Kata “haram” memiliki makna yang cukup kompleks di al-Qur’an. Haram tidak hanya diartikan sebagai sesuatu yang terlarang saja (naha). Tetapi “haram” bisa juga bermakna sesuatu yang disucikan (quddus, mubarak).
Di al-Qur’an, akar kata “haram” disebutkan sebanyak delapan puluh tiga kali. Ia juga mempunyai berbagai konotasi. Misalnya, saat ia disandingkan dengan tempat yang suci (al-bait al-haram) QS. 5:97 dan masjid suci (al-masjid al-haram) QS.2:144, atau saat ia disandingkan dengan bulan yang suci (al-syahrul haram) QS. 9:36, QS. 5:2, Q.S. 5:97 dll. (Oliver Leaman ed, The Qur’an: an Encyclopedia).
Pada tulisan kali ini saya akan menguraikan peristiwa apa saja yang pernah terjadi di balik bulan-bulan haram itu, khususnya dalam tradisi pra-Islam dan setelah Islam datang. Untuk yang terakhir didekati melalui analisa dan penafsiran ayat al-Qur’an.
Bulan-bulan haram adalah waktu yang dihormati oleh masyarakat Arab pra-kenabian yang di dalamnya ada larangan terjadinya pertumpahan darah, baik dalam bentuk peperangan maupun berburu binatang. Para ahli sejarah berbeda pendapat dalam menetapkan bulan-bulan haram yang dihormati bagi masyarakat Arab pra-kenabian. Ada yang memulai bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Ada juga yang memulai dari Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. (Izzat Darwazah, ‘Ashr al-Nabi).
Pendapat pertama, menurut Darwazah, lebih mutawatir atau meyakinkan. Salah satu bulan haram, yakni bulan Rajab, disebut juga sebagai bulan “Rajab mudir”. “Rajab” diambil dari “tarjib” yang berarti “ta’dzim”. Jadi, dikatakan bahwa orang-orang Arab pra-kenabian selalu merayakan acara keagamaannya pada bulan Rajab, khususnya bagi Kabilah Mudhir dan kabilah-kabilah lain yang ada di Hijaz. Sedangkan tiga lainnya adalah bulan-bulan yang biasa dijadikan untuk melaksanakan haji bagi masyarakat Arab pra-Islam secara keseluruhan.
Baik haji maupun bulan-bulan haram benar-benar menjadi sarana untuk berinteraksi di antara mereka di lingkungan Masjid al-Haram. Pada masa keduanya itu juga, mereka melakukan kegiatan-kegiatan bersama, baik yang bersifat politis, ekonomi, pemikiran, sastra, maupun keagamaan.
Yang penting dicatat di sini adalah bahwa masyarakat Arab pra-kenabian Muhammad benar-benar mengagungkan dan menghormati bulan-bulan haram ini. Segala bentuk peperangan yang terjadi di antara mereka dihentikan ketika memasuki bulan-bulan ini. Penghormatan pada bulan-bulan ini diharapkan oleh orang-orang Arab yang berada di luar Makkah pada saat mereka berdatangan ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji di Ka’bah (Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian).
Dari sini, nantinya al-Qur’an mengapresiasi tradisi baik dalam menghormati bulan-bulan haram. Meskipun memang, al-Qur’an pada hakikatnya menghargai kemuliaan semua bulan-bulan selain yang empat tadi (at-Taubah:36).
Namun demikian, suatu ketika orang-orang musyrik Quraish pernah memprotes Nabi karena dianggap melanggar perjanjian baik di dalam menghormati bulan-bulan mulia itu. Peristiwa ini bisa ditelusuri sejarahnya, tepatnya saat surat al-Baqarah: 217 turun.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ (الأية)
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Mesjid al-Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar daripada membunuh.
Dalam tafsir al-Azhar, Hamka menjelaskan kronologi kenapa Nabi dituduh melanggar perjanjian luhur yang telah diyakini masyarakat Quraish pra-Islam sebagaimana dijelaskan di atas. Apakah memang Nabi, begitu juga sahabatnya patut disalahkan?
Hamka mengisahkan, saat perintah berperang dirutunkan Allah (QS. 2:217), Nabi memerintahkan Abdullah bin Jahsyi dan beberapa sahabat lain untuk pergi ke arah dekat Badr (kejadian ini kira-kira di akhir Jumadil Akhir). Sembari memberi sepucuk surat, Nabi berpesan, “Setelah dua hari, bukalah surat ini dan jalankan apa yang ada dalamnya”.
Setelah dua hari perjalanan, Abdullah bin Jahsyi membuka surat itu dan membacanya, di antara isinya adalah meneruskan perjanalan ke Nakhlah dan memperhatikan gerak gerik orang Quraish. Di dalamnya tidak terdapat perintah untuk berperang. Saat sedang melanjutkan perjalanan, Abdullah dan kawan-kawannya melihat orang Quraish. Di pihak musuh juga melihat Abdullah.
Singkat cerita, akhirnya Abdullah menyerang pihak Quraish. Satu anggota mereka, Amr al-Hadromi, terkena panah dan mati, sedangkan yang lainnya ditawan dan dibawa ke Madinah dan dihadapkan kepada Rasulullah. Padahal, saat itu sudah memasuki bulan Rajab—ada yang mengatakan mereka tidak tahu kalau sudah memasuki bulan Rajab. Nabi yang kelihatan tidak gembira berkata, “Aku tidak memerintahkan kamu berperang di bulan haram.” Maka, para sahabat lain pun ada yang menyalahkan Abdullah dan kawan-kawannya.
Berita pembunuhan sudah terlanjur menyebar ke penjuru suku Quraish dan suku lainnya. Pada saat itulah orang Quraish mengirim utusan ke Madinah langsung untuk memprotes Nabi. Lalu, turunlah ayat 217 yang mengatakan bahwa “Memang tidak boleh berperang di bulan haram. Dan dengan begitu, bulan itu telah dikotori (umat Islam).”
Akan tetapi, ayat selanjutnya memberi bantahan bahwa apa yang selama ini orang musyrik lakukan kepada umat Islam, yakni menghalangi manusia di jalan Allah (misalkan, haji dan umrah), kafir kepada Allah (menghalangi masuk Masjid al-Haram), dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar dosanya menurut Allah dibandingkan apa yang telah dilakukan Abdullah bin Jahsyi dan sahabat lain. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah).
Ayat selanjutnya berkata, “Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.” Fitnah di sini maksudnya adalah jika Amr al-Hadromi telah mati terbunuh, maka ini tidak seberapa dengan segala penyiksaan yang pernah dilakukan kepada para sahabat seperti Ummu Yasir (tewas ditombak kemaluannya), Amr bin Yasir (dicambuk), begitu juga Bilal (dijemur di terik matahari dan ditindih batu besar) dan sahabat lainnya sewaktu di Makkah. (Hamka, Tafsir al-Azhar).
Alhasil, perihal Asyhurul Hurum, Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya terhadap ayat 36 surat at-Taubah menjelaskan, “Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa maksiat pada bulan-bulan itu adalah lebih banyak siksaanya, taat di dalamnya lebih banyak pahalanya. Allah mempunyai hak untuk mengagungkan sebagian waktu dan tempat sebagaimana Dia kehendaki. Allah telah melebihkan kemuliaan negeri haram daripada semua negeri, mengistimewakan hari jum’at, hari Arafah dan sepuluh Dzulhiijah daripada hari-hari yang lain, Dia mengistimewakan bulan Ramadhan dan bulan-bulan haji daripada bulan-bulan yang lain (Q.S: 2:197).”
Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini