Dalam sejarah panjang peradaban manusia, hadir seorang insan mulia yang kehadirannya menjadi cahaya bagi semesta yaitu Nabi Muhammad Saw. Beliau tidak hanya menyampaikan wahyu, tetapi juga menghidupkan kasih sayang dalam setiap langkah. Di tengah suka maupun duka, lapang maupun sempit, Nabi senantiasa memuliakan manusia, seakan ingin menegaskan bahwa kemanusiaan merupakan jembatan (wasilah) menuju keridhaan Allah. Dari telapak kehidupannya yang penuh berkah, kita menemukan teladan yang abadi—bahwa amal bukan sekadar perbuatan, melainkan pancaran hati yang ikhlas dan tulus. Setidaknya ada tiga teladan penting dari Nabi Muhammad SAW yang dapat kita renungkan dan amalkan, sebagai bekal untuk menapaki jalan kebaikan di tengah zaman yang terus berubah.
Pantas secara Sosial
Teladan pertama yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dalam beramal ialah pantas secara sosial. Sebuah kaidah sederhana, tetapi menyimpan kedalaman makna. Memberi sesuatu kepada orang lain tidak semata-mata soal benda yang dipindahkan dari tangan ke tangan, melainkan tentang kepantasan dan rasa hormat. Ukurannya kembali pada diri kita sendiri: andai sesuatu itu diberikan kepada kita, apakah terasa pantas, layak, dan menyenangkan hati? Jika iya, maka di situlah letak ihsan—kebaikan yang tulus. Allah SWT menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya atau balaslah dengan yang sepadan. Sesungguhnya Allah Maha Memperhitungkan segala sesuatu. (Q.S. An-Nisa’ [4]: 86)
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang salam dalam bentuk ucapan, tetapi juga mencakup segala bentuk penghormatan: sebuah senyuman, perhatian, bahkan hadiah sederhana. Al-Biqa‘i dalam Nadzm ad-Durar menegaskan, suatu saat kita pasti akan berada pada posisi terhormat sehingga ada yang memberi salam, memuliakan, atau bahkan menghadiahkan sesuatu kepada kita. Maka, jangan biarkan penghormatan itu berlalu tanpa balasan. Segeralah membalasnya—demikian penekanan huruf fa’ dalam kata farudduha—dan balaslah dengan sesuatu yang lebih baik, entah dengan meningkatkan kualitas, menambahkan ketulusan, atau paling tidak menyamainya tanpa mengurangi nilai.
Sebab, Allah tidak hanya memperhitungkan amal-amal besar, melainkan juga setiap detail kecil dari cara kita membalas kebaikan. Di situlah letak pantas secara sosial: menjaga harmoni, memuliakan manusia, dan menghadirkan kebaikan yang berlipat dalam setiap gerak langkah kita.
Ikhlas itu Bisa Dilatih
Teladan kedua yang ialah tentang ikhlas. Sering kali kita menunggu hadirnya rasa ikhlas terlebih dahulu sebelum beramal, padahal jika demikian, sampai kapanpun kita tak akan pernah beramal karena tidak ikhlas. Sebagaimana yang disinggung Gus Baha, ulama kharismatik yang dikenal dengan kedalaman tafsirnya, beramal itu memang harus dimulai dengan paksaan. Dari keterpaksaan lahirlah kebiasaan, dan dari kebiasaan itulah tumbuh keikhlasan. Ikhlas bukanlah sesuatu yang datang ujug-ujug seketika, melainkan buah dari latihan jiwa yang berulang.
Nabi Muhammad saw selalu mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada yang benar-benar kita miliki, semua merupakan titipan Allah. Bahkan nafas yang kita hirup, kita hembuskan kembali. Kehadiran keluarga yang harmonis, anak yang lucu, istri yang shalihah, orang tua yang mendukung, lingkungan yang kondusif, kesemuanya merupakan titipan Allah yang harus kita syukuri.
Bahkan, khusus persoalan ini, Allah swt mengajarkan langsung kepada Nabi Muhammad saw dalam Surat Al-An’am: 162,
Artinya; “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (Q.S. Al-An’am [6]: 162)
Pesan ini menegaskan bahwa seluruh gerak hidup manusia—dari ibadah hingga napas terakhir—hanya layak dipersembahkan kepada Allah. Karena itu, menurut Gus Baha, jika seseorang tidak memiliki sifat ikhlas, justru itulah keanehan. Sebab segala sesuatu yang kita genggam sejatinya bukan milik kita, melainkan milik Allah.
Beliau, Gus Baha, pernah berpesan dengan nada sederhana namun menohok: “Kalau kamu yakin ilmu itu milik Allah, maka memberi pun ikhlas karena itu juga milik Allah. Apa sebenarnya yang kamu punya, sehingga merasa berat untuk ikhlas?”.
Dalam kacamata tasawuf, perasaan memiliki sesuatu secara mutlak sesungguhnya adalah ilusi yang menjerumuskan. Begitu seorang hamba merasa “ini milikku,” di situlah ia mulai terhalang dari keikhlasan sejati. Sebab, bagaimana mungkin kita mengklaim kepemilikan atas sesuatu yang hakikatnya seluruhnya milik Allah? Uang, tenaga, bahkan bumi tempat kita berpijak—semuanya berasal dari-Nya. Gus Baha pernah menegaskan dengan gaya khasnya: “Uang milik Allah, energi kita milik Allah, bumi milik Allah. Kalau kemudian kamu merasa memiliki, itu dalam ilmu tasawuf sudah kesalahan. Bagaimana bisa kamu merasa punya?”
Di sinilah ajaran para sufi, khususnya dalam madzhab Syadziliyyah, menemukan relevansinya. Manusia diajak untuk selalu optimis dalam membangun relasi dengan Allah. Sebab, setiap kali kita bersujud, sesungguhnya kita tengah membuat setan geram. Lebih jauh, beliau mengingatkan bahwa kesempatan untuk bersujud, berzikir, atau membaca al-Qur’an bukanlah hasil upaya kita semata, melainkan anugerah Allah yang harus disyukuri.
Mensyukuri anugerah Allah jauh lebih utama ketimbang memaksakan diri beribadah dengan standar kesempurnaan yang melelahkan atau standar keikhlasan. Sebab, bila ibadah dijalani dengan hal semacam itu demi mengejar “sempurna”, justru hati akan dipenuhi keluh kesah setelahnya. Shalat yang mestinya menjadi ruang syukur, malah terasa hambar dan menjadi beban. Alhasil, ibadah yang semestinya menjadi jalan menuju Allah berubah menjadi perkara yang menjengkelkan, membosankan, tidak menyenangkan bahkan dianggap masalah. Inilah yang sesungguhnya diinginkan setan: agar manusia merasa berat beribadah, lalu perlahan-lahan menjauhinya.
Melatih Mental Memberi
Teladan ketiga ialah bermental memberi. Menurut Gus Baha, kebaikan sejati lahir dari mereka yang memiliki mental pemberi, bukan peminta. Sebab, mental memberi tidak hanya menumbuhkan kedermawanan, tetapi juga menjadi fondasi keberlangsungan sebuah bangsa. “Indonesia ini bisa selamat karena barokahnya orang-orang yang mentalnya memberi,” ujar beliau.
Sejarah pun mencatatnya dengan jelas. Jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai sebuah negara, para kiai dan ulama telah menjadi teladan dalam memberi. Mereka merelakan harta, tenaga, bahkan jiwa untuk menopang perjuangan. Kiai-kiai menyediakan makanan bagi para pejuang, mendukung Tentara Nasional Indonesia yang masih muda, dan menghidupi semangat perlawanan dengan ketulusan tanpa pamrih. Dari mental memberi itulah lahir keberkahan yang menjaga negeri ini tetap tegak hingga kini.
Sebaliknya, kerusakan sebuah bangsa sering kali bermula dari hilangnya mental memberi. Ketika hubungan masyarakat dengan negara hanya didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan keuntungan, maka pelan-pelan sendi-sendi keadilan dan kepercayaan pun runtuh. “Yang membuat rusak itu orang jika hubungannya dengan negara hanya ingin mendapat,” tegas Gus Baha.
Hal yang sama berlaku dalam mengurus rumah ibadah, makam para wali, maupun pondok pesantren. Semua akan berjalan dengan baik jika yang mengurusi adalah orang-orang yang berjiwa pemberi, yang memandang amanah itu sebagai ladang pengabdian. Namun, ketika pengabdian berubah menjadi ladang untuk “mengambil”, maka kekacauan tak terelakkan.
Allah SWT pun menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa ciri hamba yang dicintai-Nya adalah mereka yang terbiasa memberi:
(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. (Q.S. Ali Imran [3]: 134)
Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu‘in memberikan pesan sederhana namun penuh makna: jangan biarkan satu hari pun berlalu tanpa sedekah. Walau hanya sedikit, setiap amal yang diberikan akan tetap bernilai besar di hadapan Allah. Beliau menegaskan,
“Orang yang ingin berbuat baik seharusnya tidak melewatkan satu hari tanpa sedekah sesuai kemampuan, meskipun kecil. Dan memberikan sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada secara terang-terangan.”
Pesan ini selaras dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Dalam hadits tersebut, Nabi menyebutkan tujuh golongan yang kelak akan mendapat naungan Allah pada hari tiada lagi naungan selain naungan-Nya. Salah satunya ialah orang yang bersedekah dengan begitu tersembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya.
Jika kita khawatir dalam persoalan rizki, Allah memberi garansi, sebagaimana firman-Nya,
Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. An-Nur [24]: 32)
Ayat ini merupakan pengingat bagi manusia yang sering kali khawatir akan kekurangan dalam menjalani kehidupan, bahkan termasuk kita sendiri. Allah menegaskan bahwa kemiskinan bukanlah penghalang bagi kelapangan rezeki, sebab sumber karunia itu berasal dari-Nya, bukan semata dari ikhtiar manusia.
Firman Allah, “Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya” ibarat bisikan lembut yang menenangkan hati: bahwa ikatan pernikahan, perjuangan mencari ilmu, atau langkah besar lain dalam hidup tidak perlu ditunda hanya karena takut pada sempitnya bekal. Sebab Allah adalah Al-Wāsi‘—Maha Luas dalam pemberian—dan ‘Alīm—Maha Mengetahui siapa yang berhak menerima keluasan itu. Dengan demikian, ayat ini tidak sekadar janji, melainkan garansi dari Allah, undangan untuk percaya dan bersandar. Seakan Allah berkata: “Beranilah melangkah, karena Aku lebih tahu apa yang kau butuhkan, dan karunia-Ku tak pernah habis.” Wallahu a’lam.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini