ada kesadaran yang lebih pada diri lawan bicara itu – akan muncul prasangka buruk, rasa saling tidak menghormati, dan saling mendiamkan dalam jangka waktu yang lama. Tidak jarang hal ini diwarnai dengan pertikaian lisan dan bahkan berujung pada pertikaian fisik. Bukankah salah satu kasus masyarakat yang disebutkan dalam surat ini adalah peperangan yang terjadi antara dua kelompok? Ini bukti betapa besar pengaruh lisan dalam kehidupan ini.

Solusi yang ditawarkan Surat al-Hujurat

Allah – melalui surat ini – menawarkan aneka solusi untuk berbagai penyakit tersebut. Pertama, menghormati lawan bicara yang salah satunya dengan merendahkan nada berbicara. Solusi yang bisa ditemukan pada ayat kedua ini bisa menghindarkan seseorang dari merendahkan orang lain sehingga mampu menjaga lisannya. Kedua, ber-tabayyun terhadap informasi penting yang masuk sehingga tidak gegabah dan salah langkah dalam mengambil tindakan (ayat keenam). Hal ini mampu memperkecil api pertikaian dan menghindarkan seseorang dari permusuhan yang tidak direstui agama. Ia juga mengajarkan untuk tidak mudah menebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. 

Ketiga, memiliki jiwa pemersatu, tegas dan berani mengambil resiko (ayat kesembilan). Bahkan terhadap pertikaian yang tidak melibatkan dirinya sekalipun, sikap ini harus ada. Keempat, berprasangka baik kepada siapapun (ayat kedua belas) bisa membuat seseorang selamat dari api permusuhan yang dipercikkan. Dengannya, ia menemukan sisi baik dan positif pada orang lain. Sesuatu yang menciptakan komunikasi sehat dimanapun dan kapanpun. Kelima, gemar menutupi kejelekan orang lain (ayat kedua belas) mampu membendung dan menolak terjadinya banjir bandang yang lebih besar. Melalui sifat ini, pemiliknya telah menjaga nama baik dan kehormatan saudaranya di hadapan orang lain. Hanya saja sikap yang satu ini harus diimbangi dengan memberikan nasihat kepada yang bersangkutan.

Keenam, mengenal satu sama lain (ayat ketiga belas) yang menjadi pijakan dari aneka solusi tadi. Dengan yang terakhir ini, seseorang akan bisa dengan mudah memaklumni sikap lawan bicaranya yang bernada tinggi, pandai menyampaikan bahaya hoaks kepada pihak lain dengan berbagai karakternya, mengetahui titik efektif lawan bicara sebagai pintu masuk untuk memperbaiki hubungan, berusaha melihat sisi positif seseorang karena aneka kebaikan yang dimilikinya, faham dampak buruk dari mengumbar kejelekan saudaranya. Hal ini sangat wajar mengingat beratnya materi perkenalan yang digariskan ayat ini; perkenalan jenis kelamin, suku, dan bangsa. wallāhu a’lam …

Syafi’ul Huda, S.Pd.I.,M.Ag., Ustadz di cariustadz.id

Tertarik mengundang Syafi’ul Huda, S.Pd.I.,M.Ag.? Silakan Klik disini