Ada dua hal yang menjadi pengetahuan umum di masyarakat kita yakni kebenaran dan kebaikan. Penegakan keduanya di ranah publik merupakan hal yang amat diidam-idamkan oleh masyarakat. Akan tetapi, antara kebenaran dan kebaikan memiliki perbedaan yang diametral. Perbedaan tersebut berada di domain teknis-administratif. Di satu sisi, kebenaran harus ditegakkan tanpa pandang bulu, namun pada sisi yang lain, kebaikan dipandang lebih mulia ketimbang sibuk memperdebatkan kebenaran yang tiada habisnya.
Dalam konteks ini, kebenaran dan kebaikan dalam Al-Quran mengisyaratkan akan tanggung jawab sosial. Perhatikan Q.S. Al-Baqarah [2]: 177,
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (Q.S. al-Baqarah [2]: 177)
Para mufasir berbeda pendapat tentang siapa mitra bicara (khitab) ayat tersebut. Ada yang menyatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada ahlul kitab. Ada yang berpendapat kepada umat Islam, dan ada juga yang berpendapat kepada seluruh pemeluk agama. Terlepas dari siapa khitab ayat tersebut, yang jelas ayat ini menjelaskan secara rinci tentang hakikat kebajikan dan ciri-ciri orang yang bertakwa.
Saleh Ritual dan Saleh Sosial
Hakikat kebaikan dalam ayat di atas mengisyaratkan bahwa para pemeluk agama tidak cukup hanya saleh ritual, akan tetapi saleh sosial. Dalam arti, kebaikan yang seharusnya menjadi ciri utama orang bertawa bukanlah sekadar melaksanakan rutinitas ibadah atau menggugurkan kewajiban belaka, misalnya shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, melainkan kebaikan yang sempurna adalah diberengi dengan aktivitas sosial yang mengentaskan persoalan di sekitarnya.
Wujud dari keparipurnaan kebaikan adalah berperilaku sosial yang bertanggung jawab antara lain kesediaan dan kerelaan mengesampingkan kepentingan pribadinya demi orang lain, menyedekahkan sebagian rizki kepada fakir miskin dan anak yatim, serta menyambung silaturrahim antar sesama. Hal yang demikian ini sebagaimana penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir al-Munir dan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah. Dengan kata lain, mereka yang bertakwa adalah mereka yang berusaha untuk menyeimbangkan shalat ritual maupun “shalat sosial” secara baik dan sempurna.
Dengan menyeimbangkan keduanya, menurut Syekh Nawawi al-Bantani, itulah ciri dari orang yang benar-benar bersungguh-sungguh dalam agamanya dan dalam mencari kebaikan, juga merupakan ciri orang yang bertakwa.
Dalam perspektif yang lain, seperti yang dikemukakan Quraish Shihab, kebaikan itu tidak hanya menghadapkan wajah kamu dalam shalat ke arah timur dan barat, melainkan kebaikan atau ketaatan yang mengantar kepada kedekatan kepada Allah yang seharusnya mendapat perhatian semua pihak — adalah yang mengantar kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu keimanan kepada Allah, dan lain-lain yang disebut oleh ayat ini.
Redaksi ayat di atas, lanjut Shihab, dapat juga bermakna: Bukannya menghadapkan wajah ke arah timur dan barat yang merupakan semua kebajikan, atau bukannya semua kebajikan merupakan sikap menghadapkan wajah ke timur dan barat. Menghadap ke timur atau ke barat, bukan sesuatu yang sulit, atau membutuhkan perjuangan, tetapi ada tuntunan lain yang membutuhkan perjuangan, dan di sanalah kebajikan sejati ditemukan.
Lebih jauh, ternyata ibadah ritual, menurut hemat Shihab, tidak cukup hanya dilakukan sebatas rutinitas tanpa kehadiran kalbu (hati), bukankah Allah mengancam mereka yang tidak menghayati makna shalatnya? “Maka celakalah orang-orangyang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, yaitu orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. (Q.S. al-Ma’un [107]: 4-7)
Dalam pandangan kebanyakan kita, sebagaimana dikemukakan Ahmad Fuad Effendy, shalat adalah indikator utama keislaman seseorang, dengan kata lain, orang Islam yang tidak shalat lah yang mendustakan agamanya. Maka sungguh mengejutkan ketika Allah menyatakan (ayat 2-3 dari Surat Al-Ma’un) bahwa orang yang mendustakan agama adalah orang yang “kejam kepada anak yatim dan tidak peduli kepada orang miskin”. Lebih mengejutkan lagi ketika Allah pada ayat berikutnya menyatakan “wailun lil mushalliin” (celaka besarlah orang-orang yang shalat). Tentu ayat ini tidak boleh dipotong sampai di sini, harus dilanjutkan ke ayat-ayat berikutnya agar diperoleh makna seutuhnya.
Karena itu, beragama, bertuhan, dan berakhlak adalah satu kesatuan dalam situasi keilahian yang menuntun kepada kebaikan. Kebenaran dan kebaikan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tetapi mengapa Allah hanya menganjurkan “berlombalah untuk kebaikan-kebaikan” (QS 2: 148; QS 5:48)? Tentu karena kebaikan adalah kata kunci. Benar tidak selamanya baik, tetapi baik pasti selamanya benar; dengan catatan bahwa asumsi memisahkan antara baik dan benar hanya berlaku pada makna agama sebagai “sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkugannya” (KBBI), sebab bisa jadi sesuatu adalah baik tapi tidak benar karena menyalahi aturan. Tetapi dalam konteks makna agama sebagai situasi keilahian, maka benar adalah baik dan baik adalah benar begitulah kata Sufi Indonesia, Muhammad Nursamad Kamba. Wallahu a’lam.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini