Dahulu, sebagian muslimin menjadi murtad karena tidak percaya dengan peristiwa Isra Miraj (621 M)—kurang lebih setahun sebelum Nabi hijrah. Sebuah peristiwa yang tidak masuk di akal. Tetapi, bagi Abu Bakar, fenomena Isra Miraj malah semakin membuat imannya mengakar kuat di lubuk hatinya. Itulah sebabnya kenapa ia dijuluki as-Siddiq (truthful), sang pembenar.
Islam memang tidak bisa didekati dengan logika dan ilmu pengetahuan saja. Akan tetapi, ia juga harus didekati dengan iman atau keyakinan. Ini tidak berarti Islam anti dengan logika dan sains. Justru sebaliknya, Islam sangat mengunggulkannya. Namun, dengan catatan, ilmu dan logika kita ada batasnya.
Kata Allah dalam surat al-Isra’ (17): 85: وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلً Dan manusia tidak diberi ilmu kecuali sedikit. Keinsafan atas keterbatasan ilmu juga dirasakan Immanuel Kant, filsuf kenamaan Barat abad 18. Dalam akhir penyelidikan ilmiyahnya, ia mengakui bahwa dirinya harus menyediakan ruang percaya bagi hati (Quraish Shihab, Lentera Hati). Hati memang menjadi ruang bagi kepercayaan agar ia bisa tumbuh subur saat akal tak mampu diajak bertadabbur.
Baca Juga: Shalat Sunnah Nabi Ketika Isra Miraj
Keyakinan juga berkaitan erat dengan seseorang yang menyampaikan berita. Bagi Nabi Muhammad saw. label al-Amin, (yang terpercaya) adalah bentuk lisensi dari masyarakat Arab jauh-jauh hari atas kebenaran berita yang selalu ia bawa. Namun, kebanyakan mata hati mereka dibutakan oleh kebencian dan kedengkian.
Peristiwa Isra Miraj juga tidak mudah diterima oleh kaum muslim yang imannya masih lemah, apalagi bagi kaum musyrikin. Terlebih, konon katanya, Nabi melakukan perjalanannya dengan jarak sekitar sebulan—di masa itu—dan hanya ditempuh di waktu malam yang singkat.
Bagi yang beriman, mereka tidak heran karena dalam peristiwa Isra Miraj, Nabi tidak berjalan sendirian, akan tetapi ia ditemani Buraq, Malaikat Jibril, dan tentu semua itu melalui kehendak Allah untuk memperjalankannya. Karena itu, bunyi ayatnya adalah:
Mahasuci Allah yang mengisra’kan hamba-Nya.
Ayat di atas memang mengisahkan perjalanan Isra Nabi saja. Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan peristiwa Mirajnya Nabi sampai ke Sidratul Muntaha dan berjumpa Rabb-nya?
Dalam hal ini, jumhur mufasir, ulama, dan cendekiawan muslim berpegang pada surat an-Najm (53): 5-18, namun ada juga segelintir ulama’ yang tidak menerima beberapa ayat ini sebagai dalil atas peristiwa Mi’raj Nabi.
Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar cenderung sependapat dengan pandangan bahwa ayat 11-17 dalam surat surat an-Najm adalah bukti bahwa Nabi benar-benar sampai menuju Sidratul Muntaha, suatu tempat yang lebih tinggi dari langit.
Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang dilihatnya itu? Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
Di Sidratul Muntaha itulah perjalanan Mi’raj berhenti, dan di sanalah Nabi menunggu wahyu yang diperintahkan Allah kepadanya dan umatnya, yakni perintah shalat. Sebuah kewajiban yang awalnya berjumlah 50 kali sehari, namun pada akhirnya diberi diskon Allah berkali-kali lipat sampai akhirnya tinggal lima kali sehari.
Baca Juga: Meneladani Rasulullah yang Malu Kepada Allah Swt
Walaupun pada hakikatnya ini skenario Allah, namun kita harus berterimakasih kepada upaya Nabi Musa yang telah memberi saran-sarannya kepada Nabi Muhammad sampai kemudian perintah shalat tidak memberatkan kita. Terlebih, kita perlu mengakui bahwa perintah yang hanya lima kali sehari itu sering kita abaikan. Padahal, ini adalah oleh-oleh yang diterima Nabi Muhammad dari Allah. Bukankah seharusnya setiap hadiah selalu membuat kita bahagia dan sumringah?
Memang terdapat perbedaan penafsiran menyangkut bagaimana cara Nabi Isra Miraj. Apakah tubuh dan nyawakah? Atau roh saja yang menyerupai pengalaman mimpi, akan tetapi bukan mimpi biasa? Akan tetapi, tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’ tentang perintah shalat yang diwajibkan semenjak peristiwa itu terjadi.
Bagi kita, sebagai orang awam, akan sangat kurang etis bila masih mempertanyakan bagaimana Nabi melakukan Isra Miraj tetapi lupa mempertanyakan pada diri sendiri sudah sejauh mana kualitas shalat kita? Lebih jauh, sejauh mana kita mempu me-mirajkan diri saat melaksanakan shalat dan mampu mengingat Tuhan?
Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id