Semakin dekat tahun baru, maka semakin terasa pula suasana hangat pemilu 2024, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Suasana hangat ini dapat dilihat dari intensitas persaingan di antara para pasangan calon presiden dan wakil presiden. Persaingan ini juga terlihat di kalangan pendukung masing-masing calon yang semakin giat menebarkan kampanye.
Hal yang patut menjadi perhatian di tengah persaingan intensif tersebut adalah friksi di antara pendukung masing-masing calon. Jika ini tidak ditangani dengan baik-proporsional, maka tidak mustahil akan terjadi kekacauan dan permusuhan di antara masyarakat akibat perbedaan pendapat. Fenomena semacam itu pernah terjadi pada pemilu tahun 2019.
Akibat kontestasi tidak sehat segelintir orang pada pemilu tahun 2019, terjadi disintegrasi di sebagian kalangan masyarakat Indonesia. Diketahui bahwa mereka terkotak-kotak menjadi dua kelompok politik yang disebut “cebong” dan “Kampret”. Disintegrasi ini disebut tidak hanya terjadi pada tahun 2019, melainkan juga beberapa tahun setelahnya.
Oleh karena itu, kita sebagaimana masyarakat Indonesia harus menyadari potensi laten persaingan dalam kontestasi pemilu 2024 yang mungkin berujung pada kekacauan dan permusuhan. Dengan kesadaran tersebut, kita dapat mengambil langkah-langkah taktis secara responsif dalam menjaga keamanan, perdamaian, dan keutuhan bangsa Indonesia.
Dalam konteks ini, kita harus mengedepankan sikap moderat, yakni selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem; berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Dengan kata lain, sikap moderat adalah sikap yang tidak ekstrem ke salah satu sisi, baik kiri maupun kanan. Sikap moderat dilambangkan sebagai sikap yang mendekati keadilan.
Sikap moderat adalah salah satu inti ajaran Islam. Sebagai contoh, jika seorang muslim ingin bersedekah, maka ia tidak boleh berlebihan dan tidak boleh pula kikir. Yang semestinya ia lakukan ada di pertengahan antara keduanya, yakni bersedekah secara proporsional. Orang-orang yang bersedekah secara proporsional ini disebut sebagai dermawan (al-sakha).
Sikap moderat tidak hanya ditunjukkan dalam hal ibadah, melainkan juga dalam ranah sosial. Seseorang tidak boleh membeda-bedakan perlakuan terhadap satu orang dengan orang yang lain, karena pada hakikatnya semua manusia sama terlepas dari latar belakangnya. Yang berhak untuk menilai manusia hanya Allah Swt. sebagai Tuhan semesta Alam.
Ragam sikap moderat telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, baik dalam ibadah maupun relasi sosial di antara manusia. Misalnya, beliau pernah bersabda, “Cintailah idolamu sewajarnya, karena boleh jadi suatu hari ia akan menjadi orang yang engkau benci. Dan bencilah orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi kelak ia akan menjadi orang yang engkau cintai.” (HR Tirmidzi).
Perkataan baginda tersebut mengisyaratkan untuk bersikap moderat dalam mencintai atau membenci seseorang. Artinya, seyogyanya seseorang mencintai atau membenci seseorang sewajarnya. Sikap moderat tersebut hendaknya diimplementasikan pula dalam berbagai aspek kehidupan kita, termasuk pada pemilu 2024 yang akan datang.
Kita harus menyadari bahwa – meskipun serupa – pada dasarnya manusia berbeda-beda dan perbedaan itu merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Perbedaan ini meliputi berbagai aspek kehidupan, mulai dari ras, bangsa, golongan, warna kulit, bahasa hingga agama. Perbedaan tersebut adalah sunatulah atas manusia dan makhluk lainnya.
Dengan demikian, bisa dikatakan perbedaan adalah suatu yang alami ada pada manusia, termasuk perbedaan pendapat dalam pemilu 2024. Perbedaan pilihan calon presiden dalam pemilu seyogyanya disikapi secara bijak sebagaimana perbedaan fisik maupun latar belakang, karena setiap orang punya hak untuk menentukan pilihannya masing-masing.
Saat menyikapi perbedaan pilihan pada pemilu 2024, perlu ditegaskan “sikap moderat ber-pemilu”. Sikap moderat ini dapat diwujudkan pertama kali sejak dalam pikiran. Maksudnya adalah seseorang secara mentalitas harus mengutamakan keadilan dan kebijaksanaan pada orang lain yang memiliki dukungan berbeda dengannya dalam pemilu 2024.
Kemudian, langkah kedua “sikap moderat ber-pemilu” adalah adil dalam bersikap. Artinya, seseorang tidak boleh bersikap berbeda terhadap orang yang berlainan pilihan calon presidennya. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh bersikap diskriminatif kepada orang lain karena perbedaan presiden yang didukung, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Langkah ketiga “sikap moderat ber-pemilu” adalah saling menghormati satu sama lain terkait pilihan individu dalam berbagai bentuk. Kita sebagai umat Islam tidak hanya dituntut untuk tidak menyakiti orang lain, melainkan juga berbuat baik kepada orang tersebut. Sikap inilah yang disebut sebagai ahsan, yakni berbuat baik dalam wujud paripurna.
Adapun langkah terakhir dalam “sikap moderat ber-pemilu” adalah menerima hasil pemilu sebagaimana adanya dengan legawa. Wujud paripurna dari sikap moderat tidak hanya menghargai perbedaan, melainkan menerima perbedaan itu sendiri sebagai kenyataan. Siapa pun yang dinyatakan secara sah memenangi pemilu, maka itulah kenyataan yang harus diterima apa adanya.
Menerima hasil pemilu dengan legawa tidak hanya terbatas pada mengakui kenyataan kemenangan calon tertentu, tetapi juga mengikuti kebijakannya ketika menjadi memimpin. Sebab, pada hakikatnya seorang muslim diwajibkan untuk menaati perintah pemimpin selama perintah tersebut secara terang-terangan tidak bertentangan dengan syariat agama Islam.
Dengan implementasi sikap moderat dalam pelaksanaan pemilu 2024, kita berharap Indonesia tetap rukun, damai, dan tenteram serta tidak ada disintegrasi di kalangan masyarakat yang berujung pada stagnasi atau kemunduran. Di samping itu, kita juga berharap presiden dan wakil presiden yang terpilih adalah sosok terbaik yang dapat memajukan kehidupan bangsa dan negara.
Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag.? Silakan klik disini